Sunday, September 8, 2019

Cerpen - Ajak Aku Ngobrol Malam Ini


Ajak Aku Ngobrol Malam Ini

“Mbok Yanti, es-te-em-je siji, sing kentel!”
Sabar, le. Eh, tumben, nggak sama Arina. Gek loyo pa, den baguse Raka iki?
Walah mbok, ora! Lha wong bugar, kok. Baru capek saja, tadi habis jaga cafe di Melting Float sampai sore. Ramai, mbok. Kata mereka yang doyan makan di sana, apple pie buatan saya maknyuss. Jadi capek, masak apple pie terus-terusan, nonstop.”
“Walah, koki toh, mas Raka ini?”
“Cuma sambilan, mbok. Buat tambah uang saku. Maklum, kiriman uang dari bapak di Salatiga belum sampai. Bayar kos saja belum.”
“Wah, kalau begitu sambilan di warung saya saja, mas! Masak apple pie. Nanti pai mas laris wis, mas juga laris, laris manis... Sambilan plus-plus, hihi...”
“Walah, mbok! Saya jual kue, bukan jual diri.”
“Hihi, iya, iya. Eman-eman lho mas, ganteng-ganteng kok dodolan roti. Iki, es-te-em-je nasgitel, komplit.”
“Matur nuwun, mbok.”
“Lha, mas Raka nggak nyari Arina? Rina lagi nggenjot, po?
“Halah, nanti saja, mbok. Kan saya sudah bilang, saya capek. Nanti jam sepuluh saja, kalau sudah dingin menusuk. Nah, kalau begitu kan hangatnya mantap, genjotnya pas. Hehe...”
“Walah, den baguse Raka, iki jan!”
“Hahaha, ora mbok, ora ngono... saya sama Arina sudah akrab, kok. Jadi bukan Arina butuh uang saya atau saya butuh genjotannya Arina.”
“Lha mbok kawin saja, mas. Katanya sudah akrab. Kan enak, sama Arina. Cantik, seksi, ramah, baik lagi. Nggak kaya lonthe lainnya. Bejat.”
“Ah, nggak mbok. Berteman saja cukup.”
“Lha ngopo, mas?”
“Arina nggak butuh suami, saya nggak butuh istri.”
“Nggak butuh, tapi saben malam minggu genjot-genjotan. Itu namanya butuh, mas Raka.”
“Ah, nggak juga.”
“Lha njuk piye? Kok ora cetha. Yen tresna, ya mbok dilakoni. Apa isin, duwe bojo lonthe?”
“Mbok, bukan begitu.”
“Lha, njuk?”
“Arina nggak butuh suami. Dia butuh teman ngobrol, mbok.
Dia kesepian.”

* * *

Malam itu Sabtu Legi, malam Minggu yang bising di Malioboro. Apa lagi kidul stasiun Tugu, wah, bukan main bisingnya. Tapi kebisingan Sarkem berbeda dari kebisingan Malioboro. Di Malioboro, kebisingan lahir dari klakson motor, deru mobil dan dawai pengamen jalanan. Di Sarkem? Kebisingan lahir dari lenguh dan desah yang berirama, lembut menggoda. Kalau pepatah Indonesia berkata, “lain ladang lain belalang,” maka pepatah Sarkem pun bersorak, “lain lubang, lain desahan.”
Jangan pikir Sarkem itu cuma gudangnya dosa. Tiap desahan itu tak hanya berlumur nafsu semata. Desahan itu punya kisahnya masing-masing. Ya, ada hidup yang diperjuangkan di balik desah basah berlumur dosa itu.
Malam itu Sabtu Legi, malam Minggu yang bising di Malioboro. Seorang pria baru saja menghabiskan segelas susu teh madu jahe favoritnya di warung janda tua beranak satu di pasar kembang. Ada seseorang yang menunggunya malam itu.
Perlahan, dia pergi. Dihampirinya malam, ditabraknya kebisingan desah. Ditelusurinya setiap gang kecil yang membawanya pada sosok yang membutuhkannya. Lenguh dan desah mengiringi langkahnya. Di sebuah bilik di ujung gang, ditemuinya seorang wanita yang sembab matanya, nanar.
Malam itu, dia hendak berbagi desah, dengannya.

* * *

“Arina, ada apa?”
“Raka, aku nggak tahan lagi. Aku nggak kuat, Raka.”
“Ada apa, toh?”
“Aku... Aku...”
“Arina, speak up. Kalau perlu, kita nggak perlu making love malam ini. Aku di sini, untuk kamu.”
“Mas, Aku HIV.”
“Apa?”
“HIV. Aids.”
“Arina...”
“Nenek masih butuh uang untuk cuci darah, Rak. Dari mana aku bisa dapat uang, kalau tidak di sini, di tempat ini? Sekarang aku penyakitan. Uang dari mana?”
“Rin, kamu...”
“Kenapa, mas? Sekarang kamu jijik sama aku? Takut, ketularan?”
“Bukan, bukan begitu. Aku ingin bantu kamu, tapi aku nggak bisa. I don't have enough money for us.
“Sudah, nggak apa-apa, Raka.”
“Tapi, kamu...”
...uwis, ora papa. Pancen iki salibku.
“Terus aku bisa apa?”
“Satu saja cukup, kok.”
“Apa?”
“Temani aku ke Gereja, setiap pagi.”
“He? Mau tobat, kamu?”
“Hmm... Kangen aja sama Tuhan. Biar besok kalau aku mati, aku dijemput sendiri sama Yesus.”
“Arina...”
“Oh, ya. Ada satu lagi.”
“Apa lagi?”
“Jangan bosan ketemu aku.
Jangan bosan ngobrol sama aku.
Ajak aku ngobrol, malam ini.”

* * *

Malam itu malam minggu, malam yang sepi di Pasar Kembang. Bulan Ramadhan menyita segala alunan desah yang mengalun di sana. Sepi menyekat tempat itu dari keramaian, pekat.
Yohanes Raka Adi Putra terdiam di samping perempuan itu. Fransiska Arina Wulandari terbaring tanpa daya di dalam biliknya, pasrah. Nanar mata mereka saling memandang, berbicara dalam heningnya malam.
Sore itu melting float ramai akan orang yang ingin makan apple pie Raka untuk berbuka puasa, tapi Raka tidak ada di sana. Masa bodoh, pikirnya. Ada yang membutuhkannya saat itu, dia tahu itu.
Malam itu, Arina terhenyak dalam batinnya. Neneknya meninggal satu bulan yang lalu, dan sekarang, dia sekarat. Ah, biarlah. Biar aku menyusul nenek, batinnya.
Keesokan paginya, Arina menyusul sang nenek.
Dia bahagia, sebab malam itu seorang sahabat rela meninggalkan cafenya, hanya untuk ngobrol dengan seorang pelacur.





Kedaginganku,
bukanlah alasan bagiku untuk menyerah
dalam basahnya lumuran dosaku.

21st August 2012
Paulus Eko Harsanto

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...