Sunday, September 8, 2019

Sudut Pandang Sebuah Novel


Gajah Perang, Kancil Terinjak
Apresiasi sastra novel Lintang Kemukus Dini Hari
Seminari Menengah Mertoyudan

Oleh : Paulus Eko Harsanto

Novel. Sebagai sebuah karya sastra, novel mempunyai satu ciri khas: sebuah dokumen sosial. Dengan demikian novel pun menjadi potret situasi zaman penulisnya. Lintang Kemukus Dini Hari membingkai potret prahara politik ’65.
Lintang Kemukus Dinihari mengisahkan Srintil yang terlibat dalam prahara politik itu. Di balik kisah itu, tersirat sebuah pepatah Jawa yang berbunyi, “Gajah perang karo gajah, kancil mati ing tengah.”[1] Siapakah gajah itu? Mengapa mereka berperang? Bagaimana bisa kancil mati di tengah?

Orde Baru
Prahara politik ’65 (Gestapu) sering disebut sebagai tonggak sejarah runtuhnya orde lama dan berdirinya orde baru. Peristiwa itu ternyata mendapat pengaruh dan campur tangan dari prahara yang jauh lebih besar: perang dingin. Soekarno dipandang sebagai tokoh yang harus ditumbangkan oleh karena kecondongannya pada blok timur, sebab Amerika tak mau Indonesia jatuh ke tangan komunis. Maka Amerika mendukung usaha penumpasan PKI oleh RPKAD di bawah komando Soeharto pasca G30S yang dipandang oleh Amerika sebagai sebuah kesempatan emas untuk menumbangkan pemerintahan Soekarno. Jutaan nyawa[2] tak berdosa terbunuh dalam peristiwa itu.
Ada dua gajah besar dalam prahara politik ‘65: PKI dan ABRI. Kedua “gajah nasional” itu adalah jelmaan dari dua “gajah internasional”: blok barat dan blok timur. Kedua gajah inilah yang terpotret dalam Lintang Kemukus Dinihari. Mereka menghimpun kekuatan dengan cara mereka masing-masing; PKI dengan berbagai propaganda yang mengatas-namakan rakyat[3], dan ABRI yang pelan tapi pasti menanamkan citra kekuatan yang disegani oleh masyarakat.[4] Kedua kekuatan ini bertemu melalui peristiwa G30S. Memang, fakta di balik peristiwa G30S masih kelabu, bahkan hingga saat ini. Namun ada satu fakta yang pasti dari antara sekian banyak ketidak-pastian yang ada: terbunuhnya jutaan nyawa tak berdosa yang disangkut-pautkan begitu saja dengan PKI. “Kancil yang terinjak” ini dilambangkan dalam sosok Srintil dan segenap warga Dukuh Paruk.

Rakyat
Awal keterlibatan Srintil dimulai ketika Pak Ranu datang ke rumah ronggeng itu untuk mengundangnya dalam pentas perayaan Agustusan. Walau masih takut kehilangan harkat kewanitaannya, Srintil lebih memilih untuk menerima tawaran pentas itu demi Sakum dan Dukuh Paruk.
Sosok Pak Ranu pun menguak suatu prahara politik saat itu. Prahara politik saat itu sarat dengan adu kepentingan dari kalangan elite politik. Direkrutnya Srintil, karena dia dapat menjadi alat propaganda yang efektif dengan dekatnya ronggeng dengan rakyat. Walau menjadi alat propaganda PKI, Srintil sama sekali tidak tahu tentang prahara politik saat itu. Realitas ini terkait dengan letak geografis Dukuh Paruk yang  terpencil. Di sisi lain, kultur budaya Dukuh Paruk juga semakin menjauhkan mereka dengan dunia luar. Spiritualitas nrima pandum[5] membuat Dukuh paruk terus berkutat pada kemelaratan dan ketidak-tahuan mereka.
 Dengan mudah Srintil dimanfaatkan menjadi alat propaganda. Kesenian Ronggeng diberi label “Ronggeng Rakyat”. Melalui sikap kebapakan dan materi, Srintil dan Dukuh Paruk semakin lekat dengan PKI karena merasa utang budi dengan Pak Bakar. Dengan luwes hal ini mengungkap gaya khas PKI yang  memanfaatkan mesianistik rakyat untuk menawarkan kesan bahwa PKI sang Ratu Adil, simbol keberpihakan pada rakyat. Srintil pun sampai pada suatu titik dimana ia merasakan sesuatu yang tidak beres. Hal ini terkait dengan pentas ronggeng yang jauh melenceng dari adat Dukuh Paruk.[6]
Walau akhirnya Dukuh Paruk memilih untuk tidak meronggeng untuk Pak Bakar, namun pengerusakan cungkup makam Ki Secamanggala oleh kelompok caping hijau membawa Dukuh Paruk pada Dendam. Dendam yang akhirnya dilampiaskan dengan bergabung kembali dengan kelompok Bakar. Suatu peristiwa yang menguak situasi politik yang sarat dengan adu kepentingan.
Sampai saat prahara politik mencapai puncaknya, Pak Bakar dan anteknya ditangkap termasuk Srintil dan kelompok ronggengnya. Srintil juga ditangkap karena dianggap sebagai antek PKI. Satu hari kemudian Dukuh Paruk dibumihanguskan. Bagian yang merupakan gambaran situasi rakyat di tengah prahara politik dengan segala penderitaannya. Kancil pun terinjak.

