“Gembelisasi” Dalam Kebersamaan
Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto
***
Karena, sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan
Pengantar
Ini
kisahku, yaitu aku sosok yang culun dengan gaya sok berani ingin merajut
sehelai refleksi yang aku alami setelah lelah menghitung banyaknya langkah
kakiku menempuh bermil-mil jalan dari Mertoyudan ke Ambarawa dengan tujuan meraih
keberhasilan dan kesenangan, aku harus melalui tenaga kesusahan, bercengkerama
dengan kesedihan dan merangkak di atas jalan penuh kesengsaraan.
Awalnya penuh
semangat
Kenyang
rasanya menelan pengalaman – pengalaman yang manis dan pahit hasil olahan sang
Koki Utama yaitu Tuhan sendiri. Pengalaman – pengalaman kecil tetapi menjadi
berharga setelah dimaknai dan dihayati untuk bekal sewaktu jam istirahatku di
sekolah Tuhan. 10 September 2011 tepatnya,
aku dan teman-teman bawilku Johannes de Britto dengan gayanya yang sok berani
dan percaya diri menyerahkan diri untuk berkelana dan mengembara layaknya sang
Kavaleri dengan kuda pilihannya mengembara menghadang musuh, begitu pula kami
dengan menapaki setiap langkah kecil ingin menuju Girisonta. Berangkat dengan
lukisan wajah yang kusut harus merelakan makanan seisi tas dan berlembar-
lembar uang seisi dompet disikat oleh sang pamong yaitu Romo Fristian dan hanya
tersisa seratus ribu untuk ongkos pulang.
Langkah demi
langkah aku mencoba untuk tekun. Di tengah jalan menuju Girisonta, Tuhan
mengucapkan selamat sore sambil membuka tangan-Nya untuk sabar menanti
kedatangan kami di Girisonta. Berjalan bersama-sama dengan pergulatan batin dan
tantangan membuahkan harapan yang manis. Harapanku adalah bisa sampai di
Girisonta dan membawa sekeranjang oleh-oleh pengalaman menarik dari sana. Namun
pada kenyataannya tidak pada demikian, justru bawil kami harus menanggung malu
karena kami adalah bawil satu-satunya yang tidak sampai pada tempat tujuan.
Awalnya aku ragu
akan diriku nanti, membayangkan dengan perjalanan yang sangat jauh tidak
berbekal apapun. Namun aku merasa diberi rahmat oleh Dia yang mendampingi aku
dan teman-teman berdelapan dengan ritme jalannya yang berbeda – beda demi salah
satu nilai yang ingin dituju yaitu
kebersamaan di tengah kemiskinan. Pengalaman yang menjengkelkan ketika bawilku
sepakat untuk menempatkan aku dan Manggala di depan sebagai pemimpin perjalanan
dengan tujuan agar yang lainnya dapat memperlambat langkahnya sehingga
perjalanan tidak terkesan saingan. Saat itu memang aku sadari langkahku tidak
secepat langkah teman-temanku yang lainnya karena aku begitu menikmati
perjalanan, aku selalu ditinggal dan menjadi barisan paling belakang. Hal ini
menjengkelkan karena aku melihat masih kuatnya ego dalam diri kami masing-masing sehingga membuat perjalanan kami
terputus karena insiden teman kami tidak dapat berjalan lagi. Terpaksa saat itu
aku dan mungkin teman – teman juga, harus berusaha untuk rendah hati dan berhenti
di tempat dan menunda perjalanan. Di sini aku belajar juga bahwa kebersamaan itu tidak hanya penting tetapi pokok, di mana ada satu teman yang
gagal tidak dapat melanjutkan perjalanannya, aku dan yang lainnya harus sama-sama
menanggung konsekwensi bersama serta tidak boleh egois.
Malam yang
dingin menemani kami dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Sembari menunggu esok
hari aku memejamkan mata di emperan rumah penduduk yang penuh debu, beraroma
segar tai ayam dan di temani bis yang lalu lalang dengan cepatnya menyapa kami .
“Wah, asem…ademe koyo emboh cah…kemulan
anduk we isih kademen,” kataku sewaktu aku menggigil kedinginan.
Akhirnya, kembali ke laptop…
Akhirnya
kami kembali ke laptop kami masing – masing. Kami kembali ke Seminari
Mertoyudan rumah tercinta dengan wajah yang bermacam- macam jadinya. Ada yang “kucel” itu aku, ada yang “sumringah” itu Oky karena telah
berjumpa dengan orang tua, ada yang “njegadul”
itu Danang dan Ahong yang kecewa tenyata perjalanan tidak sampai tujuan, ada
yang “sedih” itu Harjo karena merasa
dirinya bersalah, ada yang “biasa saja”
itu Manggala, Dian, Dhamas. Tetapi pada umumnya kami semua merasa ada banyak
pengalaman yang boleh kami nikmati walau perjalanan kami tidak menepati janji, sudah berperegrinasi walau tidak sampai pada
tujuan dan mendapatkan kebersamaan yang cukup banyak dan pastinya kami telah
dikenyangkan dengan santap-santap di rumah Oky.
Itulah
refleksiku selama berperegrinasi bersama bawilku Johannes de Britto, semuanya
demi kemuliaan Tuhan. Amin
***
Created by Paulus Eko Harsanto
No comments:
Post a Comment