Saturday, December 21, 2019

Cerpen - Arungi Mati


Arungi Mati
Oleh : Paulus Eko Harsanto

Namaku Arung.
Tiga puluh lima warsa sudah aku menarik nafas. Hidupku? Mapan. Rumahku lima, empat di Jawa dan satu di Kalimantan. Pekerjaanku: general manager of credit Bank Mandiri di Jakarta. Istriku cantik, Diana namanya. Pintar memasak, cerdas dan berpendidikan. Aku bertemu dengannya saat sedang bertugas di Bandung. Sunda asli, putih langsat, dengan seulas wajah terukir indah di muka. Anakku perempuan, Gina namanya. Wajahnya cantik, seelok ibunya, dengan mata biruku bertengger di rongga tengkoraknya. Kurasa tiada yang kurang dari hidupku ini.
Pagi ini aku mengikuti rapat bersama para pejabat perbankan. Seperti biasa, kutelusuri berlembar-lembar dokumen kredit sembari mendengar celoteh pak Hamzah, direktur Mandiri, mengenai dollar, rupiah dan perekonomian Indonesia yang seolah tak kunjung habisnya. Tak seperti biasanya, terbayang olehku pagi itu berbagai memori yang malang-melintang tanpa permisi dalam benakku, entah mengapa. Arung yang sekarang bukan lagi Arung yang dulu, mengenakan setelan jas dan kemeja hitam nan elegan, lengkap dengan dasi dan sepatu mengkilap. Arung yang dulu hanyalah seorang bocah kampung di pedalaman Salatiga, Arung si anak tentara. Satu pertanyaan: bagaimana bisa kuraih semua ini?
Setiap saat, ketika kupandang setiap jengkal ruang hidupku, selalu teringat olehku segala jerih-payah yang telah membangun hidupku. Lahir sebagai seorang putra tentara di Salatiga, aku tumbuh sebagai seorang muslim yang baik. Kami berdelapan diajari bapak untuk senantiasa taat menunaikan sholat lima waktu. Akulah yang selalu bangun paling pagi sebelum ayam berkokok, membangunkan ketujuh saudara-saudariku yang lebih memilih bergelung di atas dipan daripada sholat subuh. Akhirnya bapaklah yang bertindak. Garis wajah yang tegas terukir di wajah coklat kehitamannya sudah cukup menyampaikan seutas pesan tanpa kata, ”Ayo, tangi. Yen ora, taksetut kowe.” Demikianlah kami bangun setiap pagi, berjalan menembus saput embun tak lebih dari seratus meter menuju surau berpayungkan pohon kelengkeng di ujung gang untuk sekedar menunaikan sholat subuh.
Bapak sangat menyayangiku. Ibu meninggal tepat sesudah melahirkanku, menjadikanku anak terakhir yang pernah mencecap hangat rahimnya. Mungkin itulah yang membuat bapak sangat menyayangiku. Demikianlah, pada suatu malam sebelum aku tidur, ayahku duduk di tepi dipan sembari memandangku. Aku masihlah seorang bocah kala itu.
”Wajahmu, Nak.”
”Kenapa, Pak?”
”Wajahmu...”
Ayah terdiam, tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Sebulir air mata mengalir di pipinya. Aku bingung. Tentara, menangis? Tapi barulah kemudian kusadari, bahwa ternyata wajahkulah yang paling mirip dengan wajah ibuku. Itupun kata saudara-saudariku. Sejak malam itu aku semakin giat menolong ayahku. Sederhana saja: mencari kayu bakar setiap pagi, mencuci pakaian saudara-saudaraku di kali, menanak nasi, dsb. Aneh memang, seorang anak bungsu menjadi anak paling bertanggung-jawab dalam keluarga. Namun begitulah kulalui masa kecilku di Salatiga. Semua itu kulakukan sebelum dan sesudah sekolah, menjadikanku seorang lelaki yang terbiasa mengurus tanggung-jawab yang besar mulai dari yang kecil sekalipun.
