Thursday, April 9, 2020

Cerpen - Cermin


Cermin
Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto

Mentari mulai lelah bersinar. Ia rela mengalah dan tunduk pada keanggunan lembayung senja. Sudah sehari penuh Sang Mentari berjalan dan memancarkan sinarnya, kini sudah tiba saatnya ia beristirahat, naik ke peraduannya. Keanggunan lembayung senja pun segera mengambil alih kekuasaan yang sudah ditinggalkan sang mentari. Kelembutan dan kedamaian disinarkan dengan manis oleh sang lembayung. Tak heran banyak burung-burung yang keluar untuk menikmati sinarnya.
Kenikmatan ini ditambah dengan kemesraan sepasang suami istri yang sedang berdiri di pinggir pantai.
”Mas, sudah pulang?” tanya Tini pada suaminya.
”Sudah. Sebenernya ada apa?”
Panji tidak menjawab pertanyaan istrinya. Ia merasa ada yang janggal dengan istrinya. Tak biasanya istrinya menunggu kepulangannya di tepi pantai.
”Lho... ditanya kok malah balik nanya?” balas Tini.
”Ya nggak biasanya kamu ada di sini...”
O, ya ampun... iya aku hanya pengen ketemu Mas di sini.” jawab Tini.
”Bener, nggak ada maksud lain?”.
”Hehehe.... ada sih, aku hanya pengen ngobrol aja, boleh kan?” kata Tini manja.
”Boleh, memang kamu mau ngomong apa?” tanya Panji.
Sambil menunggu jawaban, otak Panji mulai meraba-raba sebenarnya pembicaraan ini mengarah kemana. Sempat terbersit oleh Panji tujuan pembicaraan ini mungkin mengenai gambar wajah ayahnya yang ia temukan kemarin di pantai.
Mas, kalau boleh tahu, Mas punya simpanan ya?” suara Tini menjadi serius.
”Maksudmu? Kalau duit simpanan ada, tapi ada di rumah.”
Bukan itu, Mas punya istri simpanan?”
Lho, apa maksudmu? Aku kan hanya punya kamu seorang”, jawab Panji.
Tini hanya diam. Pikiran dan hatinya tidak sejalan. Pikirannya berkata bahwa suaminya berbohong. Lagi pula kan sudah terbukti dengan gambar wajah wanita lain di bawah bantalnya. Tetapi hatinya berkata lain. Hatinya merasakan suaminya tidak berbohong. Tini bingung harus mengikuti yang mana. Suaminya juga tak menunjukan gelagat kebohongan. Sudah 8 tahun Tini menikah dengan Panji dan Tini tahu seluk beluk sikap Panji, bahkan sikap Panji ketika berbohong pun diketahui oleh Tini.
Lho... malah ngelamun?” tanya Panji.
Aku bingung Mas, tadi pagi saat aku beres-beres, aku menemukan gambar wajah perempuan lain di bawah bantalmu. Sudah Mas sekarang jujur sama aku”, jawab Tini.
Otak Panji mulai tercerahkan. Ternyata benar, pembicaraan ini mengenai gambar wajah ayahnya yang ia temukan kemarin di pantai. Tetapi otaknya berpikir kembali, ia menemukan gambar wajah ayahnya, bukan gambar wajah perempuan. Ada yang tidak beres di sini.
”Ooo.... yang ada di bawah bantalku itu gambar wajah ayahku, bukan wajah    perempuan lain!”
Mas, aku lihat dengan mataku sendiri itu adalah wajah seorang perempuan!” Air mata Tini pun tidak dapat dibendung lagi.
Kamu percaya sama aku?” tanya Panji.
Aku sangat percaya sama Mas, tapi sejak kutemukan wajah perempuan itu, aku agak ragu dengan perkataanmu Mas”, jawab Tini.
Baik, sekarang mana gambar wajah itu?” Panji mengendalikan emosinya.
Tini segera mengeluarkan sebuah bungkusan yang dibungkus oleh kain dari belakang tubuhnya. Ya, itu adalah bungkusan kain yang disimpan oleh Panji di bawah bantalnya.
Coba buka bungkusan itu dan lihat gambarnya!” perintah Panji.
Tini menurut pada perintah suaminya. Setelah bungkusan itu terbuka, terkejutlah Panji dan Tini saat melihat foto yang muncul. Panji melihat gambar wajah ayahnya berdua dengan istrinya. Berbeda dengan yang dilihat Tini. Ia melihat gambar wajah suaminya bersama perempuan lain.
”Mas, nih buktinya, kamu sama perempuan lain kan?”
Eh...eh...coba kamu lihat lagi, itu kan ayahku sama kamu sendiri.” jawab Panji.
”Pasti ada yang salah di sini. Aku dan kamu melihat gambar yang berbeda.”            lanjut Panji.
”Hah.. jujur sajalah, Mas! Aku nggak marah kok, aku hanya pingin kamu jujur”
Tini, ini ada yang salah. Kamu percaya sama aku kan?”
Salah bagaimana?” tanya Tini.
Iya, masak kita melihat gambar yang sama, tapi yang kita lihat kok berbeda?”
Sebenarnya Tini juga merasakan hal yang sama. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi perasaan hatinya sudah mengendalikan seluruh tubuhnya. Tini mulai bimbang dan bertanya dalam hatinya jangan-jangan benda ini adalah benda yang sakti.
