7 jam
Sore itu mengembang,
melebarkan sayapnya, menaungiku dengan lembutnya senja yang manis dan menawan.
Saat yang tepat bagiku untuk menjemputmu. Kupanaskan vespaku. Tak sabar ingin
bertemu.
Minggu,
28 Juni 2009
15.00 WIB. Sebuah rumah mungil di Sleman,
Yogyakarta.
“Johan!”
“Hai, Nadia.”
“Long time no see… Kurus
banget, kamu?”
“Hehe, berkat kombinasi sempurna dari tiga hal: makan cukup, olahraga
rutin, dan…”
“Dan?”
“…dan stress di asrama.”
“Ya’elah… Tak pikir apa, Han…
Ya udahlah, nevermind. Mau ke mana, kita?”
“FKY.”
“FKY?”
“Festival Kesenian
Yogyakarta.”
“Di mana?”
“Benteng Vreedeburg.”
“Oo... Kok ngajak aku?”
“Pingin aja. Mumpung libur,
dan mumpung ketemu sama kamu.”
“Hmm...”
“Mau?”
“Mau.”
“Ya udah. Berangkat,
yuk.”
“Aku ambil helm dulu,
ya.”
15.30 WIB. Benteng Vreedeburg.
“Waah...”
“Here we are.”
“Sekarang, mau apa
nih?”
“Kita keliling saja.
Cuci mata.”
“Hihi... Lucu. Biasanya
aku yang nemenin ibuku cuci mata.”
“Now, it’s up to you.”
“Lho, kan kamu yang
ngajak aku ke sini.”
“Iya.”
“Terus?”
“Terus, terserah kamu.
Aku mau menemanimu, itu saja.”
16.00 WIB. Galeri seni FKY.
“Han, sini!”
“He?”
“Itu gambar abstrak
banget. Masa kanvas putih cuma dicorat-coret pakai kuas dan cat? Kalau gitu aja,
aku juga bisa.”
“Bener?”
“Iya!”
“Aku sampaikan ke pelukisnya,
terus kamu buat gambar yang sama. Bisa?”
“Uuh...”
“Hm?”
“Ah, iya deh...”
“Iya?”
“Ya nggak, lah!”
“Nggak, gimana?”
“Aku nggak bisa.”
“Lha, katanya bisa.”
“Iya, iya!”
“Haha, satu kosong
untuk Johan versus Nadia.”
“Yooh... Manuut...”
“Haha, dasar tembem.”
“Eh, kok tembem sih!”
“Ya, kan kamu doyan
makan.”
“Huu!”
“Lho, kan fakta.”
“Ah, mbuh!”
***
Tak
pernah kusangka, kamu akan datang menghampiriku. Satu tahun berlalu tanpa kabar
darimu, dan sekarang aku di sini, bersamamu.
Kau
jemput aku dengan vespa kesayanganmu. Kau ajak aku berkeliling di penjuru
galeri seni di Vreedeburg. Kini, kau
ajak aku menjejaki pelataran Mirota Batik, sembari menyeruput habis sore ini
bersamaku.
Sungguh,
kuharap semua ini tak ‘kan pernah berakhir.
16.45 WIB. Mirota Batik.
“Han.”
“Ya?”
“Aku
gugup, ya?”
“Nggak.
Aku yang gugup.”
“Kamu...”
“Ini
pertama kalinya aku jalan sama perempuan,
berdua.”
17.20 WIB. Keluar dari
Mirota Batik.
“Han.”
“Ya?”
“Aku
gandeng, ya?”
“Hm?”
“Aku
kalau jalan bareng cowok, pasti gandengan tangan. Boleh, ya?”
“Iya.
Boleh.”
“Han.”
“Ya?”
“Keliling
Malioboro, yuk.”
“Iya,
boleh.”
17.30 WIB. Sepanjang jalan Malioboro.
“Nad.”
“Ya?”
“Cowokmu
nggak marah, aku jalan sama kamu?”
“Nggak.”
“Kok?”
“Aku
kan single.”