1988. Umurku masih dua belas tahun, namun aku sadar, aku tak akan bisa meraih hidup yang lebih baik bila terus melanjutkan hidup di Salatiga. Aku harus bersekolah di tempat yang lebih maju, dengan guru-guru berseragam licin dan bersepatu hitam.
”Pak.”
”Ya, Nak?”
”Arung mau sekolah di Jogja.”
”Jogja?”
Wajah bapak mengerut. Baru kali ini anaknya meminta diri untuk pergi ke tempat yang jauh, hanya untuk bersekolah.
”Di mana, Nak?”
”SMP Negeri 8, Pak.”
”Lantas, tinggal di mana? Saudara pun tak ada di sana.”
”Ngekos saja, Pak.”
Bapak terdiam. Dipejamkannya mata, hening menimbang keputusan. Lantas ditatapnya wajahku lekat-lekat. Rupa-rupanya bapak menangkap sorot mataku yang sarat akan semangat hidup, sorot mata yang tak asing lagi baginya. Sorot mata yang sering dijumpainya di medan perang.
Yo wislah, yen kuwi pepenginanmu. Pergilah. Tapi kamu harus berangkat sendiri. Bapak tak bisa meninggalkan kakak-kakakmu di rumah. Belajarlah di Jogja, Arung.”
Maka begitulah. Aku merantau ke Yogyakarta, mencari secercah harapan atas hidup yang lebih baik.
***

”Pak Arung?”
Mataku menerawang jauh. Secangkir Mocca Arabica panas mengepul di samping tanganku.
”Pak Arung!”
Aku bergidik. Berapa lama aku melamun?
”Sudah beres, dokumen yang Anda urus?”
Dokumen? Oh, ya. Dokumen itu. Berlembar-lembar dokumen di atas mejaku.
”Sebentar lagi selesai, Pak Hamzah. Mohon kesabarannya.”
Rapat kembali berlanjut. Agak malu rasanya, mengingat seisi ruangan sejenak menatapku dengan penuh tanda tanya. Kutelusuri kembali lembar-lembar dokumen di atas mejaku. Persetan! Hanya angka, angka dan angka, dengan sejumlah nama dan alamat beserta permasalahan yang terlibat di dalamnya.  Paling-paling kredit macet.
Kututup lembaran dokumen itu. Memuakkan. Kenapa banyak orang sibuk memusingkan keping-keping logam maupun lembar-lembar kertas yang bertorehkan sejumlah nominal di atasnya? Sampai di mana lamunanku tadi?
Ah, ya. Yogyakarta. Aku merantau ke Yogyakarta, merajut hidup di sana. Hidup yang kutahu tak’kan pernah bisa kuraih, tanpa pendidikan. Kuurus semuanya sendirian: mendaftar di SMP 8, mencari kos-kosan di daerah Terban, hingga kerja sambilan sebagai tukang angkut barang di pasar Terban. Uang hasil kerja sambilan itu kutabung untuk membeli koran setiap minggunya, mengingat pesan bapak untukku, ”Le, di kota kamu harus baca koran. Kalau kamu mau hidup sejahtera, kamu harus punya banyak wawasan.”
Aku lulus dari SMP 8 sebagai lulusan terbaik urutan ketiga. Banyak orang tak menyangka, seorang bocah desa sepertiku mampu meraih prestasi setinggi itu. Kulanjutkan pendidikanku di SMA Negeri 1, dan lulus pula sebagai lulusan terbaik, kali ini sebagai lulusan terbaik pertama. Namun semua itu menjadi hal yang biasa bagiku. ”Masih kurang,” pikirku.
Dengan prestasi yang ada padaku, dengan mudah kuperoleh beasiswa dari pemerintah kota Yogyakarta. Kesempatan itu tak kusia-siakan, aku pun memutuskan untuk melanjutkan kuliah di fakultas ekonomi Universitas Gajah Mada. Kebiasaan membaca masih kulakoni. Tak hanya koran, aku pun mulai kecanduan sastra. Dengan mudahnya aku terpikat pada lukisan kata Pramoedya, Tohari dan Mangunwijaya. Aku pun semakin mengenal seluk-beluk hidup manusia, humaniora yang tertuang dalam jalinan kata dalam sastra.
