Antara
Bakso dan Mie Ayam
“Bakso atau mie
ayam, mas?”
Perempuan itu
cantik. Seksi, berbalut kaos ketat putih dengan celana straight jeans.
“Ehm… Hmm…”
Jono lapar, keringatan.
Asap mengepul dari kuali bakso, mengantar aroma bakso urat daging sapi pada
kedua cuping hidungnya. Dia bingung, resah dan bimbang. Bakso, atau mie ayam?
Siang
itu Jono
disekap oleh teman-temannya, diculik dan dibawa ke warung bakso dan mie ayam.
Mereka hendak merayakan kelulusan mereka tepat setelah hasil ujian nasional
mereka terima siang itu, khususnya teman mereka yang memperoleh predikat
lulusan terbaik sekabupaten Sleman, Jono. Ya,
Jono bahagia. Dia sendiri tak menyangka teman-temannya akan memaksa dia pergi
bersama mereka, semata-mata untuk merayakan prestasi yang telah dicapainya.
Namun kebahagiaan Jono mendadak lenyap saat tahu bahwa teman-temannya hendak
mentraktirnya makan di warung bakso dan mie ayam dekat SMA mereka, SMA Negeri 1
Sleman.
“NEM 59,8, edan tenan... Tanpa contekan! Salut, salut... Piye
jal, olehmu sinau?” tanya Lena, heran. Sementara itu Jono
terdiam, terkesima melihat pilihan menu yang terpampang jelas di tembok warung
itu: bakso lima ribu, mie ayam empat
ribu, mie ayam bakso tujuh ribu, es teh dan es jeruk seribu rupiah. Uang bukan lagi masalah, karena dia ditraktir oleh
teman-temannya. Tapi masalahnya, bakso atau mie ayam?
Pertanyaan itu terngiang-ngiang di dalam benaknya, menenggelamkannya dalam lautan
emosi yang begitu amburadul. Dalam
rasa bingung dan bimbang.
“Jon,
dari dulu kamu pasti nggak mau diajak makan bakso. Makanya aku sama temen-temen
ngajak kamu ke sini, biar kamu damai sama yang namanya bakso,” ujar Lisa.
“Iya Jon! Cah SMA kok ora doyan bakso. Mie
ayam, lagi. Pol-pol’e soto. Atau,
jangan-jangan itu rahasiamu dapet nilai bagus? Pantang bakso dan mie ayam berformalin?”
lanjut Dani.
Jono
masih terdiam.
Dahinya berkerut kencang. Bukan itu masalahnya. Ada hal lain, yang membuatnya begitu
membenci gumpalan daging dan urat bernama bakso. Bertahun-tahun dijauhinya
makanan itu, dan kini mau tidak mau dia harus memilih: bakso atau mie ayam?
Jam dinding
terus berdetik. Jono tenggelam dalam kekalutan hatinya, dihantar
oleh detik jam dinding ke dalam derasnya arus memori yang mengalir, membanjiri
benaknya.
***
“Pak
Soma, bakso setunggal nggih!”
“Inggih,
sekedap!”
Warung bakso Pak
Soma siang itu ramai dikunjungi pembeli. Kaos oblong swan brand melekat
basah pada tubuhnya yang banjir keringat. Bersama istrinya, Ibu Minah,
dilayaninya belasan pesanan bakso siang itu di warung gedhek[1]nya
yang sempit nan sesak akan pelanggan. Aroma bakso urat daging sapi menguar ke
seluruh penjuru warung, menguji kesabaran para pelanggan.
Jono kecil duduk
di dekat ayah dan ibunya. Dipegangnya erat-erat garpu bertenggerkan sebutir
bakso di tangan kanannya sembari menikmati bakso itu cuil demi cuil dengan
ujung gigi serinya yang masih sebesar biji ketimun. Demikianlah Jono kecil
melewati hari demi hari bersama orangtuanya, hingga akhirnya ia mulai
menghabiskan sebagian besar waktunya di SD Negeri Rejodani, Sleman.
Jono adalah anak
semata wayang dari pasangan penjual bakso yang terkenal seantero kabupaten
Sleman. Dia hidup dari bakso dan besar bersama bakso. Tiada hari dilewatinya
tanpa bakso. Bakso pun menjadi bagian dari kehidupannya.
