Thursday, April 9, 2020

Cerpen - Curhat


Curhat
Oleh : Paulus Eko Harsanto

Banyak orang bilang, liburan itu momen yang ngangeni, Wisky di tengah rutinitas hidup yang memegalkan daging dan batin. Tapi bagiku, semua itu omong kosong. Liburan tak ada bedanya dengan arena penjagalan hati, tempat di mana intuisiku dikoyak dan dibacok habis, bengis.

Semuanya gara-gara kamu. Kamu, Hellena Sofrania Dinar, yang tiba-tiba nongol di tengah jalan hidup yang sedang mantap-mantapnya kupijaki. Kamu, yang membuat tanganku alergi untuk tidak menggenggam dan memijati tombol-tombol batangan seluler yang bahkan membuatku heran sendiri. Kamu, yang mengenakan sweater tipis berwarna krem, berpotongan rambut sebahu dengan jeans biru, duduk bersama lelaki yang tak kutahu di gereja pagi itu.
Kau agaknya kaget dengan kehadiranku. Senyum segera membingkai wajahmu, sementara aku hanya bisa menatap lekat punggungmu dari belakang bangku.
“Hai.”
“Hai.”
Kau sapa aku seusai misa di parkiran, sementara aku hanya bisa membalasnya dengan seulas senyum kaku. Kau pulang bersama dia yang tak kutahu, meninggalkan seulas senyum simpul yang lengket di benakku. Aku termenung dalam lamunan, sampai Romo menggandengku dengan penuh semangat untuk sekedar mengisi perut dan basa-basi di pastoran. Maklum, jarang-jarang seminaris berkunjung ke pastoran, kecuali saat libur.
“Penjagalan” serupa kualami kemudian di hari-hari liburanku; saat misa harian, misa malam natal, pun saat misa natal anak. Aku dan kamu, bercakap-cakap hanya dengan mata kita yang terkadang saling terpaut di gereja. Malam natal itu aku hanya bisa duduk menatapmu yang duduk di bangku koor, dengan harapan yang menggantung akan sapaan dan ucapan selamat natal darimu di penghujung misa malam itu. Semua itu sayangnya hanya menjadi sebongkah harapan kosong. Kau berkumpul bersama kawan-kawanmu, tenggelam dalam kehangatan natal yang membuatku iri dan cemburu. Akhirnya kulekatkan pantatku di pastoran, duduk bersama romo-romo maupun frater sembari berbasa-basi saja, menghabiskan malam natal yang sepi akan harapan akan dirimu yang sempat hijrah di benakku.
Esoknya pun begitu. Kujumpai lagi dirimu di misa natal anak bersama lelaki itu, mendampingi bocah-bocah PIA di Gereja. Akhirnya aku dapat menemuimu di penghujung misa,
bersama lelaki itu.
Kulontarkan seulas senyum dan ucapan selamat natal padamu, dan aku pun pulang dengan rasa cemburu yang merangkul.
Kenapa harus ada hari libur? Kenapa aku harus kembali ke Jogja, menghabiskan waktu dalam kekalutanku akan dirimu dan juga jalan hidupku? Sungguh, selibat yang kucoba gandeng saat ini benar-benar tidak menaruh kompromi akan kehadiranmu. Aku jadi limbung; kumohon pada-Nya sebuah peneguhan, namun Dia justru menghadapkanku padamu. “Apa-apaan ini,” pikirku. Aku pun seolah kembali dihadapkan pada pilihan itu: awam, atau imam?
Aku merasa seolah telah berselingkuh dari panggilanku, denganmu.
***
Tahukah kamu?
Di sini, aku masih menaruh rasa padamu yang jauh di Seminari. Maka dari itu kehadiranmu saat liburan sungguh menghiburku, meski sesungguhnya aku telah berusaha untuk mengikhlaskanmu dengan pilihan dan jalan hidupmu itu.
Pertemuan kita di setiap ekaristi selalu menggugah semangatku. Pagi itu aku ingin ngobrol dan sekedar berbasa-basi denganmu, namun kamu sedang berbincang-bincang dengan romo di pastoran. Malam itu, seusai misa natal, aku ingin menemuimu untuk sekedar menyapa dan menyampaikan ucapan selamat natal padamu tepat sesudah aku berbincang bersama teman-temanku, namun lagi-lagi kamu berkumpul dengan romo-romo dan juga frater di pastoran.
