Saturday, December 21, 2019

Cerpen - Arungi Mati


Arungi Mati
Oleh : Paulus Eko Harsanto

Namaku Arung.
Tiga puluh lima warsa sudah aku menarik nafas. Hidupku? Mapan. Rumahku lima, empat di Jawa dan satu di Kalimantan. Pekerjaanku: general manager of credit Bank Mandiri di Jakarta. Istriku cantik, Diana namanya. Pintar memasak, cerdas dan berpendidikan. Aku bertemu dengannya saat sedang bertugas di Bandung. Sunda asli, putih langsat, dengan seulas wajah terukir indah di muka. Anakku perempuan, Gina namanya. Wajahnya cantik, seelok ibunya, dengan mata biruku bertengger di rongga tengkoraknya. Kurasa tiada yang kurang dari hidupku ini.
Pagi ini aku mengikuti rapat bersama para pejabat perbankan. Seperti biasa, kutelusuri berlembar-lembar dokumen kredit sembari mendengar celoteh pak Hamzah, direktur Mandiri, mengenai dollar, rupiah dan perekonomian Indonesia yang seolah tak kunjung habisnya. Tak seperti biasanya, terbayang olehku pagi itu berbagai memori yang malang-melintang tanpa permisi dalam benakku, entah mengapa. Arung yang sekarang bukan lagi Arung yang dulu, mengenakan setelan jas dan kemeja hitam nan elegan, lengkap dengan dasi dan sepatu mengkilap. Arung yang dulu hanyalah seorang bocah kampung di pedalaman Salatiga, Arung si anak tentara. Satu pertanyaan: bagaimana bisa kuraih semua ini?
Setiap saat, ketika kupandang setiap jengkal ruang hidupku, selalu teringat olehku segala jerih-payah yang telah membangun hidupku. Lahir sebagai seorang putra tentara di Salatiga, aku tumbuh sebagai seorang muslim yang baik. Kami berdelapan diajari bapak untuk senantiasa taat menunaikan sholat lima waktu. Akulah yang selalu bangun paling pagi sebelum ayam berkokok, membangunkan ketujuh saudara-saudariku yang lebih memilih bergelung di atas dipan daripada sholat subuh. Akhirnya bapaklah yang bertindak. Garis wajah yang tegas terukir di wajah coklat kehitamannya sudah cukup menyampaikan seutas pesan tanpa kata, ”Ayo, tangi. Yen ora, taksetut kowe.” Demikianlah kami bangun setiap pagi, berjalan menembus saput embun tak lebih dari seratus meter menuju surau berpayungkan pohon kelengkeng di ujung gang untuk sekedar menunaikan sholat subuh.
Bapak sangat menyayangiku. Ibu meninggal tepat sesudah melahirkanku, menjadikanku anak terakhir yang pernah mencecap hangat rahimnya. Mungkin itulah yang membuat bapak sangat menyayangiku. Demikianlah, pada suatu malam sebelum aku tidur, ayahku duduk di tepi dipan sembari memandangku. Aku masihlah seorang bocah kala itu.
”Wajahmu, Nak.”
”Kenapa, Pak?”
”Wajahmu...”
Ayah terdiam, tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Sebulir air mata mengalir di pipinya. Aku bingung. Tentara, menangis? Tapi barulah kemudian kusadari, bahwa ternyata wajahkulah yang paling mirip dengan wajah ibuku. Itupun kata saudara-saudariku. Sejak malam itu aku semakin giat menolong ayahku. Sederhana saja: mencari kayu bakar setiap pagi, mencuci pakaian saudara-saudaraku di kali, menanak nasi, dsb. Aneh memang, seorang anak bungsu menjadi anak paling bertanggung-jawab dalam keluarga. Namun begitulah kulalui masa kecilku di Salatiga. Semua itu kulakukan sebelum dan sesudah sekolah, menjadikanku seorang lelaki yang terbiasa mengurus tanggung-jawab yang besar mulai dari yang kecil sekalipun.
1988. Umurku masih dua belas tahun, namun aku sadar, aku tak akan bisa meraih hidup yang lebih baik bila terus melanjutkan hidup di Salatiga. Aku harus bersekolah di tempat yang lebih maju, dengan guru-guru berseragam licin dan bersepatu hitam.
”Pak.”
”Ya, Nak?”
”Arung mau sekolah di Jogja.”
”Jogja?”
Wajah bapak mengerut. Baru kali ini anaknya meminta diri untuk pergi ke tempat yang jauh, hanya untuk bersekolah.
”Di mana, Nak?”
”SMP Negeri 8, Pak.”
”Lantas, tinggal di mana? Saudara pun tak ada di sana.”
”Ngekos saja, Pak.”
Bapak terdiam. Dipejamkannya mata, hening menimbang keputusan. Lantas ditatapnya wajahku lekat-lekat. Rupa-rupanya bapak menangkap sorot mataku yang sarat akan semangat hidup, sorot mata yang tak asing lagi baginya. Sorot mata yang sering dijumpainya di medan perang.
Yo wislah, yen kuwi pepenginanmu. Pergilah. Tapi kamu harus berangkat sendiri. Bapak tak bisa meninggalkan kakak-kakakmu di rumah. Belajarlah di Jogja, Arung.”
