Monday, September 9, 2019

Cerpen - 7 Jam


7 jam
Sore itu mengembang, melebarkan sayapnya, menaungiku dengan lembutnya senja yang manis dan menawan. Saat yang tepat bagiku untuk menjemputmu. Kupanaskan vespaku. Tak sabar ingin bertemu.

Minggu, 28 Juni 2009
15.00 WIB. Sebuah rumah mungil di Sleman, Yogyakarta.
“Johan!”
“Hai, Nadia.”
Long time no see… Kurus banget, kamu?”
“Hehe, berkat kombinasi sempurna dari tiga hal: makan cukup, olahraga rutin, dan…”
“Dan?”
“…dan stress di asrama.”
Ya’elah… Tak pikir apa, Han… Ya udahlah, nevermind. Mau ke mana, kita?”
“FKY.”
“FKY?”
“Festival Kesenian Yogyakarta.”
“Di mana?”
“Benteng Vreedeburg.
“Oo... Kok ngajak aku?”
“Pingin aja. Mumpung libur, dan mumpung ketemu sama kamu.
“Hmm...”
“Mau?”
“Mau.”
“Ya udah. Berangkat, yuk.”
“Aku ambil helm dulu, ya.”


15.30 WIB. Benteng Vreedeburg.
“Waah...”
Here we are.
“Sekarang, mau apa nih?”
“Kita keliling saja. Cuci mata.”
“Hihi... Lucu. Biasanya aku yang nemenin ibuku cuci mata.”
Now, it’s up to you.
“Lho, kan kamu yang ngajak aku ke sini.”
“Iya.”
“Terus?”
“Terus, terserah kamu. Aku mau menemanimu, itu saja.”

16.00 WIB. Galeri seni FKY.
“Han, sini!”
“He?”
“Itu gambar abstrak banget. Masa kanvas putih cuma dicorat-coret pakai kuas dan cat? Kalau gitu aja, aku juga bisa.”
“Bener?”
“Iya!”
“Aku sampaikan ke pelukisnya, terus kamu buat gambar yang sama. Bisa?”
“Uuh...”
“Hm?”
“Ah, iya deh...”
“Iya?”
“Ya nggak, lah!”
“Nggak, gimana?”
“Aku nggak bisa.”
“Lha, katanya bisa.”
“Iya, iya!”
“Haha, satu kosong untuk Johan versus Nadia.”
Yooh... Manuut...
“Haha, dasar tembem.”
“Eh, kok tembem sih!”
“Ya, kan kamu doyan makan.”
“Huu!”
“Lho, kan fakta.”
Ah, mbuh!

***
Tak pernah kusangka, kamu akan datang menghampiriku. Satu tahun berlalu tanpa kabar darimu, dan sekarang aku di sini, bersamamu.
Kau jemput aku dengan vespa kesayanganmu. Kau ajak aku berkeliling di penjuru galeri seni di Vreedeburg. Kini, kau ajak aku menjejaki pelataran Mirota Batik, sembari menyeruput habis sore ini bersamaku.
Sungguh, kuharap semua ini tak ‘kan pernah berakhir.

16.45 WIB. Mirota Batik.
“Han.”
“Ya?”
“Aku gugup, ya?”
“Nggak. Aku yang gugup.”
“Kamu...”
“Ini pertama kalinya aku jalan sama perempuan, berdua.”

17.20 WIB. Keluar dari Mirota Batik.
“Han.”
“Ya?”
“Aku gandeng, ya?”
“Hm?”
“Aku kalau jalan bareng cowok, pasti gandengan tangan. Boleh, ya?”
“Iya. Boleh.”
“Han.”
“Ya?”
“Keliling Malioboro, yuk.”
“Iya, boleh.”

