Arungi Mati
Oleh : Paulus Eko Harsanto
Namaku Arung.
Tiga
puluh lima warsa sudah aku menarik nafas. Hidupku? Mapan. Rumahku lima, empat di Jawa
dan satu di Kalimantan. Pekerjaanku: general
manager of credit Bank Mandiri di Jakarta. Istriku cantik, Diana namanya.
Pintar memasak, cerdas dan berpendidikan. Aku bertemu dengannya saat sedang
bertugas di Bandung. Sunda asli, putih langsat, dengan seulas wajah terukir
indah di muka. Anakku perempuan, Gina namanya. Wajahnya cantik, seelok
ibunya, dengan mata biruku bertengger di rongga tengkoraknya. Kurasa tiada yang
kurang dari hidupku ini.
Pagi
ini aku mengikuti rapat bersama para pejabat perbankan. Seperti biasa,
kutelusuri berlembar-lembar dokumen kredit sembari mendengar celoteh pak Hamzah,
direktur Mandiri, mengenai dollar, rupiah dan perekonomian Indonesia yang
seolah tak kunjung habisnya. Tak seperti biasanya, terbayang olehku pagi itu
berbagai memori yang malang-melintang tanpa permisi dalam benakku, entah
mengapa. Arung yang sekarang bukan lagi Arung yang dulu, mengenakan setelan jas
dan kemeja hitam nan elegan, lengkap dengan dasi dan sepatu mengkilap. Arung
yang dulu hanyalah seorang bocah kampung di pedalaman Salatiga, Arung si anak
tentara. Satu pertanyaan: bagaimana bisa kuraih semua ini?
Setiap
saat, ketika kupandang setiap jengkal ruang hidupku, selalu teringat olehku
segala jerih-payah yang telah membangun hidupku. Lahir sebagai seorang putra
tentara di Salatiga, aku tumbuh sebagai seorang muslim yang baik. Kami
berdelapan diajari bapak untuk senantiasa taat menunaikan sholat lima waktu.
Akulah yang selalu bangun paling pagi sebelum ayam berkokok, membangunkan
ketujuh saudara-saudariku yang lebih memilih bergelung di atas dipan daripada
sholat subuh. Akhirnya bapaklah yang bertindak. Garis wajah yang tegas terukir
di wajah coklat kehitamannya sudah cukup menyampaikan seutas pesan tanpa kata, ”Ayo, tangi. Yen ora, taksetut kowe.” Demikianlah
kami bangun setiap pagi, berjalan menembus saput embun tak lebih dari seratus
meter menuju surau berpayungkan pohon kelengkeng di ujung gang untuk sekedar
menunaikan sholat subuh.
Bapak
sangat menyayangiku. Ibu meninggal tepat sesudah melahirkanku, menjadikanku
anak terakhir yang pernah mencecap hangat rahimnya. Mungkin itulah yang membuat
bapak sangat menyayangiku. Demikianlah, pada suatu malam sebelum aku tidur,
ayahku duduk di tepi dipan sembari memandangku. Aku masihlah seorang bocah kala
itu.
”Wajahmu,
Nak.”
”Kenapa,
Pak?”
”Wajahmu...”
Ayah
terdiam, tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Sebulir air mata mengalir di
pipinya. Aku bingung. Tentara, menangis? Tapi barulah kemudian kusadari, bahwa
ternyata wajahkulah yang paling mirip dengan wajah ibuku. Itupun kata
saudara-saudariku. Sejak malam itu aku semakin giat menolong ayahku. Sederhana
saja: mencari kayu bakar setiap pagi, mencuci pakaian saudara-saudaraku di kali, menanak nasi, dsb. Aneh memang,
seorang anak bungsu menjadi anak paling bertanggung-jawab dalam keluarga. Namun
begitulah kulalui masa kecilku di Salatiga. Semua itu kulakukan sebelum dan
sesudah sekolah, menjadikanku seorang lelaki yang terbiasa mengurus
tanggung-jawab yang besar mulai dari yang kecil sekalipun.
1988.
Umurku masih dua belas tahun, namun aku sadar, aku tak akan bisa meraih hidup
yang lebih baik bila terus melanjutkan hidup di Salatiga. Aku harus bersekolah
di tempat yang lebih maju, dengan guru-guru berseragam licin dan bersepatu
hitam.