Maka begitulah. Aku merantau ke Yogyakarta, mencari secercah harapan atas hidup yang lebih baik.
***

”Pak Arung?”
Mataku menerawang jauh. Secangkir Mocca Arabica panas mengepul di samping tanganku.
”Pak Arung!”
Aku bergidik. Berapa lama aku melamun?
”Sudah beres, dokumen yang Anda urus?”
Dokumen? Oh, ya. Dokumen itu. Berlembar-lembar dokumen di atas mejaku.
”Sebentar lagi selesai, Pak Hamzah. Mohon kesabarannya.”
Rapat kembali berlanjut. Agak malu rasanya, mengingat seisi ruangan sejenak menatapku dengan penuh tanda tanya. Kutelusuri kembali lembar-lembar dokumen di atas mejaku. Persetan! Hanya angka, angka dan angka, dengan sejumlah nama dan alamat beserta permasalahan yang terlibat di dalamnya.  Paling-paling kredit macet.
Kututup lembaran dokumen itu. Memuakkan. Kenapa banyak orang sibuk memusingkan keping-keping logam maupun lembar-lembar kertas yang bertorehkan sejumlah nominal di atasnya? Sampai di mana lamunanku tadi?
Ah, ya. Yogyakarta. Aku merantau ke Yogyakarta, merajut hidup di sana. Hidup yang kutahu tak’kan pernah bisa kuraih, tanpa pendidikan. Kuurus semuanya sendirian: mendaftar di SMP 8, mencari kos-kosan di daerah Terban, hingga kerja sambilan sebagai tukang angkut barang di pasar Terban. Uang hasil kerja sambilan itu kutabung untuk membeli koran setiap minggunya, mengingat pesan bapak untukku, ”Le, di kota kamu harus baca koran. Kalau kamu mau hidup sejahtera, kamu harus punya banyak wawasan.”
Aku lulus dari SMP 8 sebagai lulusan terbaik urutan ketiga. Banyak orang tak menyangka, seorang bocah desa sepertiku mampu meraih prestasi setinggi itu. Kulanjutkan pendidikanku di SMA Negeri 1, dan lulus pula sebagai lulusan terbaik, kali ini sebagai lulusan terbaik pertama. Namun semua itu menjadi hal yang biasa bagiku. ”Masih kurang,” pikirku.
Dengan prestasi yang ada padaku, dengan mudah kuperoleh beasiswa dari pemerintah kota Yogyakarta. Kesempatan itu tak kusia-siakan, aku pun memutuskan untuk melanjutkan kuliah di fakultas ekonomi Universitas Gajah Mada. Kebiasaan membaca masih kulakoni. Tak hanya koran, aku pun mulai kecanduan sastra. Dengan mudahnya aku terpikat pada lukisan kata Pramoedya, Tohari dan Mangunwijaya. Aku pun semakin mengenal seluk-beluk hidup manusia, humaniora yang tertuang dalam jalinan kata dalam sastra.
Pelan tapi pasti, kurajut hidup yang kuangankan di Yogyakarta. Seusai memperoleh gelar SE di UGM, segera aku melamar kerja sebagai teller di bank Bumi Daya. Dengan setia kulakoni peranku sebagai seorang teller, hingga akhirnya jabatanku naik selangkah demi selangkah. Kepandaianku dalam menjalin relasi dan jaringan membuatku dapat lebih mudah mencapai jabatan yang lebih tinggi, hingga akhirnya kuraih jabatan sebagai general manager of credit. Berulang-kali aku mutasi, mulai dari Surabaya, Palu, Bandung, hingga Banjarmasin. Meski begitu aku tetap setia mengunjungi Bapak dan saudara-saudariku di Salatiga setiap Lebaran. Tahun ’99 Bumi Daya merger dengan Mandiri, dan aku tetap dipercaya sebagai general manager of credit. Demikianlah kuraih apa yang kuinginkan dengan perjuangan yang setimpal, hingga aku berada di ruang rapat ini bersama segenap pejabat tinggi perbankan.
 Kulirik jamku. Sepuluh lewat lima belas. Masih pagi, pikirku. Rapat ini terasa lama sekali, begitu lama dan lambat. Entah mengapa aku merasa bosan dengan semua ini. Semua ini, aluning sang gesang, hanyalah sebuah pola tak teratur yang selalu berulang; setiap pagi aku terbangun dengan tubuh Diana melintangi pinggulku, mandi, sarapan, minum secangkir kopi Mocca Arabica, berangkat kerja, berhadapan dengan klien yang bersungut-sungut atau bahkan puas dengan trilyunan alasan, having lunch, kerja lagi, dan pulang dengan Diana yang sudah tergeletak di ranjang, siap menyambut lelahku. Tak sepatutnya aku bosan dengan semua itu, sungguh keparat diriku ini bila hal itu terjadi sementara jutaan manusia berceceran tanpa daya di luar sana, mengidamkan kehidupanku. Tapi inilah aku; aku bosan, bosan dengan hidupku.
***
”Kamu nggak minum Mocca Arabica, Arung?”