Pelan tapi pasti, kurajut hidup yang kuangankan di Yogyakarta. Seusai memperoleh gelar SE di UGM, segera aku melamar kerja sebagai teller di bank Bumi Daya. Dengan setia kulakoni peranku sebagai seorang teller, hingga akhirnya jabatanku naik selangkah demi selangkah. Kepandaianku dalam menjalin relasi dan jaringan membuatku dapat lebih mudah mencapai jabatan yang lebih tinggi, hingga akhirnya kuraih jabatan sebagai general manager of credit. Berulang-kali aku mutasi, mulai dari Surabaya, Palu, Bandung, hingga Banjarmasin. Meski begitu aku tetap setia mengunjungi Bapak dan saudara-saudariku di Salatiga setiap Lebaran. Tahun ’99 Bumi Daya merger dengan Mandiri, dan aku tetap dipercaya sebagai general manager of credit. Demikianlah kuraih apa yang kuinginkan dengan perjuangan yang setimpal, hingga aku berada di ruang rapat ini bersama segenap pejabat tinggi perbankan.
 Kulirik jamku. Sepuluh lewat lima belas. Masih pagi, pikirku. Rapat ini terasa lama sekali, begitu lama dan lambat. Entah mengapa aku merasa bosan dengan semua ini. Semua ini, aluning sang gesang, hanyalah sebuah pola tak teratur yang selalu berulang; setiap pagi aku terbangun dengan tubuh Diana melintangi pinggulku, mandi, sarapan, minum secangkir kopi Mocca Arabica, berangkat kerja, berhadapan dengan klien yang bersungut-sungut atau bahkan puas dengan trilyunan alasan, having lunch, kerja lagi, dan pulang dengan Diana yang sudah tergeletak di ranjang, siap menyambut lelahku. Tak sepatutnya aku bosan dengan semua itu, sungguh keparat diriku ini bila hal itu terjadi sementara jutaan manusia berceceran tanpa daya di luar sana, mengidamkan kehidupanku. Tapi inilah aku; aku bosan, bosan dengan hidupku.
***
”Kamu nggak minum Mocca Arabica, Arung?”
Aku menulikan diri dari sapaan Diana pagi ini. Rasa jenuh yang muncul saat rapat kemarin pagi masih menghantuiku. Kebosananku begitu hebat, memberangusku dari segala kata yang ada dalam benakku. Diana hanya terdiam menatapku yang duduk melamun di muka siaran berita di televisi. Tanpa kata, dia pun pergi ke dapur, mengecek tumisan chicken teriyaki’nya untuk bekal Gina di sekolah.
Semua sudah ada di depan mataku: istri, rumah, pekerjaan, anak, dan sebuah kehidupan yang begitu mapan, aman dan tentram. Perjuangan panjang nan keras telah kulalui: kutinggalkan Salatiga, kutuntut ilmu di Yogyakarta, menjadi seorang teller, hingga akhirnya kuraih hidup nan mapan ini. Tapi aku bosan, bosan dengan hidupku. Ada yang kurang dari semua ini, entah apa.
Apa yang bisa kulakukan?
Atau, apa yang belum aku lakukan?
Ya, itu dia! Apa yang belum pernah kulakukan? Kurasa aku perlu mencoba sesuatu yang baru. Tapi apa? Mencoba sesuatu yang baru toh hanya akan melahirkan aluning gesang baru yang akan kembali terulang esok di kemudian hari. Lantas apa? Suatu hal, yang tak akan pernah terjadi lagi untuk yang kesekian kalinya? Yang dapat mengakhiri kepenatan dan kebosananku?
Gina berlari dari kamarnya di lantai dua. Dihempaskannya tubuhnya di sofa, menjinjing sepasang nike kets putih yang akan dipakainya bersekolah. Dengan seragam putih biru, anak ini sungguh terlihat manis. Benar-benar seelok Diana.
”Pa!”
”Gina, jangan teriak-teriak. Masih pagi.”
”Pa, kok nonton berita terus, sih? Yang lain, dong! Oprah, gitu kek.”
”Gina, berita itu penting. Kamu bisa...”