Mas, aku percaya sama kamu, tapi kamu jujur kan?”
Iya, aku jujur. Aku hanya mencintaimu”, kata Panji.
Keanehan yang Mas maksud bukan cara kamu menghindar kan?” Tini masih      meragukan jawaban suaminya.
Pak Parto yang sedari tadi mengamat-amati Panji dan Tini akhirnya memberanikan diri mendekati mereka. Ia merasa heran karena Panji dan Tini adalah pasangan yang terkenal dengan kemesraan mereka di desa ini, tetapi mengapa mereka sore ini bertengkar. Sebagai kepala desa, ia merasa ini bagian dari tanggung jawabnya untuk membantu mereka.
Ada apa ini?” sapa Pak Parto.
Ini Pak, saya menemukan benda ini di bawah bantal suami saya.” jawab Tini.
Oooo.... benda ini penyebab kalian ribut dari tadi.”
Maksud Bapak?” Panji heran.
Iya, tadi saya berjalan menuju rumah Pak Tito, saudagar desa kita yang baru             pulang, lalu melihat kalian bertengkar, saya heran saja, pasangan serasi kalian     bisa bertengkar juga ya.... hehehe....” jelas Pak Parto.
Iya, di dalamnya ada gambar perempuan lain”, emosi Tini melonjak.
Boleh saya lihat?”
Silahkan Pak”, jawab Panji.
Parto mulai membuka bungkusan yang diserahkan Tini padanya. Setelah melihat gambar yang ada, ia merasa heran. Tini berkata bahwa ada wajah perempuan lain. Ia rasa Tini salah melihat. Pak Parto hanya melihat wajahnya sendiri tergambar pada benda itu.
Loh... ini kan wajah saya. Mana perempuannya?” kata Pak Parto.
Tini dan Panji heran. Tini jelas-jelas melihat wajah perempuan lain. Begitu juga dengan suaminya. Panji jelas-jelas melihat gambar wajah ayahnya. Panji merasa ada yang benar-benar salah di sini. Emosi Tini menurun. Sebenarnya tadi ia hendak memarahi suaminya karena berusaha mengelak dari kesalahannya, tetap tertahan karena jawaban dari Pak Parto.
Ya sudah, sekarang kita bertiga menemui Pak Tito, benda apa sebenarnya ini”
Baik Pak!” jawab Panji dan Tini serempak.
Mereka bertiga pergi menuju rumah Pak Tito. Pak Tito adalah saudagar yang sukses dan paling kaya. Setiap ada warga yang membutuhkan bantuan, Pak Tito bersedia membantu sejauh yang dapat ia bantu. Semua warga desa amat menghormati Pak Tito.
Wah, Pak Parto, Panji, Tini, tumben kemari, ada yang bisa saya bantu?” sambut Pak Tito saat melihat tamunya.
Begini Pak, Panji dan Tini menemukan benda ini. Tini melihat wajah seorang            perempuan, tetapi saat saya melihatnya, saya melihat wajah saya. Ini benda apa          ya Pak?” Pak Parto langsung menjelaskan permasalahan mereka.
Saya malah melihat wajah ayah saya”, sambung Panji.
Pak Tito menerima bungkusan dari Pak Parto, ia membukanya kemudian mengamat-amati sebentar. Ya, ini adalah pecahan cerminnya yang pecah 2 hari yang lalu.
Benda ini pasti di temukan di pantai, di dekat perahu-perahu”
Bagaimana Pak Tito bisa tahu?” tanya Panji.
Iya, waktu itu saya baru pulang, saat berjalan menuju rumah, saya tersandung,         kemudian cermin saya pecah. Saat mencari pecahannya, saya kesulitan. Ya          sudah, saya hanya merelakan pecahan itu hilang”, jawab Pak Tito.
Setelah menjawab demikian, Pak Tito masuk ke kamarnya mencari cermin kesayangannya yang ia beli di kota beberapa hari yang lalu. Setelah menemukannya, Pak Tito kembali menemui tamu-tamunya kemudian mencocokan pecahan cermin itu pada cerminnya. Terbukti, pecahan itu pas dengan bagian cermin miliknya yang hilang.
Ooo... barang ini milik Pak Tito, lalu Pak, cermin itu apa?” tanya Tini.
Ooo, cermin itu adalah benda yang dapat merefleksikan wajah kita saat kita    melihatnya. Nih buktinya, coba kamu pegang dan lihat. Nah yang kamu lihat itu        adalah bayangan wajahmu sendiri.” kata Pak Tito seraya menyerahkan cermin pada Tini.
Tini melihat perempuan yang sama saat melihat gambar itu pertama kali. Sekarang ia tahu bahwa itu adalah dirinya sendiri. Ia melihat dirinya begitu cantik. Tini pun tersipu malu. Ia menatap suaminya.
Panji hanya tersenyum melihat istrinya tersipu malu. Ia juga sadar bahwa yang dilihatnya bukan wajah ayahnya yang telah meninggal, tetapi wajahnya sendiri.
Mas, maafkan aku ya....” kata Tini.
Iya, istriku sayang”, jawab Panji sambil memeluk istri tercintanya.
Pak Tito dan Pak Parto hanya tersenyum melihat tingkah sepasang suami istri yang ada di depan mereka.


Ketika melamun di depan cermin

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...