Curhat
Oleh
: Paulus Eko Harsanto
Banyak orang bilang, liburan itu
momen yang ngangeni, Wisky di tengah rutinitas hidup yang memegalkan
daging dan batin. Tapi bagiku, semua itu omong kosong. Liburan tak ada bedanya
dengan arena penjagalan hati, tempat di mana intuisiku dikoyak dan dibacok
habis, bengis.
Semuanya gara-gara kamu. Kamu, Hellena Sofrania Dinar, yang
tiba-tiba nongol di tengah jalan hidup yang sedang mantap-mantapnya
kupijaki. Kamu, yang membuat tanganku alergi untuk tidak menggenggam dan
memijati tombol-tombol batangan seluler yang bahkan membuatku heran sendiri.
Kamu, yang mengenakan sweater tipis berwarna krem, berpotongan rambut
sebahu dengan jeans biru, duduk bersama lelaki yang tak kutahu di gereja
pagi itu.
Kau agaknya kaget dengan kehadiranku. Senyum segera
membingkai wajahmu, sementara aku hanya bisa menatap lekat punggungmu dari
belakang bangku.
“Hai.”
“Hai.”
Kau sapa aku seusai misa di parkiran, sementara aku hanya
bisa membalasnya dengan seulas senyum kaku. Kau pulang bersama dia yang tak
kutahu, meninggalkan seulas senyum simpul yang lengket di benakku. Aku
termenung dalam lamunan, sampai Romo menggandengku dengan penuh semangat untuk
sekedar mengisi perut dan basa-basi di pastoran. Maklum, jarang-jarang
seminaris berkunjung ke pastoran, kecuali saat libur.
“Penjagalan” serupa kualami kemudian di hari-hari liburanku;
saat misa harian, misa malam natal, pun saat misa natal anak. Aku dan kamu,
bercakap-cakap hanya dengan mata kita yang terkadang saling terpaut di gereja. Malam
natal itu aku hanya bisa duduk menatapmu yang duduk di bangku koor, dengan
harapan yang menggantung akan sapaan dan ucapan selamat natal darimu di
penghujung misa malam itu. Semua itu sayangnya hanya menjadi sebongkah harapan
kosong. Kau berkumpul bersama kawan-kawanmu, tenggelam dalam kehangatan natal
yang membuatku iri dan cemburu. Akhirnya kulekatkan pantatku di pastoran, duduk
bersama romo-romo maupun frater sembari berbasa-basi saja, menghabiskan malam
natal yang sepi akan harapan akan dirimu yang sempat hijrah di benakku.
Esoknya pun begitu. Kujumpai lagi dirimu di misa natal anak
bersama lelaki itu, mendampingi bocah-bocah PIA di Gereja. Akhirnya aku dapat
menemuimu di penghujung misa,
bersama lelaki itu.
Kulontarkan seulas senyum dan ucapan selamat natal padamu,
dan aku pun pulang dengan rasa cemburu yang merangkul.
Kenapa harus ada hari libur? Kenapa aku harus kembali ke
Jogja, menghabiskan waktu dalam kekalutanku akan dirimu dan juga jalan hidupku?
Sungguh, selibat yang kucoba gandeng saat ini benar-benar tidak menaruh
kompromi akan kehadiranmu. Aku jadi limbung; kumohon pada-Nya sebuah peneguhan,
namun Dia justru menghadapkanku padamu. “Apa-apaan ini,” pikirku. Aku pun
seolah kembali dihadapkan pada pilihan itu: awam, atau imam?
Aku merasa seolah telah berselingkuh dari panggilanku,
denganmu.
***
Tahukah kamu?
Di sini, aku masih menaruh rasa padamu yang jauh di
Seminari. Maka dari itu kehadiranmu saat liburan sungguh menghiburku, meski
sesungguhnya aku telah berusaha untuk mengikhlaskanmu dengan pilihan dan jalan
hidupmu itu.
Pertemuan kita di setiap ekaristi selalu menggugah
semangatku. Pagi itu aku ingin ngobrol dan sekedar berbasa-basi denganmu, namun
kamu sedang berbincang-bincang dengan romo di pastoran. Malam itu, seusai misa
natal, aku ingin menemuimu untuk sekedar menyapa dan menyampaikan ucapan
selamat natal padamu tepat sesudah aku berbincang bersama teman-temanku, namun
lagi-lagi kamu berkumpul dengan romo-romo dan juga frater di pastoran.