”...bisa tahu banyak soal dunia. Berapa kali Gina harus dengerin alasan yang sama dari Papa? Bete, tau Pa.”
Bibir Gina menipis dan melengkung ke bawah. Kuusap rambut panjangnya sembari tersenyum, membalas tatap sayang seorang anak kepada ayahnya. Gina, Gina... Kalau bukan karena kamu dan ibumu, papa pasti sudah mati bosan di rumah ini. Namun tahukah kau, nak? Papa sedang dilanda kebosanan yang amat sangat, sebosan-bosannya bosan, yang membuat ayah tak kuasa bertahan dari keroyok pikiran kotor yang berkelebat dalam benak papa. Andai engkau tahu, nak. Andai engkau tahu.
Kutatap kembali siaran berita di televisi. Menjemukan.
”Seorang Ibu muda tewas bunuh diri pagi ini. Dia mengakhiri hidupnya dengan lompat dari sebuah gedung apartemen setinggi dua puluh lima lantai di daerah Jakarta pusat. Menurut keluarga yang bersangkutan, korban melakukan bunuh diri karena depresi yang...”
“Arung, Mocca Arabica’nya sudah kamu minum belum?”
Aku terdiam. Kupicingkan mataku, menatap siaran itu.
”...diduga penyebabnya adalah sang suami yang meninggalkannya begitu saja, bersama kedua anaknya yang masih balita. Tingginya angka perceraian di Jakarta, mengindikasikan...”
Tunggu sebentar.
”Pa? Kok ngelamun, sih?”
”Nggak, Gina. Papa nggak ngelamun. Papa cuma...”
Hmm.
Itu dia.
”Ayo, Nak. Cepat pakai sepatumu. Nanti kamu terlambat sekolah.”
Aku tahu, apa yang kuinginkan.
Kuseruput habis Mocca Arabica dari cangkirku, bergegas memenuhi ide brilian yang baru saja melintas di benakku. Ya, kali ini pasti mengasyikkan dan tidak membosankan.
***
”Pak Arung! Turun, Pak Arung!”
Ah, masa bodoh. Udara di puncak gedung ini begitu lembut menyapu wajahku, membelai pipiku yang sudah terlalu kusam untuk sekedar dijamah oleh seorang wanita sekalipun.
”Turun, Pak Arung! Masya’Allah, Pak Arung!”
Kulepaskan pijakanku dari bibir puncak gedung berlantai lima puluh itu. Ah, udara itu semakin kencang membelai wajahku. Semua berkelebat di kepalaku; Salatiga, Bapak, Diana, Gina, ribuan klienku, pernikahanku, kehidupanku.
Ratusan orang di bawah sana tampak seperti semut di mataku. Detik demi detik, mereka semakin membesar di pupil mataku. Hahaha, mengasyikkan. Mereka semua berlari menjauhiku. Bodoh, pikirku. Sambut kedatanganku, bodoh!
Ah, inilah saatnya.
Kukecup aspal panas itu, mesra.
BRAKK!
Nanar mataku menyapu sekelilingku.
Darah berceceran, melumuri setiap inci aspal tempatku berbaring.
Igaku patah tiga, aku bisa merasakannya menusuk paru-paruku. Kemejaku robek, lengan kananku terpeluntir ke kiri melawan tempat di mana seharusnya dia berada. Otot pahaku sobek, darah mengalir darinya. Gigi-gigiku bertaburan di hadapan mukaku, dua gerahamku bahkan menyedak tenggorokanku.
Di mana aku? Surga? Neraka?
Ah, sial.
Aku masih bernafas.
Dengan susah payah kuangkat tubuhku yang tak lagi berbentuk layaknya seorang Arung Fajar Samudra. Orang-orang itu, mereka ngeri memandangku. Akan kucoba lagi, pikirku. Aku tak akan menyerah begitu saja, tidak akan. Ini mengasyikkan!
Bermandikan darah, aku melangkah. Kuseret kakiku yang meninggalkan jejak garis darah yang panjang, bagaikan kuas menyapu kanvas.

Hidup adalah perjuangan, yang dimahkotai oleh kematian.

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...