Akhirnya aku menjumpaimu pagi itu seusai misa natal anak. Kau sapa aku, kau ucapkan selamat natal padaku dan kau pun segera pergi dari hadapanku dan Joko, dengan semburat rasa cemburu yang terbingkai di wajahmu.
I wish you’re not jealous to me. Bukankah dulu kamu sendiri yang berkata, ”Aku sudah bisa mengatasi perasaanku padamu”? Bahwa semua itu memanglah pil pahit yang harus kau telan, sebagai konsekuensi dari jalan hidupmu itu? Lantas mengapa masih kau tunjukkan padaku kebiruanmu itu, ke’jealous’anmu, padaku?
Luka itu menganga kembali apabila aku mengenangmu dalam lamunanku, namun aku selalu berusaha untuk menutupnya dengan keikhlasanku atas pilihan hidupmu. Aku tidak mau, kamu melihat luka itu menganga dari wajah dan sikapku padamu. Aku tidak mau kamu tahu, aku sakit.
Oleh karena itulah aku selalu tersenyum padamu. Kucari orang lain yang “sepadan” denganmu, meski kutahu, tak ada orang lain yang sanggup memadani seorang Andreas Rahardjo. Kubendung perasaanku yang selalu menggebu-gebu untuk menghubungimu, agar aku tidak melulu mengaduk-aduk perasaanmu dengan sikapku. Semua itu demi dirimu dan “mempelai”mu itu.
Namun tampaknya kamu belum bisa melepasku. Kau serbu malamku dengan sms’mu, kau ungkapkan semua perasaan dan juga kecemburuanmu padaku, sampai akhirnya aku ajak aku untuk mengawali warsa tahun 2010 ini dengan mentraktirku di Pizza Hut sore itu. Kau bahkan memberiku kado ulang tahun yang terburu-buru, mengingat ulang tahunku yang masihlah terlampau jauh, sebelas Maret.
“Aku tahu ini konyol. Tapi aku khawatir, kalau aku tidak bisa mengirimimu kado ini dari Seminari sewaktu kamu ulang tahun. Takut kirimannya nyasar’lah, gak nyampe’lah. Yah, anggap saja ini kado ultah kesusu, kado natal, atau bahkan hadiah tahun baru.”
“Andre…”
“Yah, aku memang sakit. Tapi mau bagaimana lagi, toh aku sudah terlanjur sayang. Kadung tresna. Ya memang sakit, namanya juga jalan hidup.”
Kau aduk perasaanku hingga sejauh itu. Aku hanya bisa diam, menatapmu melahap pizza tuna dengan tatapan kosongmu yang mengudara entah ke mana. Kau tumpahkan semua perasaanmu padaku sore itu, membuatku semakin tersiksa dengan, yah, apalah itu. Wanita mana yang tidak merasa tesiksa, mengetahui bahwa dirinya disayangi oleh orang yang disayanginya, namun juga tak bisa dirangkulnya?
“Biar saja aku sakit. Yang penting kamu tidak sakit seperti aku, toh sudah ada Joko yang menemanimu. Kamu tidak sakit’kan, Din?”
“Tidak. Aku tidak apa-apa.”
Kulontarkan kata-kata itu dalam topeng senyumku padamu. Aku tidak mau, kamu melihat luka itu menganga dari wajah dan sikapku padamu. Aku tidak mau kamu tahu, aku sakit.
“Yah, syukurlah kalau begitu…”
Sore itu kita tertawa bersama, menghabiskan waktu sembari menertawakan lakon sakit hati yang tengah kita hayati selama ini.
Andre, aku selalu mendoakanmu, mendukung pilihan dan jalan hidupmu, apapun itu. Hanya saja tolong, jangan tinggalkan panggilanmu hanya karena diriku. Jangan.
Aku hanya tidak mau kamu tahu, aku sakit.
***
Kamu bohong.
Sore itu, dari matamu kulihat perih yang berlawanan jauh dari buah bibirmu yang berujar,
“Tidak. Aku tidak apa-apa.”
Maaf, maafkan aku. Kamu pasti merasa sakit dengan semua sikapku selama ini. Yah, begitulah aku, Andre yang dengan mudahnya buta akan perasaan dan intuisi. Maafkan aku, yang telah menjadikanmu tumbal kebutaanku.