”Pak.”
”Ya,
Nak?”
”Arung
mau sekolah di Jogja.”
”Jogja?”
Wajah
bapak mengerut. Baru kali ini anaknya meminta diri untuk pergi ke tempat yang
jauh, hanya untuk bersekolah.
”Di
mana, Nak?”
”SMP
Negeri 8, Pak.”
”Lantas,
tinggal di mana? Saudara pun tak ada di sana.”
”Ngekos
saja, Pak.”
Bapak
terdiam. Dipejamkannya mata, hening menimbang keputusan. Lantas ditatapnya
wajahku lekat-lekat. Rupa-rupanya bapak menangkap sorot mataku yang sarat akan
semangat hidup, sorot mata yang tak asing lagi baginya. Sorot mata yang sering
dijumpainya di medan perang.
”Yo wislah, yen kuwi pepenginanmu. Pergilah.
Tapi kamu harus berangkat sendiri. Bapak tak bisa meninggalkan kakak-kakakmu di
rumah. Belajarlah di Jogja, Arung.”
Maka
begitulah. Aku merantau ke Yogyakarta, mencari secercah harapan atas hidup yang
lebih baik.
***
”Pak
Arung?”
Mataku
menerawang jauh. Secangkir Mocca Arabica panas
mengepul di samping tanganku.
”Pak
Arung!”
Aku
bergidik. Berapa lama aku melamun?
”Sudah
beres, dokumen yang Anda urus?”
Dokumen?
Oh, ya. Dokumen itu. Berlembar-lembar dokumen di atas mejaku.
”Sebentar
lagi selesai, Pak Hamzah. Mohon kesabarannya.”
Rapat
kembali berlanjut. Agak malu rasanya, mengingat seisi ruangan sejenak menatapku
dengan penuh tanda tanya. Kutelusuri kembali lembar-lembar dokumen di atas
mejaku. Persetan! Hanya angka, angka dan angka, dengan sejumlah nama dan alamat
beserta permasalahan yang terlibat di dalamnya.
Paling-paling kredit macet.
Kututup
lembaran dokumen itu. Memuakkan. Kenapa banyak orang sibuk memusingkan
keping-keping logam maupun lembar-lembar kertas yang bertorehkan sejumlah
nominal di atasnya? Sampai di mana lamunanku tadi?
Ah,
ya. Yogyakarta. Aku merantau ke Yogyakarta, merajut hidup di sana. Hidup yang
kutahu tak’kan pernah bisa kuraih, tanpa pendidikan. Kuurus semuanya sendirian:
mendaftar di SMP 8, mencari kos-kosan di daerah Terban, hingga kerja sambilan
sebagai tukang angkut barang di pasar Terban. Uang hasil kerja sambilan itu
kutabung untuk membeli koran setiap minggunya, mengingat pesan bapak untukku, ”Le, di kota kamu harus baca koran. Kalau
kamu mau hidup sejahtera, kamu harus punya banyak wawasan.”
Aku
lulus dari SMP 8 sebagai lulusan terbaik urutan ketiga. Banyak orang tak
menyangka, seorang bocah desa sepertiku mampu meraih prestasi setinggi itu.
Kulanjutkan pendidikanku di SMA Negeri 1, dan lulus pula sebagai lulusan
terbaik, kali ini sebagai lulusan terbaik pertama. Namun semua itu menjadi hal
yang biasa bagiku. ”Masih kurang,” pikirku.
Dengan
prestasi yang ada padaku, dengan mudah kuperoleh beasiswa dari pemerintah kota
Yogyakarta. Kesempatan itu tak kusia-siakan, aku pun memutuskan untuk
melanjutkan kuliah di fakultas ekonomi Universitas Gajah Mada. Kebiasaan
membaca masih kulakoni. Tak hanya koran, aku pun mulai kecanduan sastra. Dengan
mudahnya aku terpikat pada lukisan kata Pramoedya, Tohari dan Mangunwijaya. Aku
pun semakin mengenal seluk-beluk hidup manusia, humaniora yang tertuang dalam
jalinan kata dalam sastra.
