Gajah
Perang, Kancil Terinjak
Apresiasi
sastra novel Lintang Kemukus Dini Hari
Seminari
Menengah Mertoyudan
Oleh : Paulus Eko Harsanto
Novel. Sebagai sebuah karya sastra,
novel mempunyai satu ciri khas: sebuah dokumen sosial. Dengan demikian novel pun
menjadi potret situasi zaman penulisnya. Lintang Kemukus Dini Hari membingkai
potret prahara politik ’65.
Lintang Kemukus Dinihari mengisahkan
Srintil yang terlibat dalam prahara politik itu. Di balik kisah itu, tersirat
sebuah pepatah Jawa yang berbunyi, “Gajah
perang karo gajah, kancil mati ing tengah.”[1]
Siapakah gajah itu? Mengapa mereka berperang? Bagaimana bisa kancil mati di
tengah?
Orde Baru
Prahara politik ’65 (Gestapu) sering
disebut sebagai tonggak sejarah runtuhnya orde lama dan berdirinya orde baru.
Peristiwa itu ternyata mendapat pengaruh dan campur tangan dari prahara yang
jauh lebih besar: perang dingin. Soekarno dipandang sebagai tokoh yang harus
ditumbangkan oleh karena kecondongannya pada blok timur, sebab Amerika tak mau
Indonesia jatuh ke tangan komunis. Maka Amerika mendukung usaha penumpasan PKI oleh
RPKAD di bawah komando Soeharto pasca G30S yang dipandang oleh Amerika sebagai
sebuah kesempatan emas untuk menumbangkan pemerintahan Soekarno. Jutaan nyawa[2]
tak berdosa terbunuh dalam peristiwa itu.
Ada
dua gajah besar dalam prahara politik ‘65: PKI dan ABRI. Kedua “gajah nasional”
itu adalah jelmaan dari dua “gajah internasional”: blok barat dan blok timur. Kedua
gajah inilah yang terpotret dalam Lintang Kemukus Dinihari. Mereka menghimpun
kekuatan dengan cara mereka masing-masing; PKI dengan berbagai propaganda yang
mengatas-namakan rakyat[3],
dan ABRI yang pelan tapi pasti menanamkan citra kekuatan yang disegani oleh
masyarakat.[4]
Kedua kekuatan ini bertemu melalui peristiwa G30S. Memang, fakta di balik
peristiwa G30S masih kelabu, bahkan hingga saat ini. Namun ada satu fakta yang
pasti dari antara sekian banyak ketidak-pastian yang ada: terbunuhnya jutaan
nyawa tak berdosa yang disangkut-pautkan begitu saja dengan PKI. “Kancil yang
terinjak” ini dilambangkan dalam sosok Srintil dan segenap warga Dukuh Paruk.
Rakyat
Awal
keterlibatan Srintil dimulai ketika Pak Ranu datang ke rumah ronggeng itu untuk
mengundangnya dalam pentas perayaan Agustusan. Walau masih takut kehilangan
harkat kewanitaannya, Srintil lebih memilih untuk menerima tawaran pentas itu
demi Sakum dan Dukuh Paruk.
Sosok Pak Ranu
pun menguak suatu prahara politik saat itu. Prahara politik saat itu sarat
dengan adu kepentingan dari kalangan elite politik. Direkrutnya Srintil, karena
dia dapat menjadi alat propaganda yang efektif dengan dekatnya ronggeng dengan
rakyat. Walau menjadi alat propaganda PKI, Srintil sama sekali tidak tahu
tentang prahara politik saat itu. Realitas ini terkait dengan letak geografis
Dukuh Paruk yang terpencil. Di sisi
lain, kultur budaya Dukuh Paruk juga semakin menjauhkan mereka dengan dunia
luar. Spiritualitas nrima pandum[5]
membuat Dukuh paruk terus berkutat pada kemelaratan dan ketidak-tahuan mereka.