Jono kenal betul
apa itu bakso dari ayah dan ibunya. Dia bahkan hapal dan paham betul cara
membuat bakso yang gurih dan kenyal tanpa bahan pengawet. Resep rahasia itu
diperolehnya dari sang ayah. Kalau ada jurusan perbaksoan di universitas Gajah
Mada atau universitas besar lainnya di Yogyakarta, tentu Pak Soma akan dengan
cepat memperoleh gelar sarjana, bahkan doktor ataupun M.Ba., Master of
Bakso.
“Jon, membuat
bakso itu tidak boleh asal-asalan. Harus dengan hati, itulah kuncinya. Maka
dari itu bakso buatan bapak kenyal dan gurih meski tanpa bahan pengawet. Yang
penting hati, Jon.”
“Iya, Pak. Jono
ngerti.”
“Kamu tahu, kenapa
banyak tukang bakso memakai boraks dan formalin? Karena mereka membuat bakso tidak
dengan kesungguhan hati, Jon. Makanya mereka memakai boraks dan formalin agar
bakso buatan mereka kenyal dan tahan lama. Mereka tidak mengerti betapa
pentingnya hati. Racikan boleh beda, tapi hati harus sama. Kuncinya hati, Jono.
Ngerti, le?”
“Inggih,
Jono ngertos.”
Demikianlah Jono
bercakap-cakap dengan ayahnya setiap malam di kala ia membantu ayahnya membuat
bakso di rumah. Jono melewati masa kecilnya bersama bakso yang digeluti dan
dicintainya dengan sepenuh hati. Wejangan[2] sang
ayah melekat kuat dalam hatinya dan terus dibawanya ke manapun dia pergi. Oleh
karena itulah Jono selalu bisa membedakan bakso mana yang dibuat dengan hati
dan mana yang tidak. Hari demi hari dilewatinya dengan begitu indah bersama
ayah dan ibunya, hingga sebuah peristiwa mengubah segalanya.
***
Jono lulus dari
pendidikan dasar dengan prestasi yang baik. Jono tidak pernah tinggal kelas, dan
tak ada satu pun nilai merah pernah singgah di rapornya. Demi putranya, Pak
Soma mendaftarkan Jono di sebuah SMP favorit di kota Yogyakarta. Pilihan pun
jatuh pada sebuah SMP swasta Katolik, SMP Pangudi Luhur 1. Dengan penuh rasa
antusias Jono mendaftarkan diri di sekolah itu dan mengikuti rangkaian tes
seleksi yang ada, berharap akan masa depan yang jauh lebih baik di cakrawala
kehidupannya di masa yang akan datang. Begitulah angan-angan kaum akar rumput,
angan-angan yang kental akan harapan.
Kabar baik
menampik Jono. Dia diterima di sekolah yang diimpikannya itu. Melonjak
kegiranganlah Jono pagi itu, tertawa bahagia menggenggam surat pemberitahuan
penerimaannya. Dia bahkan menerima bantuan beasiswa dari pihak sekolah. Kabar
baik menerjangnya satu demi satu, menenggelamkannya dalam arus kebahagiaan yang
begitu deras mengalir dalam dirinya.
“Aku sekolah ing kutha…”
Bukan Jono saja
yang saat itu tersesat dalam belantara suka cita. Pak Soma dan Ibu Minah pun
turut merasakan apa yang putra mereka rasakan. Apa lagi Jono menerima bantuan beasiswa
dari pihak sekolah. Ayah dan ibunya bernafas lega mendengar hal itu.
“Amin.. Yah,
setidaknya kamu bersekolah di kota, Nak,” batin Pak Soma.
Hari berlalu.
Tahun ajaran baru menyambut Jono. Kini dia bukan lagi seorang bocah SD
sebagaimana dulu. Dia sudah SMP, saat di mana dia menyambut masa remaja yang
menanti di hadapannya. Pak Soma menyiapkan dagangannya sembari memandang
anaknya yang baru saja berangkat sekolah untuk pertama kalinya pagi itu.
Tersenyum banggalah dia akan anak semata wayangnya. Wajah damainya menyiratkan
harapan yang begitu besar pada diri Jono. Maka kembalilah Pak Soma bekerja
bersama istrinya, bergulat di tengah arus kehidupan bersama bakso kesayangannya
demi keluarganya tercinta.