17.30 WIB. Sepanjang jalan Malioboro.
“Nad.”
“Ya?”
“Cowokmu nggak marah, aku jalan sama kamu?”
“Nggak.”
“Kok?”
“Aku kan single.”
Since?
Since I broke up.
“Kenapa?”
“Dia selingkuh.”
“Diputusin?”
Nggak. Aku yang mutusin. Daripada dia terkekang, lebih baik dia bahagia dengan perempuan lain di sampingnya.”
“Perasaanmu?”
“Kecewa, tapi… Ya sudahlah. Yang penting dia bahagia.”
But you’ve to defend yourself! Lelaki macam itu cuma orang nggak bertanggung-jawab yang memandang rendah perempuan hanya sebagai barang untuk dimainkan. Don’t let yourself played by him.
“Udahlah, Han… Aku ikhlas, kok.”
“Aku nggak.”
“Johan, Johan…”
“Hm?”
“Nggak. Nothing.

***
Dan kau tersenyum padaku, lembut. Lenganmu masih melingkari lenganku, bergelayut lembut seiring irama langkah kita sepanjang Malioboro.
Pengamen bernyanyi. Ketoplak delman. Derum mobil. Kayuhan becak. Riuh cengkrama pedagang dan turis yang saling menawar harga. Semua itu dibalut oleh sunset yang hangat, menenggelamkan kita dalam dalam alunan nuansa yang begitu ramah menyapa, lembut merangkul.
Aku ada di sana, tepat di sampingmu. Begitu dekat. Namun entah mengapa, engkau serasa begitu jauh dariku. Ada sebuah tabir realita, yang tak ‘kan bisa kutembus untuk bisa terus berada di sisimu. Kenyataan pahit, yang begitu kontras dengan rasaku, padamu.
Buru-buru kuenyahkan pikiran itu dari benakku. Perpisahan kita selama satu tahun. Status hidupku. Pergulatanku. Ah, masa bodoh dengan tabir itu. Yang terpenting bagiku, adalah saat ini. Saat kita bersama, berdua.
Kurekam setiap detail yang ada; lekuk wajahmu, hangat rangkulmu, lembut suaramu.
Sungguh, Nadia. Kuharap semua ini tak ‘kan pernah berakhir.

18.00 WIB. Sepanjang jalan Malioboro.
“Han.”
“Ya?”
“Menurutmu, aku orangnya gimana?”
“Hmm… Nadia itu: mature, easy talking, manis (“Makasih…”), penurut sama ibu (“Ah, kamu tuh!”), haha… dan tembem.”
“Huh, tembem lagi!”
“Lho, kan fakta.”
“Ah, nggak juga.”
“Haha, bercanda Nad. Your turn?
“Hmm… Johan itu: dewasa, enak diajak ngobrol (“Hei, nggak kreatif! Itu sih cuma translating kata-kataku tadi!”), dan… kempes.”
“He? Kempes?”
“Kan kamu dulu gemuk. Setahun nggak ketemu, eh, sekarang jadi kurus. Kempes, deh.”
“Ha. Ha. Ha. Lucu, Nad.”
“Nah, satu sama untuk Johan versus Nadia.”
“Nad.”
“Hm?”
“Kamu tahu, sakitnya cinta bertepuk sebelah tangan?”
“Tahu.”
“Pernah?”
“Pernah.”
“Perih, ya.”
“Hm?”
I love someone. So much. Tapi aku nggak bisa ngutarain perasaanku sama dia.”
“Kenapa? Malu?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Jalanku beda sama jalannya. Statusku…”
“Oh…”
“…dan aku nggak mau nyusahin dia dengan statusku ini. Aku nggak tega ninggalin dia, apalagi nekat jalin long distance relationship cuma gara-gara statusku ini.”
“Johan…”
“Aku jadi sering ngerasa kesepian, Nad. Susah rasanya ngubah perasaan ini, sampai…”
“Sekarang?”
“Ya. Sampai sekarang.”
“…”
“Sesak, Nad.”
“Ya, aku tahu.”
“Ada saran?”
“…”
“Nad?”
“Eh, temenin aku ke butik, yuk. Di sana.”
“Nad…”
“Aku mau ke butik, sama kamu.”