“Since?”
“Since I broke up.”
“Kenapa?”
“Dia
selingkuh.”
“Diputusin?”
“Nggak. Aku yang mutusin. Daripada dia terkekang, lebih baik
dia bahagia dengan perempuan lain di sampingnya.”
“Perasaanmu?”
“Kecewa, tapi… Ya
sudahlah. Yang penting dia bahagia.”
“But you’ve to defend
yourself! Lelaki macam itu cuma orang nggak bertanggung-jawab yang
memandang rendah perempuan hanya sebagai barang untuk dimainkan. Don’t let yourself played by him.”
“Udahlah, Han… Aku ikhlas, kok.”
“Aku nggak.”
“Johan, Johan…”
“Hm?”
“Nggak. Nothing.”
***
Dan kau tersenyum padaku, lembut. Lenganmu masih
melingkari lenganku, bergelayut lembut seiring irama langkah kita sepanjang
Malioboro.
Pengamen bernyanyi. Ketoplak delman. Derum mobil.
Kayuhan becak. Riuh cengkrama pedagang dan turis yang saling menawar harga.
Semua itu dibalut oleh sunset yang
hangat, menenggelamkan kita dalam
dalam alunan nuansa yang begitu ramah menyapa, lembut merangkul.
Aku
ada di sana, tepat di sampingmu. Begitu dekat. Namun entah mengapa, engkau
serasa begitu jauh dariku. Ada sebuah tabir realita, yang tak ‘kan bisa
kutembus untuk bisa terus berada di sisimu. Kenyataan pahit, yang begitu
kontras dengan rasaku, padamu.
Buru-buru kuenyahkan pikiran itu dari benakku. Perpisahan
kita selama satu tahun. Status hidupku. Pergulatanku. Ah, masa bodoh dengan
tabir itu. Yang terpenting bagiku, adalah saat ini. Saat kita bersama, berdua.
Kurekam setiap detail yang ada; lekuk wajahmu, hangat
rangkulmu, lembut suaramu.
Sungguh, Nadia. Kuharap semua ini tak ‘kan pernah
berakhir.
18.00 WIB. Sepanjang jalan Malioboro.
“Han.”
“Ya?”
“Menurutmu, aku orangnya gimana?”
“Hmm… Nadia itu: mature,
easy talking, manis (“Makasih…”), penurut sama ibu (“Ah, kamu tuh!”), haha…
dan tembem.”
“Huh, tembem lagi!”
“Lho, kan fakta.”
“Ah, nggak juga.”
“Haha, bercanda Nad. Your turn?”
“Hmm… Johan itu: dewasa, enak diajak ngobrol (“Hei,
nggak kreatif! Itu sih cuma translating kata-kataku
tadi!”), dan… kempes.”
“He? Kempes?”
“Kan kamu dulu gemuk. Setahun nggak ketemu, eh,
sekarang jadi kurus. Kempes, deh.”
“Ha. Ha. Ha. Lucu, Nad.”
“Nah, satu sama untuk Johan versus Nadia.”
“Nad.”
“Hm?”
“Kamu tahu, sakitnya cinta bertepuk sebelah tangan?”
“Tahu.”
“Pernah?”
“Pernah.”
“Perih, ya.”
“Hm?”
“I love someone.
So much. Tapi aku nggak bisa ngutarain perasaanku sama dia.”
“Kenapa? Malu?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Jalanku beda sama jalannya. Statusku…”
“Oh…”
“…dan aku nggak mau nyusahin dia dengan statusku ini.
Aku nggak tega ninggalin dia, apalagi nekat jalin long distance relationship cuma gara-gara statusku ini.”
“Johan…”
“Aku jadi sering ngerasa kesepian, Nad. Susah rasanya
ngubah perasaan ini, sampai…”
“Sekarang?”
“Ya. Sampai sekarang.”
“…”
“Sesak, Nad.”
“Ya, aku tahu.”
“Ada saran?”
“…”
“Nad?”
“Eh, temenin aku ke butik, yuk. Di sana.”