Suasana baru menyambut
Jono di sekolah barunya. Sekolah itu tiga kali lebih luas daripada sekolahnya
dahulu. Tidak ada lagi kelereng, gasing ataupun keriuhan teman-teman yang asyik
bermain petak umpet di halaman sekolah seperti yang dialaminya di desa dahulu. Sekolah
itu penuh akan anak-anak ber’hp, bersepatu mahal dengan tas ransel yang penuh
akan berbagai macam mainan, komik dan gadget.
Segera Jono tenggelam dalam arus keminderan diri yang menerjangnya tanpa kenal
ampun. Seragam, sepatu dan tas peninggalan ayahnya terkesan kuno dan antik.
Jono diam seribu bahasa.
Pembukaan MOS
digelar di halaman sekolah. Pagi itu semua siswa baru diminta untuk
memperkenalkan dirinya masing-masing di halaman sekolah.
“Namaku Richard.
Aku tinggal di perumahan Timoho Asri blok A. Papaku bekerja sebagai manajer
bank Mandiri di Yogyakarta.”
“Jenengku
Adit! Wong tuwaku jenenge Joko karo Susi, trus bapakku kuwi kerjane dadi
jurnalis Kedaulatan Rakyat. Sangar, ta?”
Demikianlah
setiap anak maju dan memperkenalkan dirinya masing-masing. Hiruk-pikuk
keceriaan menyelimuti seantero penghuni baru sekolah itu. Jono terdiam di tengah
keramaian itu. Kadang seulas senyum singgah di pipinya kala salah seorang
temannya melucu di atas podium, namun senyum itu lekas pergi, sebab dia tahu;
semakin banyak anak yang maju, semakin dekatlah gilirannya untuk maju dan
memperkenalkan diri. Jono menggigil dalam kekalutan yang erat merangkul.
Tibalah giliran
Jono untuk memperkenalkan diri. Gugup dia melangkah menuju podium. Sepatu
usangnya memble[3] bagai
anjing kelaparan, membuatnya semakin malu dan gelisah. Sesosok lelaki hadir
dalam benaknya, seorang pria berwajah pucat dengan tongkat dan kerudung hitam.
Berbisik parau padanya.
“Hei, miskin. Haha…”
Jono sampai di
podium. Ratusan mata yang tertuju padanya. Jono merasa ditelanjangi oleh mata-mata
itu. Jono memejamkan mata. Lelaki berkerudung hitam itu masih ada di sana.
“Miskin… Anak tukang bakso…”
Keheningan sontak
mencekat, membungkam keramaian. Jono membuka matanya. Lebih dari lima ratus
orang menunggunya untuk berbicara. Lirih, dia berkata,
“Namaku Jono.”
“Woi, nek ngomong sing banter!!”
Seorang bocah
lelaki hitam berbadan besar berteriak padanya. Jono semakin menggigil.
“Namaku Jono.
Aku tinggal di desa Rejodani di Sleman. Aku anak tunggal.”
“SD’mu di mana?”
tanya seorang gadis kecil di deret terdepan.
“SD’ku di
Sleman, SD Negeri Rejodani.”
“Bapakmu kerja
apa?”
Jono terhenyak.
Dadanya serasa dijejali gumpalan sampah busuk, mulutnya serasa disumpal
gulungan kain yang membungkamnya dari segala kata. Ratusan mata menatapnya,
menusuk pupil yang mengecil oleh rasa takut dan gelisah. Mereka menunggu sebuah
jawaban.
Jono kembali
terpejam, menjumpai sosok lelaki berkerudung hitam yang setia menunggunya di
sana.
“A, aku, aku…”
“Hehe, ada apa, bocah?”
“Aku… Aku harus bicara apa? A, aku…”
Lelaki itu
tersenyum. Senyum dingin tanpa kehangatan.
“Bilang saja kamu anak pegawai negeri. Daripada
tukang bakso? Hehe…”
Jono terdiam. Haruskah aku berbohong? Teringat olehnya
pesan sang ayah yang selalu disampaikan padanya sebelum tidur. Setiap malam Pak
Soma selalu duduk di samping tempat tidur Jono, menceritakannya sebuah dongeng
sebelum tidur.
“Pak, kenapa
Malin Kundang dikutuk jadi batu?”
“Karena dia
berbohong, Nak. Mengaku anak orang kaya dan tidak mau mengakui ibunya sendiri.”
“Jono nggak mau
jadi batu.”