***
Siapa dia? Orang yang telah membuatmu melabuhkan diri, padanya? Tiba-tiba saja senja berubah di pelupuk mataku, mengelam dalam untaian kata-katamu. Kata-kata, yang menenggelamkan nuansa ramah-menyapa yang sempat kurasakan bersamamu, sepanjang Malioboro.
Aku ada di sana, tepat di sampingmu. Begitu dekat. Namun entah mengapa, engkau serasa begitu jauh dariku. Ada sebuah tabir realita, yang tak ‘kan bisa kutembus untuk bisa terus berada di sisimu. Kenyataan pahit, yang begitu kontras dengan rasaku, padamu.
Statusmu. Jalan hidupmu. Perempuan itu…
Buru-buru kuenyahkan pikiran itu dari benakku. Masa bodoh dengan tabir itu. Yang terpenting bagiku, adalah saat ini. Saat kita bersama, berdua.
Aku tak mau merusak momen ini. Kuukir senyum di wajahku, sembari mengajakmu melihat-lihat baju di butik itu. Kusembunyikan perih ini, darimu.
Meski perih, meski pilu, aku tetap berharap…
… berharap semua ini tak ‘kan pernah berakhir.

19.00 WIB. Kembali ke benteng Vreedeburg.
“Hei, tembem. Laper, nggak?”
“Hehe, iya. Perutku udah ngerengek nih, minta dikasih makan.”
“Kita makan di restoran, terus langsung aku antar kamu pulang. Gimana?”
“Sip!”
“Udah pernah ke Jejamuran?”
“Belum…”
“Ke sana, yuk. Tempatnya deket sama rumahmu dan rumahku di sleman. Makanannya enak, lagi. Imagine it: you’ll eat mushroom just like you eat meat, with perfect combination of spices and…
“Ah, udah ah! Kok malah jadi sales. Jadi makan nggak? Keroncongan, nih…”
“Haha, iya, iya. Tenang, Johannes Baskara siap mengantar…”
“…dan Helllena Nadia Ekasasti siap ditraktir.”
Yes, Madam. Your wish is my command.

19.40 WIB. Jejamuran.
“Tempat ini…”
“Gimana? Asyik, kan?”
“Wow…  kenyang plus-plus, nih. Cozy place, free charge…
“Huu, mentang-mentang dibayarin.”
“Ya iyalah… Salahnya, ngajak aku makan. Nraktir, lagi. Dijamin dah, kantongmu bakal…”
“Kempes. Percaya, wis…
Nah, genea ngerti…
“Makan apa, Nad?”
“Hmm… Sup jamur, pakai nasi, trus minumnya cocacola dua botol.”
“He?”
Ngapa, Han? Nggumun?
“Nggak. Malah heran aku kalau kamu cuma pesan nasi. Maka terbuktilah kata-kata seorang Johannes Baskara, bahwasanya Nadia a.k.a tembem memang doyan makan.”
“Yah, terserah deh. Yang penting makan gratis dan… kenyang!”
“Haha…”
“Kamu makan apa?”
“Jamur goreng tepung, nasi, plus ice lemon tea. Satu gelas, nggak lebih.”
“Lebih juga boleh. Kan kamu yang bayar.”
“…”
“Han?”
“Nad, apa saranmu?”
“Saran…”
“Tentang pengalamanku. Cinta bertepuk sebelah tangan, yang kuceritain tadi.”
“Oh, yang itu…”
“Gimana?”
“Ehm… Kamu utarain aja perasaanmu sama dia.”
“Maksudmu, nembak dia, gitu? Tapi aku kan sudah bilang sama kamu, jalanku beda sama jalannya. Statusku…”
“Iya, Han. Aku tahu. Maksudku, kamu utarain perasaanmu ke dia, tanpa minta dia untuk jadi pacarmu. Just tell her your feeling. Itu bakal buat kamu ngerasa jauh lebih baik.”
“Tapi…”
“Jangan dipendam, Han. Let it free. Kalau nggak, perasaanmu hanya akan jadi racun buat kamu. “
“…”
“Aku pernah ngalamin hal yang sama. Aku jatuh cinta, dengan lelaki yang sekompleks sama aku di rumah. Lima tahun aku pendam perasaanku, sembari melihatnya pacaran sama perempuan lain. Akhirnya aku sadar, aku nggak bisa begitu terus. Akhirnya kuutarakan perasaanku sama dia, kutumpahkan semua yang kupendam selama lima tahun. Dan dia pun mengerti perasaanku, meski kami nggak jadian.”
“Sakit, ya?”
“Iya. Tapi memendam perasaan itu jauh lebih sakit daripada mengutarakannya. Mending gitu, kan? Daripada terkekang oleh perasaan.”
“…”
“Sabar, Han. Kamu pasti bisa. Jangan biarkan perasaanmu menghalangi jalan hidupmu, mimpimu…”
“Aku udah ngerasa sejak awal, kalau aku memang harus ngelakuin hal ini suatu saat nanti. Thanks, Nad. I’ll do it.
“Janji?”
“Janji.”
“Nah, gitu dong. Itu baru Johan.”
“Haha, okelah…”
“Han, senyum dong! Kok cemberut gitu, sih. Hadapi dengan senyum.”
“Kok lama-lama kamu jadi kayak ibuku, sih? Santai aja, lagi…”
“Soalnya…”
“Hm?”
“…aku hanya nggak mau lihat kamu sedih. Itu aja.”