Akhirnya aku menjumpaimu pagi itu seusai misa natal anak.
Kau sapa aku, kau ucapkan selamat natal padaku dan kau pun segera pergi dari
hadapanku dan Joko, dengan semburat rasa cemburu yang terbingkai di wajahmu.
I wish you’re not jealous to me. Bukankah dulu kamu sendiri yang
berkata, ”Aku sudah bisa mengatasi perasaanku padamu”? Bahwa semua itu
memanglah pil pahit yang harus kau telan, sebagai konsekuensi dari jalan
hidupmu itu? Lantas mengapa masih kau tunjukkan padaku kebiruanmu itu, ke’jealous’anmu,
padaku?
Luka itu menganga kembali apabila aku mengenangmu dalam
lamunanku, namun aku selalu berusaha untuk menutupnya dengan keikhlasanku atas
pilihan hidupmu. Aku tidak mau, kamu melihat luka itu menganga dari wajah dan
sikapku padamu. Aku tidak mau kamu tahu, aku sakit.
Oleh karena itulah aku selalu tersenyum padamu. Kucari orang
lain yang “sepadan” denganmu, meski kutahu, tak ada orang lain yang sanggup
memadani seorang Andreas Rahardjo. Kubendung perasaanku yang selalu
menggebu-gebu untuk menghubungimu, agar aku tidak melulu mengaduk-aduk
perasaanmu dengan sikapku. Semua itu demi dirimu dan “mempelai”mu itu.
Namun tampaknya kamu belum bisa melepasku. Kau serbu malamku
dengan sms’mu, kau ungkapkan semua perasaan dan juga kecemburuanmu padaku,
sampai akhirnya aku ajak aku untuk mengawali warsa tahun 2010 ini dengan
mentraktirku di Pizza Hut sore itu. Kau bahkan memberiku kado ulang
tahun yang terburu-buru, mengingat ulang tahunku yang masihlah terlampau jauh,
sebelas Maret.
“Aku tahu ini konyol. Tapi aku khawatir, kalau aku tidak
bisa mengirimimu kado ini dari Seminari sewaktu kamu ulang tahun. Takut
kirimannya nyasar’lah, gak nyampe’lah. Yah, anggap saja ini kado ultah kesusu,
kado natal, atau bahkan hadiah tahun baru.”
“Andre…”
“Yah, aku memang sakit. Tapi mau bagaimana lagi, toh aku
sudah terlanjur sayang. Kadung tresna. Ya memang sakit, namanya juga
jalan hidup.”
Kau aduk perasaanku hingga sejauh itu. Aku hanya bisa diam,
menatapmu melahap pizza tuna dengan tatapan kosongmu yang mengudara entah ke
mana. Kau tumpahkan semua perasaanmu padaku sore itu, membuatku semakin
tersiksa dengan, yah, apalah itu. Wanita mana yang tidak merasa tesiksa,
mengetahui bahwa dirinya disayangi oleh orang yang disayanginya, namun juga tak
bisa dirangkulnya?
“Biar saja aku sakit. Yang penting kamu tidak sakit seperti
aku, toh sudah ada Joko yang menemanimu. Kamu tidak sakit’kan, Din?”
“Tidak. Aku tidak apa-apa.”
Kulontarkan kata-kata itu dalam topeng senyumku padamu. Aku
tidak mau, kamu melihat luka itu menganga dari wajah dan sikapku padamu. Aku
tidak mau kamu tahu, aku sakit.
“Yah, syukurlah kalau begitu…”
Sore itu kita tertawa bersama, menghabiskan waktu sembari
menertawakan lakon sakit hati yang tengah kita hayati selama ini.
Andre, aku selalu mendoakanmu, mendukung pilihan dan jalan
hidupmu, apapun itu. Hanya saja tolong, jangan tinggalkan panggilanmu hanya
karena diriku. Jangan.
Aku hanya tidak mau kamu tahu, aku sakit.
***
Kamu bohong.
Sore itu, dari matamu kulihat perih yang berlawanan jauh
dari buah bibirmu yang berujar,
“Tidak. Aku tidak apa-apa.”
Maaf, maafkan aku. Kamu pasti merasa sakit dengan semua
sikapku selama ini. Yah, begitulah aku, Andre yang dengan mudahnya buta akan
perasaan dan intuisi. Maafkan aku, yang telah menjadikanmu tumbal kebutaanku.