Aku menulikan diri dari sapaan Diana pagi ini. Rasa jenuh yang muncul saat rapat kemarin pagi masih menghantuiku. Kebosananku begitu hebat, memberangusku dari segala kata yang ada dalam benakku. Diana hanya terdiam menatapku yang duduk melamun di muka siaran berita di televisi. Tanpa kata, dia pun pergi ke dapur, mengecek tumisan chicken teriyaki’nya untuk bekal Gina di sekolah.
Semua sudah ada di depan mataku: istri, rumah, pekerjaan, anak, dan sebuah kehidupan yang begitu mapan, aman dan tentram. Perjuangan panjang nan keras telah kulalui: kutinggalkan Salatiga, kutuntut ilmu di Yogyakarta, menjadi seorang teller, hingga akhirnya kuraih hidup nan mapan ini. Tapi aku bosan, bosan dengan hidupku. Ada yang kurang dari semua ini, entah apa.
Apa yang bisa kulakukan?
Atau, apa yang belum aku lakukan?
Ya, itu dia! Apa yang belum pernah kulakukan? Kurasa aku perlu mencoba sesuatu yang baru. Tapi apa? Mencoba sesuatu yang baru toh hanya akan melahirkan aluning gesang baru yang akan kembali terulang esok di kemudian hari. Lantas apa? Suatu hal, yang tak akan pernah terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya? Yang dapat mengakhiri kepenatan dan kebosananku?
Gina berlari dari kamarnya di lantai dua. Dihempaskannya tubuhnya di sofa, menjinjing sepasang nike kets putih yang akan dipakainya bersekolah. Dengan seragam putih biru, anak ini sungguh terlihat manis. Benar-benar seelok Diana.
”Pa!”
”Gina, jangan teriak-teriak. Masih pagi.”
”Pa, kok nonton berita terus, sih? Yang lain, dong! Oprah, gitu kek.”
”Gina, berita itu penting. Kamu bisa...”
”...bisa tahu banyak soal dunia. Berapa kali Gina harus dengerin alasan yang sama dari Papa? Bete, tau Pa.”
Bibir Gina menipis dan melengkung ke bawah. Kuusap rambut panjangnya sembari tersenyum, membalas tatap sayang seorang anak kepada ayahnya. Gina, Gina... Kalau bukan karena kamu dan ibumu, papa pasti sudah mati bosan di rumah ini. Namun tahukah kau, nak? Papa sedang dilanda kebosanan yang amat sangat, sebosan-bosannya bosan, yang membuat ayah tak kuasa bertahan dari keroyok pikiran kotor yang berkelebat dalam benak papa. Andai engkau tahu, nak. Andai engkau tahu.
Kutatap kembali siaran berita di televisi. Menjemukan.
”Seorang Ibu muda tewas bunuh diri pagi ini. Dia mengakhiri hidupnya dengan lompat dari sebuah gedung apartemen setinggi dua puluh lima lantai di daerah Jakarta pusat. Menurut keluarga yang bersangkutan, korban melakukan bunuh diri karena depresi yang...”
“Arung, Mocca Arabica’nya sudah kamu minum belum?”
Aku terdiam. Kupicingkan mataku, menatap siaran itu.
”...diduga penyebabnya adalah sang suami yang meninggalkannya begitu saja, bersama kedua anaknya yang masih balita. Tingginya angka perceraian di Jakarta, mengindikasikan...”
Tunggu sebentar.
”Pa? Kok ngelamun, sih?”
”Nggak, Gina. Papa nggak ngelamun. Papa cuma...”
Hmm.
Itu dia.
”Ayo, Nak. Cepat pakai sepatumu. Nanti kamu terlambat sekolah.”
Aku tahu, apa yang kuinginkan.
Kuseruput habis Mocca Arabica dari cangkirku, bergegas memenuhi ide brilian yang baru saja melintas di benakku. Ya, kali ini pasti mengasyikkan dan tidak membosankan.
***
”Pak Arung! Turun, Pak Arung!”
Ah, masa bodoh. Udara di puncak gedung ini begitu lembut menyapu wajahku, membelai pipiku yang sudah terlalu kusam untuk sekedar dijamah oleh seorang wanita sekalipun.
”Turun, Pak Arung! Masya’Allah, Pak Arung!”
Kulepaskan pijakanku dari bibir puncak gedung berlantai lima puluh itu. Ah, udara itu semakin kencang membelai wajahku. Semua berkelebat di kepalaku; Salatiga, Bapak, Diana, Gina, ribuan klienku, pernikahanku, kehidupanku.
Ratusan orang di bawah sana tampak seperti semut di mataku. Detik demi detik, mereka semakin membesar di pupil mataku. Hahaha, mengasyikkan. Mereka semua berlari menjauhiku. Bodoh, pikirku. Sambut kedatanganku, bodoh!
Ah, inilah saatnya.
Kukecup aspal panas itu, mesra.
BRAKK!
Nanar mataku menyapu sekelilingku.
Darah berceceran, melumuri setiap inci aspal tempatku berbaring.
Igaku patah tiga, aku bisa merasakannya menusuk paru-paruku. Kemejaku robek, lengan kananku terpeluntir ke kiri melawan tempat di mana seharusnya dia berada. Otot pahaku sobek, darah mengalir darinya. Gigi-gigiku bertaburan di hadapan mukaku, dua gerahamku bahkan menyedak tenggorokanku.