Pelan
tapi pasti, kurajut hidup yang kuangankan di Yogyakarta. Seusai memperoleh
gelar SE di UGM, segera aku melamar kerja sebagai teller di bank Bumi Daya. Dengan setia kulakoni peranku sebagai
seorang teller, hingga akhirnya jabatanku naik selangkah demi selangkah.
Kepandaianku dalam menjalin relasi dan jaringan membuatku dapat lebih mudah
mencapai jabatan yang lebih tinggi, hingga akhirnya kuraih jabatan sebagai general manager of credit. Berulang-kali
aku mutasi, mulai dari Surabaya, Palu, Bandung, hingga Banjarmasin. Meski
begitu aku tetap setia mengunjungi Bapak dan saudara-saudariku di Salatiga
setiap Lebaran. Tahun ’99 Bumi Daya merger dengan Mandiri, dan aku tetap dipercaya
sebagai general manager of credit.
Demikianlah kuraih apa yang kuinginkan dengan perjuangan yang setimpal, hingga
aku berada di ruang rapat ini bersama segenap pejabat tinggi perbankan.
Kulirik jamku. Sepuluh lewat lima belas. Masih
pagi, pikirku. Rapat ini terasa lama sekali, begitu lama dan lambat. Entah
mengapa aku merasa bosan dengan semua ini. Semua ini, aluning sang gesang, hanyalah sebuah pola tak teratur yang selalu
berulang; setiap pagi aku terbangun dengan tubuh Diana melintangi pinggulku,
mandi, sarapan, minum secangkir kopi Mocca
Arabica, berangkat kerja, berhadapan dengan klien yang bersungut-sungut
atau bahkan puas dengan trilyunan alasan, having
lunch, kerja lagi, dan pulang dengan Diana yang sudah tergeletak di
ranjang, siap menyambut lelahku. Tak sepatutnya aku bosan dengan semua itu,
sungguh keparat diriku ini bila hal itu terjadi sementara jutaan manusia
berceceran tanpa daya di luar sana, mengidamkan kehidupanku. Tapi inilah aku;
aku bosan, bosan dengan hidupku.
***
”Kamu
nggak minum Mocca Arabica, Arung?”
Aku
menulikan diri dari sapaan Diana pagi ini. Rasa jenuh yang muncul saat rapat
kemarin pagi masih menghantuiku. Kebosananku begitu hebat, memberangusku dari
segala kata yang ada dalam benakku. Diana hanya terdiam menatapku yang duduk melamun di
muka siaran berita di televisi. Tanpa kata, dia pun pergi ke dapur, mengecek
tumisan chicken teriyaki’nya untuk
bekal Gina di sekolah.
Semua
sudah ada di depan mataku: istri, rumah, pekerjaan, anak, dan sebuah kehidupan
yang begitu mapan, aman dan tentram. Perjuangan panjang nan keras telah
kulalui: kutinggalkan Salatiga, kutuntut ilmu di Yogyakarta, menjadi seorang teller, hingga akhirnya kuraih hidup nan
mapan ini. Tapi aku bosan, bosan dengan hidupku. Ada yang kurang dari semua
ini, entah apa.
Apa
yang bisa kulakukan?
Atau,
apa yang belum aku lakukan?
Ya,
itu dia! Apa yang belum pernah kulakukan? Kurasa aku perlu mencoba
sesuatu yang baru. Tapi apa? Mencoba sesuatu yang baru toh hanya akan
melahirkan aluning gesang baru yang
akan kembali terulang esok di kemudian hari. Lantas apa? Suatu hal, yang tak
akan pernah terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya? Yang dapat mengakhiri
kepenatan dan kebosananku?
Gina
berlari dari kamarnya di lantai dua. Dihempaskannya tubuhnya di sofa,
menjinjing sepasang nike kets putih yang
akan dipakainya bersekolah. Dengan seragam putih biru, anak ini sungguh
terlihat manis. Benar-benar seelok Diana.
”Pa!”
”Gina,
jangan teriak-teriak. Masih pagi.”
”Pa,
kok nonton berita terus, sih? Yang lain, dong! Oprah, gitu kek.”
”Gina,
berita itu penting. Kamu bisa...”