“Maka dari itu,
jadilah orang yang jujur. Jangan berbohong pada orang lain.”
Jadilah orang yang jujur. Pesan
sang ayah menguatkan hati Jono. Senyum memudar dari wajah lelaki berkerudung
hitam. Perlahan Jono membuka matanya, menatap kembali ratusan pasang mata di
hadapannya. Dengan segenap keberanian yang tersisa, dia berkata,
“Bapakku tukang
bakso.”
Keheningan
pecah. Orang-orang berbisik satu sama lain. Jono tertunduk malu dalam
keheningannya, hingga akhirnya keheningan itu dikacau-balaukan oleh cemooh
seorang anak lelaki yang tertawa sambil berkata,
“Ha, ha, ha! Anak’e tukang bakso! Bakso apa, cah?
Bakso tikus? Ha, ha, ha!”
“Hei, ndas bakso! Ha, ha, ha!”
Keramaian segera
memenuhi halaman. Tawa membahana. Kekalutan Jono memuncak, merangkul erat dada
Jono yang sontak digedor kencang oleh jantungnya yang berdegup hebat. Menggigil
dalam rasa horor, di hadapan sekian ratus tatapan mata yang dengan keji mengoyak-ngoyak
hati dan perasaannya.
Jono tercekat.
Lelaki berkerudung hitam itu menyeruak di tengah kerumunan orang di hadapannya.
Dia tertawa.
“Haha… Bodoh…”
Jono berlari,
menerjang tasnya dan pergi menuju gerbang. Gadis kecil di deret terdepan
mengejarnya, berusaha menghiburnya. Namun dia tidak peduli. Dicegatnya bis dan
dia pun pulang ke rumah. Dia menangis di sepanjang perjalanan, menangis di
dalam kesendiriannya.
“Aku anak tukang
bakso. Aku anak tukang bakso…”
Baru kali ini
Jono merasa malu atas dirinya sendiri, malu menjadi anak seorang tukang bakso.
***
“Pak, kenapa
Bapak mau jadi tukang bakso?”
Pak Soma heran
akan pertanyaan anaknya itu. Belum pernah Jono menanyakan hal semacam itu padanya.
Dia pun heran Jono pulang pada jam sembilan pagi pada hari pertama ia
bersekolah. Dalam surat pemberitahuan yang diterimanya, MOS berlangsung hingga
pukul satu siang.
“Sudah lama
bapak jadi tukang bakso. Ayah bapak dulu juga jualan bakso, jadi bapak
meneruskan pekerjaan ayah bapak. Emange
ngapa, le?”
Jono membisu.
Dia duduk termenung menatap gerobak bakso ayahnya pagi itu. Hatinya masih
amburadul, mata sayunya menumpahkan segala perasaannya pada sang ayahnya tanpa
banyak kata. Pak Soma masih keheranan melihat sikap anaknya itu. Bu Minah
sedang berbelanja di pasar, warungnya pun sedang sepi pelanggan. Berdua ia dengan
Jono di warung baksonya, terdiam dalam keheningan yang menyesakkan.
“Aku malu, Pak.”
Pak Soma
terkejut. Dia segera paham akan keanehan sikap dan perilaku Jono,
pertanyaannya, juga alasan mengapa anaknya pulang gasik pagi itu.
“Jon, keluarga
kita memang kere. Bapak dan ibumu memang cuma tukang bakso,
tidak seperti orangtua teman-temanmu itu. Nanging
ya kaya ngene iki bapakmu, le. Toh kita belum pernah kekurangan sesuatu
apapun.”
“Bukan Pak,
bukan itu.”
“Lha njuk apa, le?”
“Aku isin, bapakku tukang bakso.”
Pak Soma terhenyak.
“Bapaknya Adit
jurnalis Kedaulatan Rakyat, bapaknya Richard manajer bank Mandiri di
Yogyakarta. Lha aku? Anak’e tukang bakso.
Apa kuwi? Apa apik’e? Apa sing isa tak’banggakake saka Bapak? Ora ana, Pak! Aku
isin, Pak. Isin!”
“Le, Bapak iki isane ya mung kaya ngene. Bapak
tidak bisa kerja jadi jurnalis, apalagi manajer. Bapak isane ya mung gawe lan adol bakso.”
“Memangnya bapak
tidak bisa jadi yang lain?”
“Ora, le.”
Jono membisu.
“Maafkan Bapak,
Jono.”