“Nad…”
“Aku mau ke butik, sama kamu.”
***
Siapa dia? Orang yang telah membuatmu melabuhkan diri,
padanya? Tiba-tiba saja senja berubah di pelupuk mataku, mengelam dalam untaian
kata-katamu. Kata-kata, yang menenggelamkan nuansa ramah-menyapa yang sempat
kurasakan bersamamu, sepanjang Malioboro.
Aku
ada di sana, tepat di sampingmu. Begitu dekat. Namun entah mengapa, engkau
serasa begitu jauh dariku. Ada sebuah tabir realita, yang tak ‘kan bisa
kutembus untuk bisa terus berada di sisimu. Kenyataan pahit, yang begitu
kontras dengan rasaku, padamu.
Statusmu. Jalan hidupmu. Perempuan itu…
Buru-buru kuenyahkan pikiran itu dari benakku. Masa
bodoh dengan tabir itu. Yang terpenting bagiku, adalah saat ini. Saat kita
bersama, berdua.
Aku tak mau merusak momen ini. Kuukir senyum di
wajahku, sembari mengajakmu melihat-lihat baju di butik itu. Kusembunyikan
perih ini, darimu.
Meski perih, meski pilu, aku tetap berharap…
… berharap semua ini tak ‘kan pernah berakhir.
19.00 WIB. Kembali ke benteng Vreedeburg.
“Hei, tembem. Laper, nggak?”
“Hehe, iya. Perutku udah ngerengek nih, minta dikasih
makan.”
“Kita makan di restoran, terus langsung aku antar kamu
pulang. Gimana?”
“Sip!”
“Udah pernah ke Jejamuran?”
“Belum…”
“Ke sana, yuk. Tempatnya deket sama rumahmu dan
rumahku di sleman. Makanannya enak, lagi. Imagine
it: you’ll eat mushroom just like you eat meat, with perfect combination of
spices and…”
“Ah, udah ah! Kok malah jadi sales. Jadi makan nggak?
Keroncongan, nih…”
“Haha, iya, iya. Tenang, Johannes Baskara siap
mengantar…”
“…dan Helllena Nadia Ekasasti siap ditraktir.”
“Yes, Madam.
Your wish is my command.”
19.40 WIB. Jejamuran.
“Tempat ini…”
“Gimana? Asyik, kan?”
“Wow… kenyang
plus-plus, nih. Cozy place, free charge…”
“Huu, mentang-mentang dibayarin.”
“Ya iyalah… Salahnya, ngajak aku makan. Nraktir, lagi.
Dijamin dah, kantongmu bakal…”
“Kempes. Percaya,
wis…”
“Nah, genea
ngerti…”
“Makan apa, Nad?”
“Hmm… Sup jamur, pakai nasi, trus minumnya cocacola dua botol.”
“He?”
“Ngapa, Han?
Nggumun?”
“Nggak. Malah heran aku kalau kamu cuma pesan nasi. Maka
terbuktilah kata-kata seorang Johannes Baskara, bahwasanya Nadia a.k.a tembem memang doyan makan.”
“Yah, terserah deh. Yang penting makan gratis dan…
kenyang!”
“Haha…”
“Kamu makan apa?”
“Jamur goreng tepung, nasi, plus ice lemon tea. Satu gelas, nggak lebih.”
“Lebih juga boleh. Kan kamu yang bayar.”
“…”
“Han?”
“Nad, apa saranmu?”
“Saran…”
“Tentang pengalamanku. Cinta bertepuk sebelah tangan,
yang kuceritain tadi.”
“Oh, yang itu…”
“Gimana?”
“Ehm… Kamu utarain aja perasaanmu sama dia.”
“Maksudmu, nembak dia, gitu? Tapi aku kan sudah bilang
sama kamu, jalanku beda sama jalannya. Statusku…”
“Iya, Han. Aku tahu. Maksudku, kamu utarain perasaanmu
ke dia, tanpa minta dia untuk jadi pacarmu. Just
tell her your feeling. Itu bakal buat kamu ngerasa jauh lebih baik.”
