Ajak Aku
Ngobrol Malam Ini
“Mbok Yanti, es-te-em-je siji, sing kentel!”
“Sabar, le. Eh, tumben, nggak sama Arina. Gek loyo pa, den
baguse Raka iki?”
“Walah mbok, ora! Lha wong bugar, kok. Baru capek saja, tadi habis
jaga cafe di Melting Float sampai sore. Ramai, mbok. Kata mereka yang
doyan makan di sana, apple pie buatan saya maknyuss. Jadi capek,
masak apple pie terus-terusan, nonstop.”
“Walah, koki toh, mas Raka ini?”
“Cuma sambilan, mbok. Buat tambah uang saku. Maklum, kiriman uang dari
bapak di Salatiga belum sampai. Bayar kos saja belum.”
“Wah, kalau begitu sambilan di warung saya saja, mas! Masak apple pie.
Nanti pai mas laris wis, mas juga laris, laris manis... Sambilan plus-plus,
hihi...”
“Walah, mbok! Saya jual kue, bukan jual diri.”
“Hihi, iya, iya. Eman-eman lho mas, ganteng-ganteng kok dodolan roti.
Iki, es-te-em-je nasgitel, komplit.”
“Matur nuwun, mbok.”
“Lha, mas Raka nggak nyari Arina? Rina lagi nggenjot, po?”
“Halah, nanti saja, mbok. Kan saya sudah bilang, saya capek. Nanti jam
sepuluh saja, kalau sudah dingin menusuk. Nah, kalau begitu kan hangatnya
mantap, genjotnya pas. Hehe...”
“Walah, den baguse Raka, iki jan!”
“Hahaha, ora mbok, ora ngono... saya sama Arina sudah akrab, kok. Jadi
bukan Arina butuh uang saya atau saya butuh genjotannya Arina.”
“Lha mbok kawin saja, mas. Katanya sudah akrab. Kan enak, sama Arina.
Cantik, seksi, ramah, baik lagi. Nggak kaya lonthe lainnya. Bejat.”
“Ah, nggak mbok. Berteman saja cukup.”
“Lha ngopo, mas?”
“Arina nggak butuh suami, saya nggak butuh istri.”
“Nggak butuh, tapi saben malam minggu genjot-genjotan. Itu namanya butuh,
mas Raka.”
“Ah, nggak juga.”
“Lha njuk piye? Kok ora cetha. Yen tresna, ya mbok dilakoni. Apa isin,
duwe bojo lonthe?”
“Mbok, bukan begitu.”
“Lha, njuk?”
“Arina nggak butuh suami. Dia butuh teman ngobrol, mbok.
Dia kesepian.”
* *
*
Malam itu Sabtu Legi, malam Minggu yang bising di Malioboro. Apa lagi
kidul stasiun Tugu, wah, bukan main bisingnya. Tapi kebisingan Sarkem berbeda
dari kebisingan Malioboro. Di Malioboro, kebisingan lahir dari klakson motor,
deru mobil dan dawai pengamen jalanan. Di Sarkem? Kebisingan lahir dari lenguh
dan desah yang berirama, lembut menggoda. Kalau pepatah Indonesia berkata,
“lain ladang lain belalang,” maka pepatah Sarkem pun bersorak, “lain lubang, lain
desahan.”
Jangan pikir Sarkem itu cuma gudangnya dosa. Tiap desahan itu tak hanya
berlumur nafsu semata. Desahan itu punya kisahnya masing-masing. Ya, ada hidup
yang diperjuangkan di balik desah basah berlumur dosa itu.
Malam itu Sabtu Legi, malam Minggu yang bising di Malioboro. Seorang pria
baru saja menghabiskan segelas susu teh madu jahe favoritnya di warung janda
tua beranak satu di pasar kembang. Ada seseorang yang menunggunya malam itu.
Perlahan, dia pergi. Dihampirinya malam, ditabraknya kebisingan desah.
Ditelusurinya setiap gang kecil yang membawanya pada sosok yang membutuhkannya.
Lenguh dan desah mengiringi langkahnya. Di sebuah bilik di ujung gang,
ditemuinya seorang wanita yang sembab matanya, nanar.
Malam itu, dia hendak berbagi desah, dengannya.
* * *
“Arina, ada apa?”
“Raka, aku nggak tahan lagi. Aku nggak kuat, Raka.”
“Ada apa, toh?”
“Aku... Aku...”
“Arina, speak up. Kalau perlu, kita nggak perlu making love malam
ini. Aku di sini, untuk kamu.”
“Mas, Aku HIV.”
“Apa?”
“HIV. Aids.”
“Arina...”
“Nenek masih butuh uang untuk cuci darah, Rak. Dari mana aku bisa dapat
uang, kalau tidak di sini, di tempat ini? Sekarang aku penyakitan. Uang dari
mana?”
“Rin, kamu...”
“Kenapa, mas? Sekarang kamu jijik sama aku? Takut, ketularan?”
“Bukan, bukan begitu. Aku ingin bantu kamu, tapi aku nggak bisa. I
don't have enough money for us.”
“Sudah, nggak apa-apa, Raka.”
“Tapi, kamu...”
“...uwis, ora papa. Pancen iki salibku.”
“Terus aku bisa apa?”
“Satu saja cukup, kok.”
“Apa?”
“Temani aku ke Gereja, setiap pagi.”
“He? Mau tobat, kamu?”
“Hmm... Kangen aja sama Tuhan. Biar besok kalau aku mati, aku dijemput
sendiri sama Yesus.”
“Arina...”
“Oh, ya. Ada satu lagi.”
“Apa lagi?”
“Jangan bosan ketemu aku.
Jangan bosan ngobrol sama aku.
Ajak aku ngobrol, malam ini.”
* *
*
Malam itu malam minggu, malam yang sepi di Pasar Kembang. Bulan Ramadhan
menyita segala alunan desah yang mengalun di sana. Sepi menyekat tempat itu
dari keramaian, pekat.
Yohanes Raka Adi Putra terdiam di samping perempuan itu. Fransiska Arina
Wulandari terbaring tanpa daya di dalam biliknya, pasrah. Nanar mata mereka
saling memandang, berbicara dalam heningnya malam.
Sore itu melting float ramai akan orang yang ingin makan apple pie Raka
untuk berbuka puasa, tapi Raka tidak ada di sana. Masa bodoh, pikirnya. Ada
yang membutuhkannya saat itu, dia tahu itu.
Malam itu, Arina terhenyak dalam batinnya. Neneknya meninggal satu bulan
yang lalu, dan sekarang, dia sekarat. Ah, biarlah. Biar aku menyusul nenek,
batinnya.
Keesokan paginya, Arina menyusul sang nenek.
Dia bahagia, sebab malam itu seorang sahabat rela meninggalkan cafenya,
hanya untuk ngobrol dengan seorang pelacur.
Kedaginganku,
bukanlah alasan bagiku untuk menyerah
dalam basahnya lumuran dosaku.
21st August 2012
Paulus Eko Harsanto
No comments:
Post a Comment