Sunday, September 8, 2019

Tulisan Refleksi - Mengamini Kematian Noordin


Mengamini Kematian Noordin
Dilema pengaminan eksekusi mati di mata umat kristiani


Lebaran tahun ini dihembusi nafas lega masyarakat Indonesia. Mereka mengamini kematian Noordin M. Top, sang “pentolan” terorisme Indonesia.
Kematian Noordin M. Top menjadi sebuah “injil” tersendiri bagi mayoritas orang Indonesia. Semua tindak terosisme yang didalanginya menjadi sebuah alasan kuat bagi kita untuk mengamini kematiannya, mengingat banyaknya nyawa yang melayang dan kerugian yang ditanggung bangsa Indonesia akibat semua tindakannya yang tidak manusiawi itu. Kematian Noordin pun dipandang setimpal dengan semua perbuatannya semasa hidupnya.
“Mata ganti mata”, demikian kiranya paradigma yang masih melekat pada mayoritas orang yang mengamini kematian Noordin. Kematian orang – orang yang tidak berdosa pada tragedi bom yang terjadi beberapa waktu yang lalu dibayar dengan kematian sang dalang pengeboman. Namun masalahnya, pantaskah itu? Bukankah dengan membunuh sang pembunuh kita pun telah menyamakan diri dengan pembunuh yang kita bunuh, yang sama – sama tidak menghargai pentingnya sebuah nilai kehidupan? Sayangnya faktalah yang kemudian berbicara, bahwa mayoritas orang pun telah menghalalkan semua hal itu sehingga dengan demikian hanya nilai balas dendamlah yang kemudian menjadi esensi bagi orang – orang itu, sebuah nilai yang sebenarnya tidak bernilai sama sekali.

Kasih
Pembunuhan yang mengatasnamakan kehidupan dan keadilan, itulah yang terjadi pada diri Noordin. Setinggi dan sesuci apapun alasan yang digunakan, hal ini tetaplah menjadi sebuah pelanggaran terhadap nilai kehidupan. Bagi orang kristiani hal ini telah melawan secara terang – terangan eksistensi dari hukum kasih, hukum yang telah diajarkan oleh Yesus sendiri.
Yesus mengajar agar umatnya mengasihi Allah dan sesama, di mana kasih akan Allah tertuang dalam kasih terhadap sesama, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian secara otomatis umat kristiani pun diharuskan untuk mencintai kehidupan yang ada pada diri sesamanya. Pembunuhan menjadi suatu bentuk pelanggaran berat terhadap hal ini. Larangan terhadap semua bentuk pembunuhan pun tertuang dalam perintah ke lima dari Dekalog atau sepuluh perintah Allah yang diterima oleh Musa, yang notabene adalah pedoman hidup bagi umat kristiani. Perintah tersebut berbunyi, “Jangan membunuh.” Semua ini melekat erat dalam hidup setiap pribadi umat kristiani.
Umat kristiani lantas dihadapkan pada sebuah fakta yang dilematis, yaitu keberadaan hukum kasih dan dekalog yang mereka pegang dan keberadaan hukum peradilan di Indonesia. Hukum peradilan di Indonesia melegalkan dilangsungkannya eksekusi mati bagi seorang terdakwa yang melakukan suatu tindak pidana yang tergolong sangat berat di mata pengadilan. Hal ini tampak pada berbagai eksekusi mati yang telah terjadi di Indonesia, seperti yang terjadi pada diri Imam Samudra dan Tibo. Hal ini tentu sangat berlawanan dengan hukum kasih dan dekalog yang dipegang oleh umat kristiani. Tidak seharusnya eksekusi mati itu dilakukan apalagi dilegalkan, mengingat manusia pun tidak berhak atas hidup sesamanya dan hanya Allahlah yang berhak atas kuasa itu.

Rendah hati
Realita atas dua hukum yang saling bertentangan itu memang tidak bisa dipungkiri. Hukum kasih dan dekalog pun menjadi pegangan hidup bagi umat kristiani yang hidup dalam selubung hukum yang berasaskan keadilan di Indonesia. Meski begitu, tak sepantasnya pula umat kristiani kemudian dengan penuh fanatisme diri mengangkat panji – panji hukumnya ini di tengah situasi yang sedemikian rupa. Sikap rendah hati pun dituntut di sini, di mana umat kristiani sepatutnya dengan rendah hati menerima keberadaan dan kedaulatan hukum tersebut.
Hukum kasih dan dekalog memang menjadi sebuah pegangan hidup yang patut untuk diperjuangkan oleh umat kristiani, namun umat kristiani pun sepatutnya mengakui dengan rendah hati kebenaran yang ada pada hukum peradilan di Indonesia di dalam konteks hukuman mati, sekecil apapun kebenaran itu. Toh sebenarnya hukum itu pun menunjukkan keberadaan nilai keadilan yang hendak diperjuangkan olehnya. Lagi pula umat kristiani masih harus dihadapkan pada satu hal yang tak kalah pentingnya yaitu keberadaan penyelenggaraan Ilahi yang tertuang dalam kehendak Allah sendiri. Kita tidak tahu apa yang menjadi kehendak Allah, dan mungkin saja kehendak itu pun tertuang dalam hukum peradilan yang berlaku di Indonesia guna memberi hukuman bagi para pendosa yang memang sudah ditetapkan olehNya untuk masuk ke dalam neraka abadi. Dengan demikian tidak sepatutnyalah kita kemudian dengan penuh fanatisme yang sempit melawan hal ini.
Akhir kata, kematian Noordin oleh Densus 88 beberapa waktu yang lalu memang tidak sepatutnya kita amini, mengingat hukum kasih dan sepuluh perintah Allah yang kita pegang sebagai umat kristiani. Akan tetapi, mungkin saja hal itu memang sudah menjadi kehendak Allah atas diri Noordin. Siapa tahu?

Paulus Eko Harsanto
Seminaris Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang



No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...