Aku pun kembali dibayang-bayangi oleh pertanyaan itu: awam, atau imam? Ah, limbung rasanya. Bisakah aku menjadi seorang imam, apalagi berselibat, dengan intuisi sesensitif ini? Bisakah aku melakoni hidup awam, apalagi dengan keutuhan keluargaku yang sedemikian rupa, mengingat keberadaan Mas Awan yang adalah kakakku secara lahiriah namun juga adik secara batiniah dan kedewasaan diri, dalam hidupku? Antonius Rahardjo Irawan Adi Suryo, seorang bocah bermental sepuluh tahun yang terperangkap dalam tubuh seorang lelaki berusia kepala tiga, yang hidupnya selalu diwarnai dengan judi, lonthe, sekularisme dan hedonisme? Sungguh, kau akan tertipu dari perawakannya yang besar dan preman dari luarnya, karena sebenarnya dia hanyalah seorang pengecut yang akan lari dengan mudahnya dari setiap tanggung jawab yang ada padanya, pembual ulung sekaligus pemboros arta yang profesional. Mungkin aku masih bisa menerimanya meskipun dengan keluhan yang sudah sewajarnya kulontarkan secara manusiawi, namun sanggupkah istriku menerima dirinya nantinya, apalagi kamu, Dinar? Tak terbayang olehku, hidup dalam bayang-bayang kakakku itu bersama keluargaku sebagai seorang awam. Membayangkannya mampir ke rumah saja sudah membuatku mual, meski sesungguhnya aku menyayanginya.
Namun aku lagi-lagi dihadapkan pada perasaanku padamu. Di sinilah aku memutuskan untuk tidak mengambil keputusan apapun. Aku rindu saat-saat itu, saat di mana aku terjun dalam keheningan diri yang menenangkanku. Maka pergilah aku siang itu, ke tempat di mana aku dapat memperoleh apa yang kuinginkan.
***
Mendung tipis menggantung di langit siang itu. Andreas Rahardjo pergi, memboyong shogun 125 cc’nya ke sebuah rumah singgah MSC di dekat rumahnya, tempat yang dulunya milik keluarganya dan dijual oleh ayahnya pada para misionaris MSC demi melunasi hutang-hutang yang membumbung.
Dia ingat, dulu dia pernah mampir ke rumah itu untuk sekedar bernostalgia. Rumah itu sudah memiliki sebuah kapel di ruang depannya, sebuah tempat yang kemudian menjadi tempat favorit Andre untuk sekedar menyelami keheningan dan menyapa sang Ilahi. Di sana dia menemukan kebeningan yang blaka dalam dirinya sendiri, dan dia pun ketagihan menenggak kebeningan itu. Dia ingat, untuk pertama kalinya dia menenggak kebeningan itu satu tahun yang lalu, di kala dia dirundung kepenatan di sela liburannya. Di senang akan sensasi tenggakannya, dan kini, dia kecanduan.
“Selamat siang, Bruder.”
“Eh, Andre! Selamat natal dan tahun baru, ya! Ayo, masuk.”
Bruder paruh baya itu memboyong Andre ke ruang makan. Namanya Bruder Cahyo, kenalan lama keluarga Basoeki sejak terjualnya rumah besar itu pada para misionaris MSC. Di sana Andre makan bersama para penghuni rumah itu, dengan pastor, frater dan bruder. Makanan manado menyapanya, khas MSC.
Tak banyak dia santap makanan-makanan itu. Mengisi perut bukanlah tujuannya datang ke rumah itu. Dia ingin mengenyangkan batinnya.
“Der, nanti bisa ngomong sebentar?”
“He? Bisa, bisa. Di ruang depan, ya.”
“Aku ke kapel dulu ya, Der. Ngademake ati.
Penantiannya terpenuhi. Andre melangkahkan kakinya ke kapel berukuran enam kali  tujuh meter, sebuah ruang teduh berkarpet biru yang menenangkan. Sensasi itu menggelenyar dalam dirinya; rasa rindu, damai dan keteduhan yang membuat batinnya sakau akan keheningan. Siang itu, Andre merasa damai.
Bersilalah dia di hadapan altar. Dengan tenang dia memejamkan mata, tenggelam dalam keheningan, menemui-Nya.
***
Jalan setapak itu sepi. Angin mengalun santai, menyapa rerumputan yang menjawab sapaannya dengan lambaiannya yang mengalun lembut mengikuti alunan si Angin.