“Tapi…”
“Jangan dipendam, Han. Let it free. Kalau nggak, perasaanmu hanya akan jadi racun buat
kamu. “
“…”
“Aku pernah ngalamin hal yang sama. Aku jatuh cinta,
dengan lelaki yang sekompleks sama aku di rumah. Lima tahun aku pendam
perasaanku, sembari melihatnya pacaran sama perempuan lain. Akhirnya aku sadar,
aku nggak bisa begitu terus. Akhirnya kuutarakan perasaanku sama dia,
kutumpahkan semua yang kupendam selama lima tahun. Dan dia pun mengerti
perasaanku, meski kami nggak jadian.”
“Sakit, ya?”
“Iya. Tapi memendam perasaan itu jauh lebih sakit
daripada mengutarakannya. Mending gitu, kan? Daripada terkekang oleh perasaan.”
“…”
“Sabar, Han. Kamu pasti bisa. Jangan biarkan
perasaanmu menghalangi jalan hidupmu, mimpimu…”
“Aku udah ngerasa sejak awal, kalau aku memang harus
ngelakuin hal ini suatu saat nanti. Thanks, Nad. I’ll do it.”
“Janji?”
“Janji.”
“Nah, gitu dong. Itu baru Johan.”
“Haha, okelah…”
“Han, senyum dong! Kok cemberut gitu, sih. Hadapi
dengan senyum.”
“Kok lama-lama kamu jadi kayak ibuku, sih? Santai aja,
lagi…”
“Soalnya…”
“Hm?”
“…aku hanya nggak mau lihat kamu sedih. Itu aja.”
***
Kutatap wajahmu. Kau tersenyum padaku, namun matamu
tak bisa berbohong. Mata yang lelah menahan lelehan air mata.
Aku tak tahu, apa yang ada di balik sinar matamu.
Sinar yang meredup, tak secerah saat kita menghabiskan waktu di Vreedeburg. Ada apa, Nadia? Salahkah
aku? Entah bagaimana perasaanmu padaku, namun sungguh, aku tak bermaksud untuk
menyakitimu. Biarlah kujalani lakon sakit hati ini sendiri, tanpamu.
Lelah rasanya, menjalani lakon ini sendirian. Aku
ingin bebas darinya, bebas dari lakon yang menyiksaku dengan begitu perlahan,
namun begitu melumpuhkan.
Akan kuakhiri lakon ini, segera.
***
Semahal inikah? Semahal inikah, harga yang harus
kubayar untuk melepas kerinduanku, padamu?
Kutahan segala bludakan emosi dalam dadaku. Kuukir
senyum di wajahku, menyembunyikan semua rasa itu darimu. Semuanya begitu
kontras; sedih dan bahagia, rindu dan cemburu… semua teraduk menjadi satu, menyumpal
dadaku. Sesak.
Tabir itu serasa semakin tebal, dengan sosok seseorang
yang kauceritakan padaku. Dia, yang kausayangi dengan sepenuh hati. Namun tak
apa. Aku rela. Toh aku bukan siapa-siapa bagimu. Aku hanyalah seorang Nadia,
yang kauajak untuk menghabiskan waktu bersama mulai dari pukul tiga sore hingga
malam ini. Seorang teman yang kauperlukan untuk mengisi harimu, namun bukan
hidupmu.
Kunikmati setiap detik kita bersama malam ini. Menghabiskan
waktu bersama di Jejamuran, sampai
semua pengunjung pulang terkecuali kita berdua. Menikmati kepulanganku, sembari
memelukmu di sepanjang perjalanan. Semuanya begitu membekas dalam benakku; tawamu, senyummu,
leluconmu, hadirmu. Dan semoga semua ini cukup bagiku. Semoga.
21.00
WIB. Sebuah rumah mungil di Sleman,
Yogyakarta.
“Sudah sampai, Nad.”