Di mana aku? Surga? Neraka?
Ah, sial.
Aku masih bernafas.
Dengan susah payah kuangkat tubuhku yang tak lagi berbentuk layaknya seorang Arung Fajar Samudra. Orang-orang itu, mereka ngeri memandangku. Akan kucoba lagi, pikirku. Aku tak akan menyerah begitu saja, tidak akan. Ini mengasyikkan!
Bermandikan darah, aku melangkah. Kuseret kakiku yang meninggalkan jejak garis darah yang panjang, bagaikan kuas menyapu kanvas.

Hidup adalah perjuangan, yang dimahkotai oleh kematian.

Tuesday, December 10, 2019

Cerpen - Antara Bakso dan Mie Ayam


Antara Bakso dan Mie Ayam

“Bakso atau mie ayam, mas?”
Perempuan itu cantik. Seksi, berbalut kaos ketat putih dengan celana straight jeans.
“Ehm… Hmm…”
Jono lapar, keringatan. Asap mengepul dari kuali bakso, mengantar aroma bakso urat daging sapi pada kedua cuping hidungnya. Dia bingung, resah dan bimbang. Bakso, atau mie ayam?
Siang itu Jono disekap oleh teman-temannya, diculik dan dibawa ke warung bakso dan mie ayam. Mereka hendak merayakan kelulusan mereka tepat setelah hasil ujian nasional mereka terima siang itu, khususnya teman mereka yang memperoleh predikat lulusan terbaik sekabupaten Sleman, Jono. Ya, Jono bahagia. Dia sendiri tak menyangka teman-temannya akan memaksa dia pergi bersama mereka, semata-mata untuk merayakan prestasi yang telah dicapainya. Namun kebahagiaan Jono mendadak lenyap saat tahu bahwa teman-temannya hendak mentraktirnya makan di warung bakso dan mie ayam dekat SMA mereka, SMA Negeri 1 Sleman.
NEM 59,8, edan tenan... Tanpa contekan! Salut, salut... Piye jal, olehmu sinau?” tanya Lena, heran. Sementara itu Jono terdiam, terkesima melihat pilihan menu yang terpampang jelas di tembok warung itu: bakso lima ribu, mie ayam empat ribu, mie ayam bakso tujuh ribu, es teh dan es jeruk seribu rupiah. Uang bukan lagi masalah, karena dia ditraktir oleh teman-temannya. Tapi masalahnya, bakso atau mie ayam? Pertanyaan itu terngiang-ngiang di dalam benaknya, menenggelamkannya dalam lautan emosi yang begitu amburadul. Dalam rasa bingung dan bimbang.
“Jon, dari dulu kamu pasti nggak mau diajak makan bakso. Makanya aku sama temen-temen ngajak kamu ke sini, biar kamu damai sama yang namanya bakso,” ujar Lisa.
Iya Jon! Cah SMA kok ora doyan bakso. Mie ayam, lagi. Pol-pol’e soto. Atau, jangan-jangan itu rahasiamu dapet nilai bagus? Pantang bakso dan mie ayam berformalin?” lanjut Dani.
Jono masih terdiam. Dahinya berkerut kencang. Bukan itu masalahnya. Ada hal lain, yang membuatnya begitu membenci gumpalan daging dan urat bernama bakso. Bertahun-tahun dijauhinya makanan itu, dan kini mau tidak mau dia harus memilih: bakso atau mie ayam?
 Jam dinding terus berdetik. Jono tenggelam dalam kekalutan hatinya, dihantar oleh detik jam dinding ke dalam derasnya arus memori yang mengalir, membanjiri benaknya.
***
“Pak Soma, bakso setunggal nggih!”
“Inggih, sekedap!”
Warung bakso Pak Soma siang itu ramai dikunjungi pembeli. Kaos oblong swan brand melekat basah pada tubuhnya yang banjir keringat. Bersama istrinya, Ibu Minah, dilayaninya belasan pesanan bakso siang itu di warung gedhek[1]nya yang sempit nan sesak akan pelanggan. Aroma bakso urat daging sapi menguar ke seluruh penjuru warung, menguji kesabaran para pelanggan.
Jono kecil duduk di dekat ayah dan ibunya. Dipegangnya erat-erat garpu bertenggerkan sebutir bakso di tangan kanannya sembari menikmati bakso itu cuil demi cuil dengan ujung gigi serinya yang masih sebesar biji ketimun. Demikianlah Jono kecil melewati hari demi hari bersama orangtuanya, hingga akhirnya ia mulai menghabiskan sebagian besar waktunya di SD Negeri Rejodani, Sleman.
Jono adalah anak semata wayang dari pasangan penjual bakso yang terkenal seantero kabupaten Sleman. Dia hidup dari bakso dan besar bersama bakso. Tiada hari dilewatinya tanpa bakso. Bakso pun menjadi bagian dari kehidupannya.
Jono kenal betul apa itu bakso dari ayah dan ibunya. Dia bahkan hapal dan paham betul cara membuat bakso yang gurih dan kenyal tanpa bahan pengawet. Resep rahasia itu diperolehnya dari sang ayah. Kalau ada jurusan perbaksoan di universitas Gajah Mada atau universitas besar lainnya di Yogyakarta, tentu Pak Soma akan dengan cepat memperoleh gelar sarjana, bahkan doktor ataupun M.Ba., Master of Bakso.
