Sunday, September 8, 2019

Tulisan Refleksi Peregrinasi ke Girisonta


“Gembelisasi” Dalam Kebersamaan
Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto
***
Karena, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan

Pengantar
            Ini kisahku, yaitu aku sosok yang culun dengan gaya sok berani ingin merajut sehelai refleksi yang aku alami setelah lelah menghitung banyaknya langkah kakiku menempuh bermil-mil jalan dari Mertoyudan ke Ambarawa dengan tujuan meraih keberhasilan dan kesenangan, aku harus melalui tenaga kesusahan, bercengkerama dengan kesedihan dan merangkak di atas jalan penuh kesengsaraan.

Awalnya penuh semangat
            Kenyang rasanya menelan pengalaman – pengalaman yang manis dan pahit hasil olahan sang Koki Utama yaitu Tuhan sendiri. Pengalaman – pengalaman kecil tetapi menjadi berharga setelah dimaknai dan dihayati untuk bekal sewaktu jam istirahatku di sekolah Tuhan.  10 September 2011 tepatnya, aku dan teman-teman bawilku Johannes de Britto dengan gayanya yang sok berani dan percaya diri menyerahkan diri untuk berkelana dan mengembara layaknya sang Kavaleri dengan kuda pilihannya mengembara menghadang musuh, begitu pula kami dengan menapaki setiap langkah kecil ingin menuju Girisonta. Berangkat dengan lukisan wajah yang kusut harus merelakan makanan seisi tas dan berlembar- lembar uang seisi dompet disikat oleh sang pamong yaitu Romo Fristian dan hanya tersisa seratus ribu untuk ongkos pulang.
Langkah demi langkah aku mencoba untuk tekun. Di tengah jalan menuju Girisonta, Tuhan mengucapkan selamat sore sambil membuka tangan-Nya untuk sabar menanti kedatangan kami di Girisonta. Berjalan bersama-sama dengan pergulatan batin dan tantangan membuahkan harapan yang manis. Harapanku adalah bisa sampai di Girisonta dan membawa sekeranjang oleh-oleh pengalaman menarik dari sana. Namun pada kenyataannya tidak pada demikian, justru bawil kami harus menanggung malu karena kami adalah bawil satu-satunya yang tidak sampai pada tempat tujuan.
Awalnya aku ragu akan diriku nanti, membayangkan dengan perjalanan yang sangat jauh tidak berbekal apapun. Namun aku merasa diberi rahmat oleh Dia yang mendampingi aku dan teman-teman berdelapan dengan ritme jalannya yang berbeda – beda demi salah satu  nilai yang ingin dituju yaitu kebersamaan di tengah kemiskinan. Pengalaman yang menjengkelkan ketika bawilku sepakat untuk menempatkan aku dan Manggala di depan sebagai pemimpin perjalanan dengan tujuan agar yang lainnya dapat memperlambat langkahnya sehingga perjalanan tidak terkesan saingan. Saat itu memang aku sadari langkahku tidak secepat langkah teman-temanku yang lainnya karena aku begitu menikmati perjalanan, aku selalu ditinggal dan menjadi barisan paling belakang. Hal ini menjengkelkan karena aku melihat masih kuatnya ego dalam diri kami masing-masing sehingga membuat perjalanan kami terputus karena insiden teman kami tidak dapat berjalan lagi. Terpaksa saat itu aku dan mungkin teman – teman juga,  harus berusaha untuk rendah hati dan berhenti di tempat dan menunda perjalanan. Di sini aku belajar juga bahwa kebersamaan itu tidak hanya penting  tetapi pokok, di mana ada satu teman yang gagal tidak dapat melanjutkan perjalanannya, aku dan yang lainnya harus sama-sama menanggung konsekwensi bersama serta tidak boleh egois.
Malam yang dingin menemani kami dengan sisa-sisa tenaga yang ada. Sembari menunggu esok hari aku memejamkan mata di emperan rumah penduduk yang penuh debu, beraroma segar tai ayam dan di temani bis yang lalu lalang dengan cepatnya menyapa kami . “Wah, asem…ademe koyo emboh cah…kemulan anduk we isih kademen,” kataku sewaktu aku menggigil kedinginan.

Akhirnya, kembali ke laptop…
            Akhirnya kami kembali ke laptop kami masing – masing. Kami kembali ke Seminari Mertoyudan rumah tercinta dengan wajah yang bermacam- macam jadinya. Ada yang “kucel” itu aku, ada yang “sumringah” itu Oky karena telah berjumpa dengan orang tua, ada yang “njegadul” itu Danang dan Ahong yang kecewa tenyata perjalanan tidak sampai tujuan, ada yang “sedih” itu Harjo karena merasa dirinya bersalah, ada yang “biasa saja” itu Manggala, Dian, Dhamas. Tetapi pada umumnya kami semua merasa ada banyak pengalaman yang boleh kami nikmati walau perjalanan kami tidak menepati janji,  sudah berperegrinasi walau tidak sampai pada tujuan dan mendapatkan kebersamaan yang cukup banyak dan pastinya kami telah dikenyangkan dengan santap-santap di rumah Oky.
            Itulah refleksiku selama berperegrinasi bersama bawilku Johannes de Britto, semuanya demi kemuliaan Tuhan. Amin
***
Created by Paulus Eko Harsanto



No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...