***
Kutatap wajahmu. Kau tersenyum padaku, namun matamu tak bisa berbohong. Mata yang lelah menahan lelehan air mata.
Aku tak tahu, apa yang ada di balik sinar matamu. Sinar yang meredup, tak secerah saat kita menghabiskan waktu di Vreedeburg. Ada apa, Nadia? Salahkah aku? Entah bagaimana perasaanmu padaku, namun sungguh, aku tak bermaksud untuk menyakitimu. Biarlah kujalani lakon sakit hati ini sendiri, tanpamu.
Lelah rasanya, menjalani lakon ini sendirian. Aku ingin bebas darinya, bebas dari lakon yang menyiksaku dengan begitu perlahan, namun begitu melumpuhkan.
Akan kuakhiri lakon ini, segera.

***
Semahal inikah? Semahal inikah, harga yang harus kubayar untuk melepas kerinduanku, padamu?
Kutahan segala bludakan emosi dalam dadaku. Kuukir senyum di wajahku, menyembunyikan semua rasa itu darimu. Semuanya begitu kontras; sedih dan bahagia, rindu dan cemburu… semua teraduk menjadi satu, menyumpal dadaku. Sesak.
Tabir itu serasa semakin tebal, dengan sosok seseorang yang kauceritakan padaku. Dia, yang kausayangi dengan sepenuh hati. Namun tak apa. Aku rela. Toh aku bukan siapa-siapa bagimu. Aku hanyalah seorang Nadia, yang kauajak untuk menghabiskan waktu bersama mulai dari pukul tiga sore hingga malam ini. Seorang teman yang kauperlukan untuk mengisi harimu, namun bukan hidupmu.
Kunikmati setiap detik kita bersama malam ini. Menghabiskan waktu bersama di Jejamuran, sampai semua pengunjung pulang terkecuali kita berdua. Menikmati kepulanganku, sembari memelukmu di sepanjang perjalanan. Semuanya begitu membekas dalam benakku; tawamu, senyummu, leluconmu, hadirmu. Dan semoga semua ini cukup bagiku. Semoga.