“Jon, membuat bakso itu tidak boleh asal-asalan. Harus dengan hati, itulah kuncinya. Maka dari itu bakso buatan bapak kenyal dan gurih meski tanpa bahan pengawet. Yang penting hati, Jon.”
“Iya, Pak. Jono ngerti.”
“Kamu tahu, kenapa banyak tukang bakso memakai boraks dan formalin? Karena mereka membuat bakso tidak dengan kesungguhan hati, Jon. Makanya mereka memakai boraks dan formalin agar bakso buatan mereka kenyal dan tahan lama. Mereka tidak mengerti betapa pentingnya hati. Racikan boleh beda, tapi hati harus sama. Kuncinya hati, Jono. Ngerti, le?
“Inggih, Jono ngertos.”
Demikianlah Jono bercakap-cakap dengan ayahnya setiap malam di kala ia membantu ayahnya membuat bakso di rumah. Jono melewati masa kecilnya bersama bakso yang digeluti dan dicintainya dengan sepenuh hati. Wejangan[2] sang ayah melekat kuat dalam hatinya dan terus dibawanya ke manapun dia pergi. Oleh karena itulah Jono selalu bisa membedakan bakso mana yang dibuat dengan hati dan mana yang tidak. Hari demi hari dilewatinya dengan begitu indah bersama ayah dan ibunya, hingga sebuah peristiwa mengubah segalanya.
***
Jono lulus dari pendidikan dasar dengan prestasi yang baik. Jono tidak pernah tinggal kelas, dan tak ada satu pun nilai merah pernah singgah di rapornya. Demi putranya, Pak Soma mendaftarkan Jono di sebuah SMP favorit di kota Yogyakarta. Pilihan pun jatuh pada sebuah SMP swasta Katolik, SMP Pangudi Luhur 1. Dengan penuh rasa antusias Jono mendaftarkan diri di sekolah itu dan mengikuti rangkaian tes seleksi yang ada, berharap akan masa depan yang jauh lebih baik di cakrawala kehidupannya di masa yang akan datang. Begitulah angan-angan kaum akar rumput, angan-angan yang kental akan harapan.
Kabar baik menampik Jono. Dia diterima di sekolah yang diimpikannya itu. Melonjak kegiranganlah Jono pagi itu, tertawa bahagia menggenggam surat pemberitahuan penerimaannya. Dia bahkan menerima bantuan beasiswa dari pihak sekolah. Kabar baik menerjangnya satu demi satu, menenggelamkannya dalam arus kebahagiaan yang begitu deras mengalir dalam dirinya.
“Aku sekolah ing kutha…”
Bukan Jono saja yang saat itu tersesat dalam belantara suka cita. Pak Soma dan Ibu Minah pun turut merasakan apa yang putra mereka rasakan. Apa lagi Jono menerima bantuan beasiswa dari pihak sekolah. Ayah dan ibunya bernafas lega mendengar hal itu.
“Amin.. Yah, setidaknya kamu bersekolah di kota, Nak,” batin Pak Soma.
Hari berlalu. Tahun ajaran baru menyambut Jono. Kini dia bukan lagi seorang bocah SD sebagaimana dulu. Dia sudah SMP, saat di mana dia menyambut masa remaja yang menanti di hadapannya. Pak Soma menyiapkan dagangannya sembari memandang anaknya yang baru saja berangkat sekolah untuk pertama kalinya pagi itu. Tersenyum banggalah dia akan anak semata wayangnya. Wajah damainya menyiratkan harapan yang begitu besar pada diri Jono. Maka kembalilah Pak Soma bekerja bersama istrinya, bergulat di tengah arus kehidupan bersama bakso kesayangannya demi keluarganya tercinta.
Suasana baru menyambut Jono di sekolah barunya. Sekolah itu tiga kali lebih luas daripada sekolahnya dahulu. Tidak ada lagi kelereng, gasing ataupun keriuhan teman-teman yang asyik bermain petak umpet di halaman sekolah seperti yang dialaminya di desa dahulu. Sekolah itu penuh akan anak-anak ber’hp, bersepatu mahal dengan tas ransel yang penuh akan berbagai macam mainan, komik dan gadget. Segera Jono tenggelam dalam arus keminderan diri yang menerjangnya tanpa kenal ampun. Seragam, sepatu dan tas peninggalan ayahnya terkesan kuno dan antik. Jono diam seribu bahasa.
Pembukaan MOS digelar di halaman sekolah. Pagi itu semua siswa baru diminta untuk memperkenalkan dirinya masing-masing di halaman sekolah.
“Namaku Richard. Aku tinggal di perumahan Timoho Asri blok A. Papaku bekerja sebagai manajer bank Mandiri di Yogyakarta.”
“Jenengku Adit! Wong tuwaku jenenge Joko karo Susi, trus bapakku kuwi kerjane dadi jurnalis Kedaulatan Rakyat. Sangar, ta?”