“Aku malu sama
Bapak.”
“Apa, le?”
“Aku malu sama
Bapak. Aku mau Bapak buang gerobak ini. Jono nggak mau jadi anak tukang bakso.”
Pak Soma diam.
Jono pergi meninggalkannya seorang diri dalam keheningan. Dia masuk ke dalam
kamarnya, membisu seorang diri tanpa kata hingga larut malam. Sang ayah pun
terdiam. Dia tidak menangis, namun hatinya merintih penuh kepedihan.
Dilewatinya hari itu dalam kekelaman hati yang begitu memilukan. Hal ini tidak
diceritakannya kepada istrinya. Dia tak ingin istrinya ikut merasakan sakit
yang sama dengan yang dia rasakan.
Hari demi hari
berlalu. Jono tak mau kembali bersekolah. Wali kelas Jono pun sempat
mengunjungi rumah Jono dan berbincang dengan kedua orangtuanya mengenai problem
Jono, namun kunjungan itu tidak digubris Jono. Hari-hari penuh kesesakan itu
terus berlalu seiring dengan kekecewaan
yang terus membayangi Pak Soma sepanjang hari. Baksonya pun tidak sekenyal dan
segurih dahulu. Pelanggannya bisa merasakan hal itu.
“Tumben, Pak.
Kok baksonya beda, ya?”
“Inggih, den. Nyuwun ngapunten, nggih.”
Meski begitu Pak
soma tidak putus asa. Kemurungan dan kekecewaan anaknya justru membuatnya
semakin tergerak untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Lama kelamaan
baksonya kembali seperti sedia kala, gurih dan kenyal. Pelanggannya pun luput
dari kekecewaan yang sempat hijrah di lidah mereka.
Dengan penuh
daya upaya Pak Soma dan Ibu Minah berusaha untuk menghibur dan membujuk anaknya
untuk kembali bersekolah, namun sayang, kekecewaan Jono sudah mengkristal.
Peristiwa monumental di hari pertamanya bersekolah telah menorehkan sebuah luka
batin yang menganga lebar dalam hatinya.
Dua bulan
sesudah insiden itu, Jono kembali bersekolah. Tak ada yang tahu alasan yang
membuatnya kembali bersekolah, kecuali dirinya sendiri.
“Aku
harus berjuang keras. Belajar mati-matian. Aku nggak mau, jadi tukang bakso
seperti bapak.”
Hari-harinya di
sekolah dihujani oleh berbagai cemooh yang menjadi santapan sehari-harinya. Kemarahan
Jono semakin mengkristal. Tak ada kambing hitam lain yang lebih cocok baginya
selain sang ayah sendiri. Sementara itu Pak Soma tetap menjalani kariernya
sebagai tukang bakso sebagaimana mestinya. Semua itu terus berlalu hari demi
hari, tahun demi tahun, menjadikan Jono seorang pembangkang takdir yang tak
berdaya terhadap takdirnya sendiri.
***
“Mas, bakso atau
mie ayam?”
Jono tersadar
dari lamunannya. Stigma hatinya terbuka kembali, dadanya penuh sesak akan
emosinya yang amburadul. Wajahnya penuh kekalutan dan kebimbangan diri. Mau
makan apa?
Teman-temannya
sudah memesan mie ayam. Tinggal dia yang belum memesan makanan, dan penjaga
warung itu masih menunggu. Tiba-tiba Jono berkata,
“Mbak, bakso satu.”
Dengan cekatan
wanita penjaga warung itu meracik bakso pesanan Jono. Lega teman-temannya
mendengar Jono yang akhirnya memesan semangkuk bakso.
“Nah, mbok ngono… Udah, nggak usah bingung.
Kami yang bayarin,” ujar Lisa.
“Tambaha, nganti wareg!” sambung Dani.
Dalam keramaian
itu Jono menunggu bakso pesanannya. Dia heran, mengapa dia memilih untuk makan
bakso daripada mie ayam. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya,
tanpa alasan. Dia hanya merasakan sebuah kerinduan dari dalam hatinya untuk
memesan makanan itu. Sebuah suara dengan lembut berbisik padanya dalam hati, sudah, pesanlah bakso.
“Mas, ini
baksonya.”
Semangkuk bakso
panas tersaji di hadapan Jono. Setelah bertahun-tahun lamanya akhirnya dia
berhadapan lagi dengan makanan itu.