21.00 WIB. Sebuah rumah mungil di Sleman, Yogyakarta.
“Sudah sampai, Nad.”
“Ah… Pulang dengan perut kenyang dan hati gembira! Thanks, Han. Ini bener-bener date terindah buat aku.”
Date?
“Eh, enggak… Maksudku, ehm, maksudku… Jalan-jalan yang asyik dan memorable sama kamu.”
“Oh… ya. Sama-sama.”
“Han…”
“Ya?”
“Jangan lupa, ya.”
“Untuk?”
“Untuk ngutarain perasaanmu ke dia.”
“Oh, ya. Pasti.”
“Janji?”
“Janji.”
“Demi mimpimu...”
“…dan demi kamu.”
“…….?!”
 “Karena itu kamu.”
“Ja, jadi... Kamu…”
“Kupenuhi janjiku.
 I love you.

***
Dua remaja SMA itu saling memandang. Johan telah menumpahkan segenap perasaannya pada Nadia. Nadia, tanpa pikir panjang, memeluknya erat-erat. Lelah dia menahan air matanya, dan menumpahkannya dalam pelukan lelaki yang juga dicintainya.
“Aku jawab, ya?”
“Tapi aku nggak minta kamu untuk jadi pacarku.”
“Yah, setidaknya aku ngasih responlah, Han…”
Johan hanya bisa mengangguk, mengiyakan permintaan sosok yang telah mengaduk isi hatinya selama hampir dua tahun.
“Sebenarnya aku juga sama. Aku sayang sama kamu, bahkan sejak kita bertemu dua tahun yang lalu. Saat kita latihan koor di Gereja, sore itu. Saat aku tahu kalau kamu mau masuk seminari, aku bener-bener sakit hati. Aku nggak rela. Tapi aku tahu, aku nggak bisa halangin kamu untuk menjawab panggilanmu itu. Sejak itu aku berjuang untuk ngelupain kamu, tapi aku nggak bisa. Siapapun orang yang pernah jadi pacarku, tetap saja nggak bisa gantiin kamu. Sakit, rasanya. Tapi, ya sudahlah. Ini resikoku, karena sudah menaruh perasaan sama kamu.”
“Jadi kita sama-sama sayang?”
“Iya.”
“Dan kita pendam satu sama lain, selama ini?”
“Iya.”
Dalam hati Johan menangis. Di satu sisi dia merasa bahagia, sebab orang yang dia cintai pun menaruh hati padanya. Namun di sisi lain, dia tak sanggup menerima perih kenyataan itu. Dia telah menyakiti hati orang yang dia cintai, secara tidak langsung. Melibatkannya dalam lakon sakit hati, yang hanya ingin dijalaninya seorang diri.
“Maaf, Nadia.”
“Buat apa minta maaf? Kamu nggak salah apa-apa. Ini resikoku, Han. Yang penting jangan sampai kamu keluar hanya gara-gara aku. Ingat, mimpimu…”
Johan mengangguk. Nadia jauh lebih tegar dan dewasa dari yang dia bayangkan. Johan pun merasa tenang. “Sahabat?” tanyanya. “Sahabat,” Nadia mengiyakan.
“Senyum, dong. Jadi Romo tuh harus gagah. Kamu tuh hobinya murung, ya?”
“Haha, ya non. Siap.”
Johan tersenyum. Begitu pula Nadia. Senyum mereka bukan lagi topeng yang mereka kenakan untuk menyembunyikan hati mereka masing-masing. Senyum yang tulus, ikhlas; untuk saling merelakan satu sama lain.

22.00 WIB.
Malam itu, Piaggio antik tahun 70’an meluncur bersama pengendaranya, melesat dari sebuah rumah mungil di kompleks perumahan Sleman Permai II. Malam itu Johan mengerti, bahwa cinta tak harus memiliki.




From 15.00 till 22.00, WIB, I understood
that love and vocation are just like a bar of dark chocolate:
bitter outside, sweet inside.


Mertoyudan, 26 Mei 2011
Untukmu, kenangan
Paulus Eko Harsanto

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...