Kesimpulan
Kemelut adu kekuasaan dan kepentingan para penguasa (elite politik) selalu memakan korban tak berdosa: rakyat. Hal ini dilambangkan dalam diri Srintil yang dengan segala keluguannya menjadi potret korban prahara politik 1965. Srintil  menjadi lambang dan contoh keluguan rakyat yang menjadi korban kepentingan para penguasa (kaum elite politik); orang-orang yang terpaksa menyerahkan nyawa mereka, keluarga mereka, maupun keadilan mereka.

Penutup
Gajah perang, kancil terinjak. Hal yang dengan jelas tergambar dalam prahara politik ’65 itu tetap bertahan dalam corak kehidupan bangsa Indonesa hingga saat ini. Kasus korupsi senantiasa bermunculan tiada habisnya; yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya.
Butuh keajaiban untuk merubah kepribadian oknum-oknum penguasa yang bersangkutan, sebab mereka sudah tua. Maka, masa depan bangsa yang lebih baik ada di tangan kita sebagai kaum muda yang masih bisa dididik dan dibentuk. Sudikah kita berbenah diri menjadi pribadi yang lebih baik? Jangan sampai kita mewarisi kaki-kaki gajah para kaum elite politik, yang dengan seenaknya menginjak segala yang ada di hadapannya demi memenuhi kepentingannya sendiri.


[1] Gajah perang dengan gajah, kancil mati di tengah.
[2] Tidak jelas berapa jumlah tepatnya. Shadow Play, sebuah film yang mencoba menyingkap konspirasi di balik peristiwa G30S dan pembantaian jutaan nyawa di Indonesia di masa itu, menyebutkan sebanyak tiga juita orang dibunuh tanpa proses pengadilan yang jelas. Itu pun berdasarkan kesaksian Sarwo Edhie Wibowo. Berbagai sumber lain pun menyebutkan angka yang berbeda-beda, seperti yang diutarakan dalam buku Menyeberangi Sungai Air Mata karya Rm. Ant. Sumarwan, SJ, mulai dari 70.000 hingga satu setengah juta.
[3] Suatu ketika datang seseorang ke Dukuh Paruk menawarkan gambar-gambar partai. Dikatakannya gambar itu adalah perlambangan rakyat tertindas. Mula-mula Sakarya tertarik karena orang pendatang itu sering kali dan berulang-ulang menyebut kata “rakyat”. Kata itu bagi Sakarya tidak bisa lain kecuali bermakna kaula. (Lintang Kemukus Dinihari, hal. 116)
[4] Gerak ABRI lebih terlihat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk. Di sana digambarkan bagaimana tentara masuk ke wilayah pedesaan melalui pembangunan markas tentara di Dawuan. Lih. Tohari, Ahmad, Ronggeng Dukuh Paruk, Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
[5]berarti pasrah menerima nasib yang telah ditentukan
[6]Mulai dari dilarang membakar menyan, dipasangnya bendera partai di perdukuhan, lagu-lagu yang dibubuhi kata berbau Rakyat, dan memuncak dengan kerusuhan yang terjadi saat  kampanye.

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...