“Ah… Pulang dengan perut kenyang dan hati gembira! Thanks, Han. Ini bener-bener date terindah buat aku.”
“Date?”
“Eh, enggak… Maksudku, ehm, maksudku… Jalan-jalan yang
asyik dan memorable sama kamu.”
“Oh… ya. Sama-sama.”
“Han…”
“Ya?”
“Jangan lupa, ya.”
“Untuk?”
“Untuk ngutarain perasaanmu ke dia.”
“Oh, ya. Pasti.”
“Janji?”
“Janji.”
“Demi mimpimu...”
“…dan demi kamu.”
“…….?!”
“Karena itu
kamu.”
“Ja, jadi... Kamu…”
“Kupenuhi janjiku.
I love you.”
***
Dua remaja SMA itu saling memandang. Johan telah
menumpahkan segenap perasaannya pada Nadia. Nadia, tanpa pikir panjang,
memeluknya erat-erat. Lelah dia menahan air matanya, dan menumpahkannya dalam
pelukan lelaki yang juga dicintainya.
“Aku
jawab, ya?”
“Tapi
aku nggak minta kamu untuk jadi pacarku.”
“Yah,
setidaknya aku ngasih responlah, Han…”
Johan hanya bisa mengangguk, mengiyakan permintaan
sosok yang telah mengaduk isi hatinya selama hampir dua tahun.
“Sebenarnya
aku juga sama. Aku sayang sama kamu, bahkan sejak kita bertemu dua tahun yang
lalu. Saat kita latihan koor di Gereja, sore itu. Saat aku tahu kalau kamu mau
masuk seminari, aku bener-bener sakit hati. Aku nggak rela. Tapi aku tahu, aku
nggak bisa halangin kamu untuk menjawab panggilanmu itu. Sejak itu aku berjuang
untuk ngelupain kamu, tapi aku nggak bisa. Siapapun orang yang pernah jadi pacarku,
tetap saja nggak bisa gantiin kamu. Sakit, rasanya. Tapi, ya sudahlah. Ini
resikoku, karena sudah menaruh perasaan sama kamu.”
“Jadi
kita sama-sama sayang?”
“Iya.”
“Dan
kita pendam satu sama lain, selama ini?”
“Iya.”
Dalam hati Johan menangis. Di satu sisi dia merasa
bahagia, sebab orang yang dia cintai pun menaruh hati padanya. Namun di sisi
lain, dia tak sanggup menerima perih kenyataan itu. Dia telah menyakiti hati
orang yang dia cintai, secara tidak langsung. Melibatkannya dalam lakon sakit
hati, yang hanya ingin dijalaninya seorang diri.
“Maaf,
Nadia.”
“Buat
apa minta maaf? Kamu nggak salah apa-apa. Ini resikoku, Han. Yang penting
jangan sampai kamu keluar hanya gara-gara aku. Ingat, mimpimu…”
Johan mengangguk. Nadia jauh lebih tegar dan dewasa
dari yang dia bayangkan. Johan pun merasa tenang. “Sahabat?” tanyanya. “Sahabat,”
Nadia mengiyakan.
“Senyum,
dong. Jadi Romo tuh harus gagah. Kamu tuh hobinya murung, ya?”
“Haha,
ya non. Siap.”
Johan tersenyum. Begitu pula Nadia. Senyum mereka
bukan lagi topeng yang mereka kenakan untuk menyembunyikan hati mereka
masing-masing. Senyum yang tulus, ikhlas; untuk saling merelakan satu sama
lain.
22.00 WIB.
Malam itu, Piaggio
antik tahun 70’an meluncur bersama pengendaranya, melesat dari sebuah rumah
mungil di kompleks perumahan Sleman Permai II. Malam itu Johan mengerti, bahwa
cinta tak harus memiliki.
From 15.00 till
22.00, WIB, I understood
that love and
vocation are just like a bar of dark chocolate:
bitter outside,
sweet inside.
Mertoyudan, 26 Mei 2011
Untukmu, kenangan
Paulus Eko Harsanto
No comments:
Post a Comment