Dengan mudah Srintil dimanfaatkan menjadi alat
propaganda. Kesenian Ronggeng diberi label “Ronggeng Rakyat”. Melalui sikap
kebapakan dan materi, Srintil dan Dukuh Paruk semakin lekat dengan PKI karena
merasa utang budi dengan Pak Bakar. Dengan luwes hal ini mengungkap gaya khas
PKI yang memanfaatkan mesianistik rakyat
untuk menawarkan kesan bahwa PKI sang Ratu Adil, simbol keberpihakan pada
rakyat. Srintil pun sampai pada suatu titik dimana ia merasakan sesuatu yang
tidak beres. Hal ini terkait dengan pentas ronggeng yang jauh melenceng dari
adat Dukuh Paruk.[6]
Walau akhirnya
Dukuh Paruk memilih untuk tidak meronggeng untuk Pak Bakar, namun pengerusakan
cungkup makam Ki Secamanggala oleh
kelompok caping hijau membawa Dukuh Paruk pada Dendam. Dendam yang akhirnya
dilampiaskan dengan bergabung kembali dengan kelompok Bakar. Suatu peristiwa
yang menguak situasi politik yang sarat dengan adu kepentingan.
Sampai saat
prahara politik mencapai puncaknya, Pak Bakar dan anteknya ditangkap termasuk
Srintil dan kelompok ronggengnya. Srintil juga ditangkap karena dianggap
sebagai antek PKI. Satu hari kemudian Dukuh Paruk dibumihanguskan. Bagian yang
merupakan gambaran situasi rakyat di tengah prahara politik dengan segala
penderitaannya. Kancil pun terinjak.
Kesimpulan
Kemelut adu kekuasaan dan kepentingan
para penguasa (elite politik) selalu memakan korban tak berdosa: rakyat.
Hal ini dilambangkan dalam diri Srintil yang dengan segala keluguannya menjadi
potret korban prahara politik 1965. Srintil
menjadi lambang dan contoh keluguan rakyat yang menjadi korban
kepentingan para penguasa (kaum elite politik); orang-orang yang terpaksa
menyerahkan nyawa mereka, keluarga mereka, maupun keadilan mereka.
Penutup
Gajah perang,
kancil terinjak. Hal yang dengan jelas tergambar dalam prahara politik ’65 itu
tetap bertahan dalam corak kehidupan bangsa Indonesa hingga saat ini. Kasus korupsi senantiasa bermunculan
tiada habisnya; yang miskin semakin miskin, yang kaya semakin kaya.
Butuh keajaiban untuk merubah kepribadian
oknum-oknum penguasa yang bersangkutan, sebab mereka sudah tua. Maka, masa
depan bangsa yang lebih baik ada di tangan kita sebagai kaum muda yang masih
bisa dididik dan dibentuk. Sudikah kita berbenah diri menjadi pribadi yang
lebih baik? Jangan sampai kita mewarisi kaki-kaki gajah para kaum elite
politik, yang dengan seenaknya menginjak segala yang ada di hadapannya demi
memenuhi kepentingannya sendiri.
[1] Gajah perang dengan
gajah, kancil mati di tengah.
[2] Tidak
jelas berapa jumlah tepatnya. Shadow
Play, sebuah film yang mencoba menyingkap konspirasi di balik peristiwa
G30S dan pembantaian jutaan nyawa di Indonesia di masa itu, menyebutkan
sebanyak tiga juita orang dibunuh tanpa proses pengadilan yang jelas. Itu pun
berdasarkan kesaksian Sarwo Edhie Wibowo. Berbagai sumber lain pun menyebutkan
angka yang berbeda-beda, seperti yang diutarakan dalam buku Menyeberangi Sungai Air Mata karya Rm.
Ant. Sumarwan, SJ, mulai dari 70.000 hingga satu setengah juta.
[3] Suatu
ketika datang seseorang ke Dukuh Paruk menawarkan gambar-gambar partai.
Dikatakannya gambar itu adalah perlambangan rakyat tertindas. Mula-mula Sakarya
tertarik karena orang pendatang itu sering kali dan berulang-ulang menyebut
kata “rakyat”. Kata itu bagi Sakarya tidak bisa lain kecuali bermakna kaula. (Lintang
Kemukus Dinihari, hal. 116)
[4] Gerak ABRI lebih
terlihat pada novel Ronggeng Dukuh Paruk. Di sana digambarkan bagaimana tentara
masuk ke wilayah pedesaan melalui pembangunan markas tentara di Dawuan. Lih.
Tohari, Ahmad, Ronggeng Dukuh Paruk,
Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
[6]Mulai dari dilarang
membakar menyan, dipasangnya bendera
partai di perdukuhan, lagu-lagu yang dibubuhi kata berbau Rakyat, dan memuncak dengan kerusuhan yang terjadi saat kampanye.
No comments:
Post a Comment