Aku pun kembali dibayang-bayangi oleh pertanyaan itu: awam,
atau imam? Ah, limbung rasanya. Bisakah aku menjadi seorang imam, apalagi
berselibat, dengan intuisi sesensitif ini? Bisakah aku melakoni hidup awam,
apalagi dengan keutuhan keluargaku yang sedemikian rupa, mengingat keberadaan
Mas Awan yang adalah kakakku secara lahiriah namun juga adik secara batiniah
dan kedewasaan diri, dalam hidupku? Antonius Rahardjo Irawan Adi Suryo, seorang
bocah bermental sepuluh tahun yang terperangkap dalam tubuh seorang lelaki
berusia kepala tiga, yang hidupnya selalu diwarnai dengan judi, lonthe, sekularisme
dan hedonisme? Sungguh, kau akan tertipu dari perawakannya yang besar dan
preman dari luarnya, karena sebenarnya dia hanyalah seorang pengecut yang akan
lari dengan mudahnya dari setiap tanggung jawab yang ada padanya, pembual ulung
sekaligus pemboros arta yang profesional. Mungkin aku masih bisa
menerimanya meskipun dengan keluhan yang sudah sewajarnya kulontarkan secara
manusiawi, namun sanggupkah istriku menerima dirinya nantinya, apalagi kamu,
Dinar? Tak terbayang olehku, hidup dalam bayang-bayang kakakku itu bersama
keluargaku sebagai seorang awam. Membayangkannya mampir ke rumah saja sudah
membuatku mual, meski sesungguhnya aku menyayanginya.
Namun aku lagi-lagi dihadapkan pada perasaanku padamu. Di
sinilah aku memutuskan untuk tidak mengambil keputusan apapun. Aku rindu
saat-saat itu, saat di mana aku terjun dalam keheningan diri yang
menenangkanku. Maka pergilah aku siang itu, ke tempat di mana aku dapat
memperoleh apa yang kuinginkan.
***
Mendung tipis menggantung di langit siang itu. Andreas
Rahardjo pergi, memboyong shogun 125 cc’nya ke sebuah rumah singgah MSC di
dekat rumahnya, tempat yang dulunya milik keluarganya dan dijual oleh ayahnya
pada para misionaris MSC demi melunasi hutang-hutang yang membumbung.
Dia ingat, dulu dia pernah mampir ke rumah itu untuk sekedar
bernostalgia. Rumah itu sudah memiliki sebuah kapel di ruang depannya, sebuah
tempat yang kemudian menjadi tempat favorit Andre untuk sekedar menyelami
keheningan dan menyapa sang Ilahi. Di sana dia menemukan kebeningan yang blaka
dalam dirinya sendiri, dan dia pun ketagihan menenggak kebeningan itu. Dia
ingat, untuk pertama kalinya dia menenggak kebeningan itu satu tahun yang lalu,
di kala dia dirundung kepenatan di sela liburannya. Di senang akan sensasi tenggakannya,
dan kini, dia kecanduan.
“Selamat siang, Bruder.”
“Eh, Andre! Selamat natal dan tahun baru, ya! Ayo, masuk.”
Bruder paruh baya itu memboyong Andre ke ruang makan.
Namanya Bruder Cahyo, kenalan lama keluarga Basoeki sejak terjualnya rumah
besar itu pada para misionaris MSC. Di sana Andre makan bersama para penghuni
rumah itu, dengan pastor, frater dan bruder. Makanan manado menyapanya, khas
MSC.
Tak banyak dia santap makanan-makanan itu. Mengisi perut
bukanlah tujuannya datang ke rumah itu. Dia ingin mengenyangkan batinnya.
“Der, nanti bisa ngomong sebentar?”
“He? Bisa, bisa. Di ruang depan, ya.”
“Aku ke kapel dulu ya, Der. Ngademake ati.”
Penantiannya terpenuhi. Andre melangkahkan kakinya ke kapel
berukuran enam kali tujuh meter, sebuah
ruang teduh berkarpet biru yang menenangkan. Sensasi itu menggelenyar dalam
dirinya; rasa rindu, damai dan keteduhan yang membuat batinnya sakau akan
keheningan. Siang itu, Andre merasa damai.
Bersilalah dia di hadapan altar. Dengan tenang dia
memejamkan mata, tenggelam dalam keheningan, menemui-Nya.
***
Jalan setapak itu sepi. Angin
mengalun santai, menyapa rerumputan yang menjawab sapaannya dengan lambaiannya
yang mengalun lembut mengikuti alunan si Angin.