Demikianlah setiap anak maju dan memperkenalkan dirinya masing-masing. Hiruk-pikuk keceriaan menyelimuti seantero penghuni baru sekolah itu. Jono terdiam di tengah keramaian itu. Kadang seulas senyum singgah di pipinya kala salah seorang temannya melucu di atas podium, namun senyum itu lekas pergi, sebab dia tahu; semakin banyak anak yang maju, semakin dekatlah gilirannya untuk maju dan memperkenalkan diri. Jono menggigil dalam kekalutan yang erat merangkul.
Tibalah giliran Jono untuk memperkenalkan diri. Gugup dia melangkah menuju podium. Sepatu usangnya memble[3] bagai anjing kelaparan, membuatnya semakin malu dan gelisah. Sesosok lelaki hadir dalam benaknya, seorang pria berwajah pucat dengan tongkat dan kerudung hitam. Berbisik parau padanya.
“Hei, miskin. Haha…”
Jono sampai di podium. Ratusan mata yang tertuju padanya. Jono merasa ditelanjangi oleh mata-mata itu. Jono memejamkan mata. Lelaki berkerudung hitam itu masih ada di sana.
“Miskin… Anak tukang bakso…”
Keheningan sontak mencekat, membungkam keramaian. Jono membuka matanya. Lebih dari lima ratus orang menunggunya untuk berbicara. Lirih, dia berkata,
“Namaku Jono.”
“Woi, nek ngomong sing banter!!”
Seorang bocah lelaki hitam berbadan besar berteriak padanya. Jono semakin menggigil.
“Namaku Jono. Aku tinggal di desa Rejodani di Sleman. Aku anak tunggal.”
“SD’mu di mana?” tanya seorang gadis kecil di deret terdepan.
“SD’ku di Sleman, SD Negeri Rejodani.”
“Bapakmu kerja apa?”
Jono terhenyak. Dadanya serasa dijejali gumpalan sampah busuk, mulutnya serasa disumpal gulungan kain yang membungkamnya dari segala kata. Ratusan mata menatapnya, menusuk pupil yang mengecil oleh rasa takut dan gelisah. Mereka menunggu sebuah jawaban.
Jono kembali terpejam, menjumpai sosok lelaki berkerudung hitam yang setia menunggunya di sana.
“A, aku, aku…”
“Hehe, ada apa, bocah?”
“Aku… Aku harus bicara apa? A, aku…”
Lelaki itu tersenyum. Senyum dingin tanpa kehangatan.
“Bilang saja kamu anak pegawai negeri. Daripada tukang bakso? Hehe…”
Jono terdiam. Haruskah aku berbohong? Teringat olehnya pesan sang ayah yang selalu disampaikan padanya sebelum tidur. Setiap malam Pak Soma selalu duduk di samping tempat tidur Jono, menceritakannya sebuah dongeng sebelum tidur.
“Pak, kenapa Malin Kundang dikutuk jadi batu?”
“Karena dia berbohong, Nak. Mengaku anak orang kaya dan tidak mau mengakui ibunya sendiri.”
“Jono nggak mau jadi batu.”
“Maka dari itu, jadilah orang yang jujur. Jangan berbohong pada orang lain.”
Jadilah orang yang jujur. Pesan sang ayah menguatkan hati Jono. Senyum memudar dari wajah lelaki berkerudung hitam. Perlahan Jono membuka matanya, menatap kembali ratusan pasang mata di hadapannya. Dengan segenap keberanian yang tersisa, dia berkata,
“Bapakku tukang bakso.”
Keheningan pecah. Orang-orang berbisik satu sama lain. Jono tertunduk malu dalam keheningannya, hingga akhirnya keheningan itu dikacau-balaukan oleh cemooh seorang anak lelaki yang tertawa sambil berkata,
“Ha, ha, ha! Anak’e tukang bakso! Bakso apa, cah? Bakso tikus? Ha, ha, ha!”
“Hei, ndas bakso! Ha, ha, ha!”
Keramaian segera memenuhi halaman. Tawa membahana. Kekalutan Jono memuncak, merangkul erat dada Jono yang sontak digedor kencang oleh jantungnya yang berdegup hebat. Menggigil dalam rasa horor, di hadapan sekian ratus tatapan mata yang dengan keji mengoyak-ngoyak hati dan perasaannya.
Jono tercekat. Lelaki berkerudung hitam itu menyeruak di tengah kerumunan orang di hadapannya. Dia tertawa.
“Haha… Bodoh…”
Jono berlari, menerjang tasnya dan pergi menuju gerbang. Gadis kecil di deret terdepan mengejarnya, berusaha menghiburnya. Namun dia tidak peduli. Dicegatnya bis dan dia pun pulang ke rumah. Dia menangis di sepanjang perjalanan, menangis di dalam kesendiriannya.
“Aku anak tukang bakso. Aku anak tukang bakso…”
Baru kali ini Jono merasa malu atas dirinya sendiri, malu menjadi anak seorang tukang bakso.
***
“Pak, kenapa Bapak mau jadi tukang bakso?”
Pak Soma heran akan pertanyaan anaknya itu. Belum pernah Jono menanyakan hal semacam itu padanya. Dia pun heran Jono pulang pada jam sembilan pagi pada hari pertama ia bersekolah. Dalam surat pemberitahuan yang diterimanya, MOS berlangsung hingga pukul satu siang.