Andreas Rahardjo duduk di bawah sebatang pohon di tepi jalan itu. Di hadapannya terhampar luas rerumputan yang masih asyik mengalun bersama si Angin. Celana jeans membalut kakinya, berpasangan dengan kaos oblong hitam yang melekat di tubuhnya. Sementara itu seorang pria duduk di sampingnya, seorang pria dengan setelan kuno seorang gembala yang sangat ketinggalan zaman.
Tapi Andre merasa tenang berada di samping pria itu, sekuno apapun dia. Baginya, eksistensi pria itu jauh lebih penting daripada sekedar sebuah penampilan yang nonsense di matanya. Dia rindu akan pria itu, namun kerinduannya dinodai oleh segumpal uneg-uneg yang mengganjal di benaknya. Ada yang harus dia tanyakan, pada-Nya.
“Apa maksud-Mu?”
“He?”
“Kumohon peneguhan, tapi Dinar’lah yang kau hadapkan padaku. Apa maksud-Mu? Sakit, tahu.”
Pria itu diam. Sejenak mereka saling memandang, lalu tertunduk dalam benaknya masing-masing. Angin masih mengalun, sepi.
“Itu belum seberapa.”
“He?”
“Daripada sakitku, itu hanya secuil.”
Pria itu menunjukkan luka di kedua telapak tangan dan kaki-Nya. Andre mengernyit.
“Iya, aku tahu. Tapi apa mau-Mu?”
“Jalani saja dulu. Aku dulu juga begitu. Manusiawi.”
Andre merasa pertanyaannya belum dijawab. Dipandangnya jalan setapak yang sebelumnya dia tapaki. Dia ingat, dulu dia pernah menghadapi sebuah persimpangan sebelum menapaki jalan itu bersama pria itu. Pria itu selalu menemaninya, menjadi guide dalam perjalanannya. Dia pun memilih jalan yang kini dia tapaki, sesuai dengan arahan guide’nya  itu.
Setelah itu, rasa sakit pun menjadi kawan baru dalam perjalanannya. Jalanan itu berlimpah akan batu dan kerikil yang tidak pernah absen memijiti kedua telapak kakinya. Dia bahkan pernah menginjak sebatang paku yang dengan penuh nafsu menyodomi telapak kakinya yang tak beralas. Dia kesakitan, dan pria itu pun menolongnya.
Setiap kali dia merasa lelah dan kesakitan, dia beristirahat bersama pria itu di bawah pohon itu, selalu. Tidak di pohon lain, hanya di bawah pohon itu. Seolah pohon itu ikut berjalan bersama mereka ke mana pun mereka pergi. Seolah pohon itu tahu, mereka membutuhkan keteduhannya.
Andre masih menunggu.
“Aku sengaja melakukannya. Sengaja, supaya kamu merasakan rasa sakit itu menyesah batinmu.”
“Kenapa?”
“Aku mau, kamu memilih sendiri jalanmu. Aku memang mengarahkanmu di jalan itu, tapi Aku tidak suka dengan sikapmu yang hanya menurut saja seperti babu. Inggih, nanging ora kepanggih. Aku mau kamu benar-benar memilih sendiri jalanmu, dan tidak inggih-inggih’an saja seperti itu.”
Andre terhenyak. Keblaka’an pria itu membongkar semua tanda tanya dalam benaknya. Dia pun merasa lepas dan bebas dari rasa sakit yang merangkulnya. Semuanya mengalir begitu saja, menggelegak dalam dirinya. Kegundahannya sirna.
“Berat, ya.”
“Memang.”
Andre masih duduk bersama pria itu di bawah guyuran sinar mentari sembari dipayungi sang Pohon yang dengan setia meneduhi mereka, di manapun mereka berada.
Andre merasa bebas, merdeka.
***
Andre membuka matanya.
Sinar matanya menyorotkan sosok yang jauh berbeda daripada sebelumnya, sorot mata orang yang bebas dan merdeka.
Tuhan mendengarkan doa orang yang ingin lari dari kebencian, tapi Dia menulikan diri dari orang yang hendak lari dari cinta. “Benar juga,” pikirnya. Andre pun melangkah ke ruang depan, di sana Bruder Cahyo sudah menunggunya.
“Ada yang harus kucurhatkan,” batinnya dalam hati.

Dalam pergulatan keselibatanku

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...