Cermin
Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto
Mentari mulai lelah bersinar. Ia rela mengalah dan tunduk pada keanggunan lembayung
senja. Sudah sehari penuh Sang Mentari berjalan dan memancarkan sinarnya, kini
sudah tiba saatnya ia beristirahat, naik ke peraduannya. Keanggunan lembayung
senja pun segera mengambil alih kekuasaan yang sudah ditinggalkan sang mentari.
Kelembutan dan kedamaian disinarkan dengan manis oleh sang lembayung. Tak heran
banyak burung-burung yang keluar untuk menikmati sinarnya.
Kenikmatan ini ditambah dengan kemesraan
sepasang suami istri yang sedang berdiri di pinggir pantai.
”Mas, sudah
pulang?” tanya Tini pada
suaminya.
”Sudah. Sebenernya ada apa?”
Panji tidak menjawab pertanyaan istrinya.
Ia merasa ada yang janggal dengan istrinya. Tak biasanya istrinya menunggu
kepulangannya di tepi pantai.
”Lho... ditanya kok malah balik nanya?” balas Tini.
”Ya nggak biasanya kamu ada di sini...”
”O, ya ampun... iya aku
hanya pengen ketemu Mas di sini.” jawab Tini.
”Bener, nggak ada maksud lain?”.
”Hehehe....
ada sih, aku hanya pengen ngobrol aja, boleh kan?” kata Tini manja.
”Boleh,
memang kamu mau ngomong apa?” tanya Panji.
Sambil menunggu jawaban, otak Panji mulai
meraba-raba sebenarnya pembicaraan ini mengarah kemana. Sempat terbersit oleh Panji tujuan pembicaraan ini
mungkin mengenai gambar wajah ayahnya yang ia temukan kemarin di pantai.
”Mas, kalau boleh tahu,
Mas punya simpanan ya?” suara Tini
menjadi serius.
”Maksudmu? Kalau
duit simpanan ada, tapi ada di rumah.”
”Bukan itu, Mas punya istri simpanan?”
”Lho, apa maksudmu? