Saturday, May 1, 2021

Cerpen - Caraka

 

CARAKA

Oleh : Paulus Eko Harsanto

 

Hana caraka, data sawala

Padha jayanya, maga bathanga

***

Engkau percaya dengan berbagai berita yang kau santap setiap hari? Bual-bual indah nan sistematis, kata demi kata membentuk frasa, frasa demi frasa saling berangkulan membentuk badan bernama kalimat yang saling bertumpuk dan melilit, memikul paragraf, memanggul wacana, dalam berita? Sulit rasanya untuk berkata tidak, meskipun aku dipaksa untuk mempercayainya. Namun iya. Aku percaya.

Ayahku seorang wartawan. Mengejar berita, membawa kamera, merekam kisah, dan bergulat setiap hari menyusun kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam susunan yang utuh, teratur dan sistematis, membentuknya menjadi berita, menyerahkannya kepada redaksi dan editor, hingga akhirnya berita itu masuk dalam salah satu kolom Harian Rakyat untuk dibaca oleh khalayak umum yang tak berada di lokasi di mana berita itu lahir dengan sendirinya, atau lahir dengan bantuan tangan-tangan bidan wartawan. Pernah suatu ketika aku bertanya, mana yang lebih dulu lahir: wacana, atau berita? Wacana melahirkan berita, ataukah berita yang melahirkan wacana? “Jangan memperdebatkan ayam dan telur. Tidak ada habisnya,” ujar Ayahku. Pada akhirnya aku mengerti, bahwa siapapun yang lahir lebih dahulu, Ayahkulah yang melahirkan mereka. Dia Ayah dari ratusan berita di kolom-kolom Harian Rakyat.

Ayahku penggemar berita. Hidupnya dihabiskan untuk membaca berita-berita di berbagai koran setiap pagi. Tak tanggung-tanggung, Ayahku berlangganan lima koran yang berbeda: Harian Rakyat, Suara Baru, Media Rakyat, Indo Pos, dan Antara. “Langganan koran itu harus lebih dari satu, minimal dua. Penting membaca berita dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Setiap koran punya kaca-mata mereka masing-masing,” ujarnya.

“Tapi ini lebih dari dua, Pak. Bapak langganan lima.”

“Ya, lebih banyak lebih baik.”

Ayah betah membaca berlembar-lembar berita di sana setiap paginya. Koran-koran itu merupakan saran pagi di samping soto masakan Ibu. Malah, Ayah sering kali lupa sarapan hanya untuk membaca berita di koran sepanjang pagi di akhir pekan. Wajahnya selalu tertutup koran setiap pagi, bahkan di meja makan.

“Pak, sotonya.”

“Iya.”

Selak dingin lho, Pak.

“Iya.”

Uwis le, Bapakmu ra doyan soto. Ben sarapan koran wae ben dina.”

Percakapan itu seolah menjadi percakapan rutin kami setiap pagi di akhir pekan. Maklum, Ayah sibuk bekerja dari pagi hingga malam setiap harinya. Hanya di akhir pekanlah Ayah dapat menghabiskan waktunya untuk bersantai dan beristirahat…

…dengan koran.

Tidak bosan apa Ayah dengan berita?

“Warta, pacar pertama Bapakmu itu koran. Yen koran ki wedok, bapakmu mesti wis rabi karo koran.” Begitulah sambat Ibu setiap hari. Padahal Ibu juga wartawan, sama seperti Ayah. Mereka bertemu di Poso ketika Ayah meliput kerusuhan yang terjadi di sana. Dua jurnalis dari dua koran yang berbeda, jatuh cinta di tengah kerusuhan. Mereka pun pulang ke Jawa, dan tanpa basa-basi menikah dalam tempo sesingkat-singkatnya. Mungkin mereka takut dipisahkan oleh berita.

Begitulah aku lahir di tengah keluarga jurnalis. Ayah dan ibuku sibuk meliput berita setiap harinya, sementara aku alergi dengan berita. Tidak mudah bagiku untuk begitu saja mempercayai semua berita yang ada di berbagai media massa, bahkan liputan ayahku di Harian Rakyat. Butuh waktu yang panjang hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengerti dan memahami, bahwa sesungguhnya semua berita itu menyimpan kebenaran yang patut untuk dibaca.

Hingga kebenaran merubah wajah hidup keluargaku.

***

Pagi itu tidak ada koran.

Hari itu hari Senin. Ayah tidak berangkat kerja. Dia hanya duduk di depan TV, menonton berita pagi. Dia tidak bergegas mandi, sarapan, memakai kemeja, menyeruput sedikit kopi dan berangkat begitu cepat seolah hendak kehilangan berita yang melulu dikejarnya setiap hari. Ayah terlihat sakit, bukan karena dia sakit. Dia terlihat pucat.

Ibu sudah berangkat kerja. Hari itu sekolah libur.

“Pak.”

“Ya.”

“Bapak tidak berangkat kerja?”

Ayah terdiam. Kedua matanya menatap kosong layar di hadapannya.

“Pak?”

Malino… Helsinki…[1] semua terliput dengan baik. Tak ada masalah. Kenapa.. kenapa sekarang…”

“Kenapa, Pak? Ada apa?”

Ayah masih terdiam. Tak seperti biasanya ayahku terperangkap dalam pikirannya sendiri. Kedua matanya menatap jauh ke depan, seolah melemparkan beban yang jauh dan berat di satu titik di mana tatapannya jatuh tepat di depan layar. Dia memejamkan matanya, menarik nafas yang berat dan panjang, hingga dia mengangkat tatapannya kepadaku.

“Bapak dipecat, Ta.”

“Dipecat?”

“Iya. Semalam Bapak ditelepon oleh atasan. Bapak dipecat.”

Ada momen kosong yang tidak menyenangkan.

“…kenapa? Kenapa dipecat? Bapak sudah puluhan tahun menjadi wartawan. Bapak wartawan senior Harian Rakyat.”

“Sudah, le. Bapak dipecat.”

“Tapi kenapa, Pak? Kenapa Bapak dipecat?”

Lagi, Ayah menjatuhkan tatapannya yang berat ke depan layar televisi. Liputan Pagi menyiarkan berita hasil pemilu Presiden beberapa hari yang lalu. Animo masyarakat begitu tinggi menyongsong kepemimpinan Presiden yang baru. Namun Ayahku tidak.

“Liputan Bapak ditolak oleh redaksi.”

“Liputan? Liputan apa?”

“Korupsi, Nak.”

Kata itu terdengar lugas dari mulut Ayah. Untuk pertama kalinya mata Ayah kembali menyala.

“Ada Korupsi di keluarga presiden kita.”

“Korupsi?”

“Ya. Korupsi. Trilyunan uang disalah-gunakan dari anggaran negara untuk pemilu tahun ini. Bapak punya sahabat dekat, intel pemerintah. Begitu mendapat kabar itu, Bapak langsung menyeledikinya. Bapak mendapat beberapa bukti penting penyalah-gunaan anggaran itu.”

“Tapi kenapa redaksi menolak liputan Bapak? Bukannya selama ini liputan Bapak selalu diterima?”

“Tidak kali ini, Nak. Harian Rakyat aktif dalam kampanye presiden kita tahun ini. Teman-teman Bapak semua dapat jatah. Pencitraan dibangun oleh jurnalis-jurnalis palsu, dan sayangnya, mereka semua teman-teman Bapak sendiri. Semua berita itu palsu.”

Lagi, mata Ayah kembali meredup. Siaran pemilu presiden pagi itu tidak lebih dari sekedar sampah di matanya. Rasa jijik dan enggan menguar di kedua matanya. Ayah mematikan televisi, lalu merenung seorang diri.

Namun itu tidak bertahan lama. Pelan tapi pasti, mata Ayah menyala kembali.

“Bapak tidak mau seperti mereka. Mereka semua wartawan palsu. Bekerja tanpa mendengarkan hati nurani. Kita, manusia, dikaruniai Allah hati dan budi. Kita berpikir dengan kepala kita, dan saat itulah budi kita bekerja. Kita merasa dengan hati kita, dan saat itulah hati nurani kita berkata. Hati nurani itu pintu suara-Nya. Tak semestinya kita melawan kehendak Allah dalam hati kita.”

“Tapi Pak, itu hidup Bapak. Bapak wartawan. Bapak tidak bisa tidak meliput berita.”

“Warta, kamu tahu kisah Hana Caraka?”

“Ada di sekolah, diajarkan di pelajaran Bahasa Jawa.”

“Ada seorang raja bernama Ajisaka. Dia memimpin rakyatnya dengan arif dan bijaksana. Sebagai seorang raja, dia memiliki sebuah keris pusaka. Keris ini sakti mandraguna, tak seorang pun boleh memilikinya kecuali dirinya. Hingga suatu ketika dia merasa, dia harus menyimpan kerisnya di suatu tempat yang jauh, aman dan terjaga. Ajisaka pun memanggil seorang abdi kepercayaannya. Dia bernama Sembada.

‘Sembada.’

Sendika Dalem, ingkang sinuhun Gusti Pangeran Ajisaka.’

‘Sembada, aku memiliki sebuah keris pusaka yang sangat sakti. Kesaktiannya begitu kuat, sangat kuat, dan aku merasa khawatir apabila kesaktiannya yang tak terbendung itu mengundang tangan-tangan jahat untuk datang ke negeri ini dan merebutnya dari tanganku. Oleh karena itu pergilah, Sembada. Bawa keris ini bersamamu. Simpanlah di sebuah gua yang gelap dan tersembunyi, di mana tak seekor ulat pun hidup menggemburkan tanahnya. Jangan biarkan seorang pun datang mengambil keris ini dari tanganmu, kecuali tanganku sendiri.’

‘Baik, baginda. Sahaya mengerti.’

‘Berjanjilah Sembada, untuk menjaga keris ini dengan segenap hidupmu, dan segenap jiwamu.’

‘Sahaya bersumpah untuk menjaga keris pusaka Baginda Raja Ajisaka dengan segenap jiwa dan raga sahaya, hingga sahaya menghembuskan nafas pamungkasaning gesang sahaya, hingga Baginda datang untuk mengambil keris pusaka Baginda Raja Ajisaka.’

Maka pergilah Sembada, jauh ke gua di mana tak seorang pun datang memasukinya bahkan untuk melihatnya saja sekalipun, sebab gua itu begitu gelap, segelap-gelapnya gelap, lebih dari gelap. Keris situ disimpannya dalam selembar kain putih bertuliskan mantra dan doa sang Baginda untuk meredam kesaktian sang Keris Pusaka. Keris itu kemudian disimpan di belakang pinggang kirinya, dalam bebat kain cokelat bermotif parang rusak membalut pinggangnya. Di sana Sembada duduk bersila, diam dalam tapa dan samadi.

Waktu terus berlalu. Tahun demi tahun datang dan pergi, seiring dengan memutihnya helai-helai rambut raja Ajisaka. Segenap negeri dan rakyatnya hidup aman dan sejahtera, hingga suatu ketika baginda raja teringat akan satu hal: keris pusaka. Ketenangan dan kedamaian pun terusik dalam benaknya, tercemar oleh bayang-bayang buruk akan sang keris pusaka. Bagaimanakah keris itu sekarang? Bagaimana kabar Sembada? Masih hidupkah ia? Bagaimana jika keris itu berhasil direbut oleh tangan-tangan jahat untuk mengusik kedamaian negeri ini? Tenggelam dalam kekalutannya, Ajisaka memanggil seorang utusan kepercayaannya. Utusan itu bernama Dora.

‘Dora.’

Sendika Dalem, ingkang sinuhun Gusti Pangeran Ajisaka.’

‘Bertahun-tahun sudah aku memimpin negeri ini. Rakyat hidup tenang dan damai dalam kesejahteraaan yang tak terperi. Tak satu pun penjahat berani mengusik kedamaian negeri kita, dengan kesaktianku yang mengatasi langit dan bumi.

