Mengamini Kematian Noordin
Dilema pengaminan eksekusi mati di mata umat kristiani
Lebaran tahun ini dihembusi
nafas lega masyarakat Indonesia. Mereka mengamini kematian Noordin M. Top, sang
“pentolan” terorisme Indonesia.
Kematian Noordin M. Top
menjadi sebuah “injil” tersendiri bagi mayoritas orang Indonesia. Semua tindak
terosisme yang didalanginya menjadi sebuah alasan kuat bagi kita untuk
mengamini kematiannya, mengingat banyaknya nyawa yang melayang dan kerugian
yang ditanggung bangsa Indonesia akibat semua tindakannya yang tidak manusiawi
itu. Kematian Noordin pun dipandang setimpal dengan semua perbuatannya semasa
hidupnya.
“Mata ganti mata”,
demikian kiranya paradigma yang masih melekat pada mayoritas orang yang
mengamini kematian Noordin. Kematian orang – orang yang tidak berdosa pada
tragedi bom yang terjadi beberapa waktu yang lalu dibayar dengan kematian sang
dalang pengeboman. Namun masalahnya, pantaskah itu? Bukankah dengan membunuh
sang pembunuh kita pun telah menyamakan diri dengan pembunuh yang kita bunuh,
yang sama – sama tidak menghargai pentingnya sebuah nilai kehidupan? Sayangnya
faktalah yang kemudian berbicara, bahwa mayoritas orang pun telah menghalalkan
semua hal itu sehingga dengan demikian hanya nilai balas dendamlah yang
kemudian menjadi esensi bagi orang – orang itu, sebuah nilai yang sebenarnya
tidak bernilai sama sekali.
Kasih
Pembunuhan yang
mengatasnamakan kehidupan dan keadilan, itulah yang terjadi pada diri Noordin.
Setinggi dan sesuci apapun alasan yang digunakan, hal ini tetaplah menjadi
sebuah pelanggaran terhadap nilai kehidupan. Bagi orang kristiani hal ini telah
melawan secara terang – terangan eksistensi dari hukum kasih, hukum yang telah
diajarkan oleh Yesus sendiri.
Yesus mengajar agar
umatnya mengasihi Allah dan sesama, di mana kasih akan Allah tertuang dalam
kasih terhadap sesama, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian secara otomatis
umat kristiani pun diharuskan untuk mencintai kehidupan yang ada pada diri
sesamanya. Pembunuhan menjadi suatu bentuk pelanggaran berat terhadap hal ini.
Larangan terhadap semua bentuk pembunuhan pun tertuang dalam perintah ke lima dari
Dekalog atau sepuluh perintah Allah yang diterima oleh Musa, yang notabene
adalah pedoman hidup bagi umat kristiani. Perintah tersebut berbunyi, “Jangan
membunuh.” Semua ini melekat erat dalam hidup setiap pribadi umat kristiani.
Umat kristiani lantas dihadapkan
pada sebuah fakta yang dilematis, yaitu keberadaan hukum kasih dan dekalog yang
mereka pegang dan keberadaan hukum peradilan di Indonesia. Hukum peradilan di
Indonesia melegalkan dilangsungkannya eksekusi mati bagi seorang terdakwa yang
melakukan suatu tindak pidana yang tergolong sangat berat di mata pengadilan.
Hal ini tampak pada berbagai eksekusi mati yang telah terjadi di Indonesia,
seperti yang terjadi pada diri Imam Samudra dan Tibo. Hal ini tentu sangat
berlawanan dengan hukum kasih dan dekalog yang dipegang oleh umat kristiani.
Tidak seharusnya eksekusi mati itu dilakukan apalagi dilegalkan, mengingat
manusia pun tidak berhak atas hidup sesamanya dan hanya Allahlah yang berhak
atas kuasa itu.
Rendah
hati
Realita atas dua hukum
yang saling bertentangan itu memang tidak bisa dipungkiri. Hukum kasih dan
dekalog pun menjadi pegangan hidup bagi umat kristiani yang hidup dalam
selubung hukum yang berasaskan keadilan di Indonesia. Meski begitu, tak
sepantasnya pula umat kristiani kemudian dengan penuh fanatisme diri mengangkat
panji – panji hukumnya ini di tengah situasi yang sedemikian rupa. Sikap rendah
hati pun dituntut di sini, di mana umat kristiani sepatutnya dengan rendah hati
menerima keberadaan dan kedaulatan hukum tersebut.
Hukum kasih dan dekalog
memang menjadi sebuah pegangan hidup yang patut untuk diperjuangkan oleh umat
kristiani, namun umat kristiani pun sepatutnya mengakui dengan rendah hati
kebenaran yang ada pada hukum peradilan di Indonesia di dalam konteks hukuman
mati, sekecil apapun kebenaran itu. Toh sebenarnya hukum itu pun menunjukkan
keberadaan nilai keadilan yang hendak diperjuangkan olehnya. Lagi pula umat
kristiani masih harus dihadapkan pada satu hal yang tak kalah pentingnya yaitu
keberadaan penyelenggaraan Ilahi yang tertuang dalam kehendak Allah sendiri.
Kita tidak tahu apa yang menjadi kehendak Allah, dan mungkin saja kehendak itu
pun tertuang dalam hukum peradilan yang berlaku di Indonesia guna memberi
hukuman bagi para pendosa yang memang sudah ditetapkan olehNya untuk masuk ke
dalam neraka abadi. Dengan demikian tidak sepatutnyalah kita kemudian dengan
penuh fanatisme yang sempit melawan hal ini.
Akhir kata, kematian
Noordin oleh Densus 88 beberapa waktu yang lalu memang tidak sepatutnya kita
amini, mengingat hukum kasih dan sepuluh perintah Allah yang kita pegang
sebagai umat kristiani. Akan tetapi, mungkin saja hal itu memang sudah menjadi
kehendak Allah atas diri Noordin. Siapa tahu?
Paulus Eko Harsanto
Seminaris Seminari Menengah Mertoyudan,
Magelang
No comments:
Post a Comment