”...bisa
tahu banyak soal dunia. Berapa kali Gina harus dengerin alasan yang sama dari
Papa? Bete, tau Pa.”
Bibir
Gina menipis dan melengkung ke bawah. Kuusap rambut panjangnya sembari
tersenyum, membalas tatap sayang seorang anak kepada ayahnya. Gina, Gina...
Kalau bukan karena kamu dan ibumu, papa pasti sudah mati bosan di rumah ini.
Namun tahukah kau, nak? Papa sedang dilanda kebosanan yang amat sangat,
sebosan-bosannya bosan, yang membuat ayah tak kuasa bertahan dari keroyok
pikiran kotor yang berkelebat dalam benak papa. Andai engkau tahu, nak. Andai
engkau tahu.
Kutatap
kembali siaran berita di televisi. Menjemukan.
”Seorang
Ibu muda tewas bunuh diri pagi ini. Dia mengakhiri hidupnya dengan lompat dari
sebuah gedung apartemen setinggi dua puluh lima lantai di daerah Jakarta pusat.
Menurut keluarga yang bersangkutan, korban melakukan bunuh diri karena depresi
yang...”
“Arung,
Mocca Arabica’nya sudah kamu minum
belum?”
Aku
terdiam. Kupicingkan mataku, menatap siaran itu.
”...diduga
penyebabnya adalah sang suami yang meninggalkannya begitu saja, bersama kedua
anaknya yang masih balita. Tingginya angka perceraian di Jakarta,
mengindikasikan...”
Tunggu
sebentar.
”Pa?
Kok ngelamun, sih?”
”Nggak,
Gina. Papa nggak ngelamun. Papa cuma...”
Hmm.
Itu
dia.
”Ayo,
Nak. Cepat pakai sepatumu. Nanti kamu terlambat sekolah.”
Aku
tahu, apa yang kuinginkan.
Kuseruput
habis Mocca Arabica dari cangkirku,
bergegas memenuhi ide brilian yang baru saja melintas di benakku. Ya, kali ini
pasti mengasyikkan dan tidak membosankan.
***
”Pak Arung! Turun, Pak Arung!”
Ah, masa bodoh. Udara di puncak gedung ini begitu
lembut menyapu wajahku, membelai pipiku yang sudah terlalu kusam untuk sekedar
dijamah oleh seorang wanita sekalipun.
”Turun, Pak Arung! Masya’Allah, Pak Arung!”
Kulepaskan pijakanku dari bibir puncak gedung
berlantai lima puluh itu. Ah, udara itu semakin kencang membelai wajahku. Semua
berkelebat di kepalaku; Salatiga, Bapak, Diana, Gina, ribuan klienku,
pernikahanku, kehidupanku.
Ratusan orang di bawah sana tampak seperti semut di
mataku. Detik demi detik, mereka semakin membesar di pupil mataku. Hahaha, mengasyikkan. Mereka semua berlari menjauhiku.
Bodoh, pikirku. Sambut kedatanganku, bodoh!
Ah, inilah saatnya.
Kukecup aspal panas itu, mesra.
BRAKK!
Nanar mataku menyapu sekelilingku.
Darah berceceran, melumuri setiap inci aspal
tempatku berbaring.
Igaku patah tiga, aku bisa merasakannya menusuk
paru-paruku. Kemejaku robek, lengan kananku terpeluntir ke kiri melawan tempat
di mana seharusnya dia berada. Otot pahaku sobek, darah mengalir darinya.
Gigi-gigiku bertaburan di hadapan mukaku, dua gerahamku bahkan menyedak tenggorokanku.
Di mana aku? Surga? Neraka?
Ah, sial.
Aku masih bernafas.
Dengan susah payah kuangkat tubuhku yang tak lagi
berbentuk layaknya seorang Arung Fajar Samudra. Orang-orang itu, mereka ngeri
memandangku. Akan kucoba lagi, pikirku. Aku tak akan menyerah begitu saja,
tidak akan. Ini mengasyikkan!
Bermandikan darah, aku melangkah. Kuseret kakiku
yang meninggalkan jejak garis darah yang panjang, bagaikan kuas menyapu kanvas.
Hidup adalah
perjuangan, yang dimahkotai oleh kematian.
No comments:
Post a Comment