“Sudah lama bapak jadi tukang bakso. Ayah bapak dulu juga jualan bakso, jadi bapak meneruskan pekerjaan ayah bapak. Emange ngapa, le?
Jono membisu. Dia duduk termenung menatap gerobak bakso ayahnya pagi itu. Hatinya masih amburadul, mata sayunya menumpahkan segala perasaannya pada sang ayahnya tanpa banyak kata. Pak Soma masih keheranan melihat sikap anaknya itu. Bu Minah sedang berbelanja di pasar, warungnya pun sedang sepi pelanggan. Berdua ia dengan Jono di warung baksonya, terdiam dalam keheningan yang menyesakkan.
“Aku malu, Pak.”
Pak Soma terkejut. Dia segera paham akan keanehan sikap dan perilaku Jono, pertanyaannya, juga alasan mengapa anaknya pulang gasik pagi itu.
“Jon, keluarga kita memang kere.  Bapak dan ibumu memang cuma tukang bakso, tidak seperti orangtua teman-temanmu itu. Nanging ya kaya ngene iki bapakmu, le. Toh kita belum pernah kekurangan sesuatu apapun.”
“Bukan Pak, bukan itu.”
“Lha njuk apa, le?”
“Aku isin, bapakku tukang bakso.”
Pak Soma terhenyak.
“Bapaknya Adit jurnalis Kedaulatan Rakyat, bapaknya Richard manajer bank Mandiri di Yogyakarta. Lha aku? Anak’e tukang bakso. Apa kuwi? Apa apik’e? Apa sing isa tak’banggakake saka Bapak? Ora ana, Pak! Aku isin, Pak. Isin!”
“Le, Bapak iki isane ya mung kaya ngene. Bapak tidak bisa kerja jadi jurnalis, apalagi manajer. Bapak isane ya mung gawe lan adol bakso.”
“Memangnya bapak tidak bisa jadi yang lain?”
“Ora, le.”
Jono membisu.
“Maafkan Bapak, Jono.”
“Aku malu sama Bapak.”
“Apa, le?”
“Aku malu sama Bapak. Aku mau Bapak buang gerobak ini. Jono nggak mau jadi anak tukang bakso.”
Pak Soma diam. Jono pergi meninggalkannya seorang diri dalam keheningan. Dia masuk ke dalam kamarnya, membisu seorang diri tanpa kata hingga larut malam. Sang ayah pun terdiam. Dia tidak menangis, namun hatinya merintih penuh kepedihan. Dilewatinya hari itu dalam kekelaman hati yang begitu memilukan. Hal ini tidak diceritakannya kepada istrinya. Dia tak ingin istrinya ikut merasakan sakit yang sama dengan yang dia rasakan.
Hari demi hari berlalu. Jono tak mau kembali bersekolah. Wali kelas Jono pun sempat mengunjungi rumah Jono dan berbincang dengan kedua orangtuanya mengenai problem Jono, namun kunjungan itu tidak digubris Jono. Hari-hari penuh kesesakan itu terus berlalu  seiring dengan kekecewaan yang terus membayangi Pak Soma sepanjang hari. Baksonya pun tidak sekenyal dan segurih dahulu. Pelanggannya bisa merasakan hal itu.
“Tumben, Pak. Kok baksonya beda, ya?”
“Inggih, den. Nyuwun ngapunten, nggih.”
Meski begitu Pak soma tidak putus asa. Kemurungan dan kekecewaan anaknya justru membuatnya semakin tergerak untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Lama kelamaan baksonya kembali seperti sedia kala, gurih dan kenyal. Pelanggannya pun luput dari kekecewaan yang sempat hijrah di lidah mereka.
Dengan penuh daya upaya Pak Soma dan Ibu Minah berusaha untuk menghibur dan membujuk anaknya untuk kembali bersekolah, namun sayang, kekecewaan Jono sudah mengkristal. Peristiwa monumental di hari pertamanya bersekolah telah menorehkan sebuah luka batin yang menganga lebar dalam hatinya.
Dua bulan sesudah insiden itu, Jono kembali bersekolah. Tak ada yang tahu alasan yang membuatnya kembali bersekolah, kecuali dirinya sendiri.
“Aku harus berjuang keras. Belajar mati-matian. Aku nggak mau, jadi tukang bakso seperti bapak.”
Hari-harinya di sekolah dihujani oleh berbagai cemooh yang menjadi santapan sehari-harinya. Kemarahan Jono semakin mengkristal. Tak ada kambing hitam lain yang lebih cocok baginya selain sang ayah sendiri. Sementara itu Pak Soma tetap menjalani kariernya sebagai tukang bakso sebagaimana mestinya. Semua itu terus berlalu hari demi hari, tahun demi tahun, menjadikan Jono seorang pembangkang takdir yang tak berdaya terhadap takdirnya sendiri.
***
“Mas, bakso atau mie ayam?”
Jono tersadar dari lamunannya. Stigma hatinya terbuka kembali, dadanya penuh sesak akan emosinya yang amburadul. Wajahnya penuh kekalutan dan kebimbangan diri. Mau makan apa?
Teman-temannya sudah memesan mie ayam. Tinggal dia yang belum memesan makanan, dan penjaga warung itu masih menunggu. Tiba-tiba Jono berkata,
 “Mbak, bakso satu.”