‘Namun Dora, betapa resah hatiku mengingat satu pusaka yang telah lama kusimpan nun jauh di sana. Pusaka itu adalah keris yang sangat sakti mandraguna, kesaktiannya melebihi pusaka manapun yang ada di muka bumi ini. Aku menitipkannya pada Sembada, abdi kepercayaanku bertahun-tahun yang lalu, untuk dijaga dan di simpan di sebuah gua nan gelap nun jauh di sana, yang tak terjamahkan sinar Matari, supaya tak seorang pun datang untuk mengambilnya. Aku percaya, Sembada menjaga keris pusaka itu dengan segenap jiwa dan raganya, mengingat dia merupakan abdiku yang paling setia. Namun kini, resah dan gelisah menggantung di dalam batinku. Aku khawatir keris itu telah direbut oleh tangan-tangan jahat nan sakti dari tangan Sembada.’

‘Pergilah, Dora. Datanglah kepada Sembada. Kabarkanlah padanya bahwa aku, baginda Raja Ajisaka, mengutusmu untuk mengambil keris itu dari padanya. Ajaklah dia untuk turut serta pulang bersamamu. Sudah tiba saatnya Sembada mengakhiri tugasnya dan pulang kembali ke tanah kelahirannya.’

Sendika dhawuh, Sinuhun.’

Maka pergilah Dora ke tempat di mana Sembada berada, diam dalam tapa dan semadi di dalam gelap gua terpencil nun jauh di sana. Tak butuh waktu lama bagi Dora untuk menemukannya, segelap apapun gua itu. Dora menyelinap masuk ke dalam gua, tanpa suara, menjumpai Sembada dalam tapa semadinya di jantung gua yang begitu dalam. Sembada membuka matanya.

“Dora bertemu dengan Sembada, menyampaikan pesan raja Ajisaka untuk mengambil keris pusaka, tapi Sembada menolak dan berkata, ‘Hanya baginda Raja Ajisaka yang boleh mengambil keris ini dari tanganku,’ lalu mereka bertarung sampai mati. Begitu kan, Pak?”

“Persis. Kesaktian Dora dan Sembada setara hingga tak satupun dari mereka memenangkan pertarungan itu. Keduanya mati dalam tugas mereka sebagai utusan.”

Kali ini aku terdiam, mencerna kisah yang diceritakan oleh Ayahku. Apa hubungannya semua itu dengan pekerjaan Ayah?

Melihat kerut wajahku, Ayah tersenyum.

“Dora dan Sembada menjalankan tugas mereka dengan penuh pengabdian. Mereka menyampaikan pesan sang Raja dengan jujur, apa adanya, dan dengan setia menjalankannya hingga akhir hayatnya. Mereka Caraka yang baik, utusan yang jujur dan bermartabat. Begitulah semestinya seorang wartawan. Lebih baik Papa dipecat daripada hidup sebagai wartawan palsu.”

Papa tersenyum hangat. Dia tidak lagi terlihat sakit. Dia bangkit, memakai jaketnya, dan pergi membeli beberapa koran untuk dibaca. Satu minggu sesudah itu, Ayah melamar kerja di Indo Pos. Dia diterima di sana, mengangkat berita korupsi yang ditemukannya, dan berita itu diterima oleh redaksi. Berita itu dengan cepat tersebar ke berbagai media, lebih dari berita apapun. Namun pemerintah menyangkal berita tersebut, dan berbagai media berbalik melawan ayahku. Meski begitu, Ayah terus berjuang. Merangkai jalinan kata, demi kebenaran.

Dan kebenaran pun mengubah hidup Ayahku.

***

Pagi itu tak ada Ayah.

Rumah kami begitu ramai dikerumuni warga. Ayahku tergeletak di teras. Koran-koran basah menutupi sekujur tubuhnya. Merah dan basah.

Ibu menangis, melolong dan meringis. Menangisi dia yang mendengarkan hati nurani. Memperjuangkan kebenaran. Melawan caraka-caraka palsu.

Untuk wartawan Udin, dan mereka yang memperjuangkan kebenaran dalam kejujuran, hingga titik darah penghabisan.

[1] Perjanjian perdamaian konflik Maluku dan Aceh.

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...