Andreas Rahardjo duduk di bawah
sebatang pohon di tepi jalan itu. Di hadapannya terhampar luas rerumputan yang
masih asyik mengalun bersama si Angin. Celana jeans membalut kakinya,
berpasangan dengan kaos oblong hitam yang melekat di tubuhnya. Sementara itu
seorang pria duduk di sampingnya, seorang pria dengan setelan kuno seorang
gembala yang sangat ketinggalan zaman.
Tapi Andre merasa tenang berada di
samping pria itu, sekuno apapun dia. Baginya, eksistensi pria itu jauh lebih
penting daripada sekedar sebuah penampilan yang nonsense di matanya. Dia rindu
akan pria itu, namun kerinduannya dinodai oleh segumpal uneg-uneg yang
mengganjal di benaknya. Ada yang harus dia tanyakan, pada-Nya.
“Apa maksud-Mu?”
“He?”
“Kumohon peneguhan, tapi Dinar’lah
yang kau hadapkan padaku. Apa maksud-Mu? Sakit, tahu.”
Pria itu diam. Sejenak mereka saling
memandang, lalu tertunduk dalam benaknya masing-masing. Angin masih mengalun,
sepi.
“Itu belum seberapa.”
“He?”
“Daripada sakitku, itu hanya
secuil.”
Pria itu menunjukkan luka di kedua
telapak tangan dan kaki-Nya. Andre mengernyit.
“Iya, aku tahu. Tapi apa mau-Mu?”
“Jalani saja dulu. Aku dulu juga
begitu. Manusiawi.”
Andre merasa pertanyaannya belum
dijawab. Dipandangnya jalan setapak yang sebelumnya dia tapaki. Dia ingat, dulu
dia pernah menghadapi sebuah persimpangan sebelum menapaki jalan itu bersama
pria itu. Pria itu selalu menemaninya, menjadi guide dalam perjalanannya. Dia
pun memilih jalan yang kini dia tapaki, sesuai dengan arahan guide’nya itu.
Setelah itu, rasa sakit pun menjadi
kawan baru dalam perjalanannya. Jalanan itu berlimpah akan batu dan kerikil
yang tidak pernah absen memijiti kedua telapak kakinya. Dia bahkan pernah
menginjak sebatang paku yang dengan penuh nafsu menyodomi telapak kakinya yang
tak beralas. Dia kesakitan, dan pria itu pun menolongnya.
Setiap kali dia merasa lelah dan
kesakitan, dia beristirahat bersama pria itu di bawah pohon itu, selalu. Tidak
di pohon lain, hanya di bawah pohon itu. Seolah pohon itu ikut berjalan bersama
mereka ke mana pun mereka pergi. Seolah pohon itu tahu, mereka membutuhkan keteduhannya.
Andre masih menunggu.
“Aku sengaja melakukannya. Sengaja,
supaya kamu merasakan rasa sakit itu menyesah batinmu.”
“Kenapa?”
“Aku mau, kamu memilih sendiri
jalanmu. Aku memang mengarahkanmu di jalan itu, tapi Aku tidak suka dengan
sikapmu yang hanya menurut saja seperti babu. Inggih, nanging ora
kepanggih. Aku mau kamu benar-benar memilih sendiri jalanmu, dan tidak inggih-inggih’an
saja seperti itu.”
Andre terhenyak. Keblaka’an pria itu
membongkar semua tanda tanya dalam benaknya. Dia pun merasa lepas dan bebas
dari rasa sakit yang merangkulnya. Semuanya mengalir begitu saja, menggelegak
dalam dirinya. Kegundahannya sirna.
“Berat, ya.”
“Memang.”
Andre masih duduk bersama pria itu
di bawah guyuran sinar mentari sembari dipayungi sang Pohon yang dengan setia
meneduhi mereka, di manapun mereka berada.
Andre merasa bebas, merdeka.
***
Andre membuka matanya.
Sinar matanya menyorotkan sosok yang jauh berbeda daripada
sebelumnya, sorot mata orang yang bebas dan merdeka.
Tuhan mendengarkan doa orang yang
ingin lari dari kebencian, tapi Dia menulikan diri dari orang yang hendak lari
dari cinta. “Benar
juga,” pikirnya. Andre pun melangkah ke ruang depan, di sana Bruder Cahyo sudah
menunggunya.
“Ada yang harus kucurhatkan,” batinnya dalam hati.
Dalam pergulatan keselibatanku
No comments:
Post a Comment