Dengan cekatan wanita penjaga warung itu meracik bakso pesanan Jono. Lega teman-temannya mendengar Jono yang akhirnya memesan semangkuk bakso.
“Nah, mbok ngono… Udah, nggak usah bingung. Kami yang bayarin,” ujar Lisa.
Tambaha, nganti wareg!” sambung Dani.
Dalam keramaian itu Jono menunggu bakso pesanannya. Dia heran, mengapa dia memilih untuk makan bakso daripada mie ayam. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya, tanpa alasan. Dia hanya merasakan sebuah kerinduan dari dalam hatinya untuk memesan makanan itu. Sebuah suara dengan lembut berbisik padanya dalam hati, sudah, pesanlah bakso.
“Mas, ini baksonya.”
Semangkuk bakso panas tersaji di hadapan Jono. Setelah bertahun-tahun lamanya akhirnya dia berhadapan lagi dengan makanan itu.
“Sambal, Jon?”
Jono menggeleng pada Lena. Dia tidak menambahkan saus ataupun kecap. Dia rindu akan gurih dan kenyal bakso tanpa bubuhan apapun. Ditancapkannya sebilah garpu pada sebutir bakso di mangkuk itu. Dipegangnya garpu itu dengan tangan kanannya, persis seperti yang dilakukannya sewaktu kecil di samping gerobak bakso ayahnya.
Arus memori berkelebat dalam benaknya. Riuh pembeli bakso di rumahnya. Gerobak bakso tua beroda dua. Ibunya. Ayahnya.
Disantapnya bakso itu.
Jono menangis.
“Lho, Jon?”
Lisa segera menghampiri Jono, begitu pula Lena dan Dani.
“Kenapa, Jon?”
Jono membisu. Dia hanya menggeleng pada Dani, sembari mengusap air mata di pipinya.
“Nggak, nggak apa-apa.”
“Ah, nggak mungkin. Ada apa, Jon?”
“Nggak apa-apa, Len. Aku… aku…”
“He?”
“Cuma terharu, punya teman-teman sebaik kalian.”
Dani, Lena dan Lisa tersenyum. Mereka memeluk Jono yang masih sibuk menyeka pipi dari air mata yang meluber dari kedua pelupuk matanya.
“Jono, Jono…”
Lisa menyeka pipi Jono dengan sapu tangannya. Jono membalasnya dengan seulas senyum. Biarlah, biar mereka tidak tahu kenangan yang meluberkan air mataku, batinnya. Kenyal dan gurih bakso itu membongkar memori Jono akan kenangannya bersama ayahnya dahulu, membasuh luka hati yang selama ini dirasakannya. Dia rindu akan ayahnya, rindu akan bakso yang dulu menjadi sahabat karibnya selama belasan tahun. Hatinya luluh, gejolak perasaannya mengalahkan kebekuan hatinya yang telah mengkristal selama belasan tahun.
Aku bangga akan takdirku. Aku Jono, anak seorang tukang bakso.
Jono menghabiskan siang itu bersama ketiga temannya, menyantap habis bakso dan mie ayam yang mereka pesan. Jono pun berpikir, bagaimana kalau dia nyekar ke makam ayahnya keesokan harinya, membawakannya sekeranjang kembang setaman dan semangkuk bakso.

Dalam kekalutan hati,
Love your destiny.
Sinopsis “Antara Bakso dan Mie Ayam”
Jono, seorang siswa SMA Negeri 1 Sleman, Yogyakarta, lulus sebagai lulusan terbaik sekabupaten Sleman dengan NEM sebesar 59,8. Dia ditraktir ketiga temannya di sebuah warung bakso dan mie ayam untuk merayakan kelulusan mereka, khususnya prestasi Jono. Jono yang selalu menghindari bakso, harus menghadapi pilihan antara bakso dan mie ayam yang membongkar kembali kenangan pahitnya di masa lalu seputar bakso.
Jono kecil adalah putra dari sepasang bakul bakso sederhana yang terkenal seantero kabupaten Sleman. Masa kecil dilewatinya bersama bakso dan kedua orangtuanya, hingga akhirnya pengalaman pahit di kala SMP membuatnya marah dan membenci ayahnya sendiri; dia diejek sebagai anak dari seorang tukang bakso. Kemarahan, kesedihan dan kekecewaan Jono mengkristal menjadi rasa benci pada sang ayah, hingga sang ayah meninggal. Jono pun giat belajar mati-matian untuk tidak meneruskan jejak sang ayah sebagai tukang bakso, hingga meraih gelar pelajar berprestasi.
Kembali ke warung bakso dan mie ayam, dalam kelalutannya akhirnya Jono memutuskan untuk memesan semangkuk bakso. Saat itulah dia sadar, dia merindukan sosok ayahnya melalui semangkuk bakso itu. Kebencian Jono pun meluruh, hingga akhirnya dia memutuskan untuk menerima jati dirinya sebagai anak dari seorang bakul bakso.

Biodata Penulis
Nama                                 : Paulus Eko Harsanto
Tempat/tanggal lahir         : Wonogiri, 26 April 1993


[1] Gubuk bambu
[2] Nasihat
[3] Menganga seperti mulut yang terbuka lebar.

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...