“Sambal, Jon?”
Jono menggeleng
pada Lena. Dia tidak menambahkan saus ataupun kecap. Dia rindu akan gurih dan kenyal
bakso tanpa bubuhan apapun. Ditancapkannya sebilah garpu pada sebutir bakso di
mangkuk itu. Dipegangnya garpu itu dengan tangan kanannya, persis seperti yang
dilakukannya sewaktu kecil di samping gerobak bakso ayahnya.
Arus memori
berkelebat dalam benaknya. Riuh pembeli bakso di rumahnya. Gerobak bakso tua
beroda dua. Ibunya. Ayahnya.
Disantapnya
bakso itu.
Jono menangis.
“Lho, Jon?”
Lisa segera
menghampiri Jono, begitu pula Lena dan Dani.
“Kenapa, Jon?”
Jono membisu.
Dia hanya menggeleng pada Dani, sembari mengusap air mata di pipinya.
“Nggak, nggak
apa-apa.”
“Ah, nggak
mungkin. Ada apa, Jon?”
“Nggak apa-apa,
Len. Aku… aku…”
“He?”
“Cuma terharu,
punya teman-teman sebaik kalian.”
Dani, Lena dan
Lisa tersenyum. Mereka memeluk Jono yang masih sibuk menyeka pipi dari air mata
yang meluber dari kedua pelupuk matanya.
“Jono, Jono…”
Lisa menyeka
pipi Jono dengan sapu tangannya. Jono membalasnya dengan seulas senyum. Biarlah, biar mereka tidak tahu kenangan
yang meluberkan air mataku, batinnya. Kenyal dan gurih bakso itu membongkar
memori Jono akan kenangannya bersama ayahnya dahulu, membasuh luka hati yang
selama ini dirasakannya. Dia rindu akan ayahnya, rindu akan bakso yang dulu
menjadi sahabat karibnya selama belasan tahun. Hatinya luluh, gejolak
perasaannya mengalahkan kebekuan hatinya yang telah mengkristal selama belasan
tahun.
Aku bangga akan takdirku. Aku Jono, anak seorang
tukang bakso.
Jono
menghabiskan siang itu bersama ketiga temannya, menyantap habis bakso dan mie
ayam yang mereka pesan. Jono pun berpikir, bagaimana kalau dia nyekar ke makam ayahnya keesokan
harinya, membawakannya sekeranjang kembang setaman dan semangkuk bakso.
Dalam
kekalutan hati,
Love your destiny.
Sinopsis “Antara
Bakso dan Mie Ayam”
Jono,
seorang siswa SMA Negeri 1 Sleman, Yogyakarta, lulus sebagai lulusan terbaik
sekabupaten Sleman dengan NEM sebesar 59,8. Dia ditraktir ketiga temannya di
sebuah warung bakso dan mie ayam untuk merayakan kelulusan mereka, khususnya
prestasi Jono. Jono yang selalu menghindari bakso, harus menghadapi pilihan
antara bakso dan mie ayam yang membongkar kembali kenangan pahitnya di masa
lalu seputar bakso.
Jono
kecil adalah putra dari sepasang bakul bakso
sederhana yang terkenal seantero kabupaten Sleman. Masa kecil dilewatinya
bersama bakso dan kedua orangtuanya, hingga akhirnya pengalaman pahit di kala
SMP membuatnya marah dan membenci ayahnya sendiri; dia diejek sebagai anak dari
seorang tukang bakso. Kemarahan, kesedihan dan kekecewaan Jono mengkristal
menjadi rasa benci pada sang ayah, hingga sang ayah meninggal. Jono pun giat
belajar mati-matian untuk tidak meneruskan jejak sang ayah sebagai tukang
bakso, hingga meraih gelar pelajar berprestasi.
Kembali
ke warung bakso dan mie ayam, dalam kelalutannya akhirnya Jono memutuskan untuk
memesan semangkuk bakso. Saat itulah dia sadar, dia merindukan sosok ayahnya
melalui semangkuk bakso itu. Kebencian Jono pun meluruh, hingga akhirnya dia
memutuskan untuk menerima jati dirinya sebagai anak dari seorang bakul bakso.
Biodata Penulis
Nama :
Paulus Eko Harsanto
Tempat/tanggal lahir :
Wonogiri, 26 April 1993
No comments:
Post a Comment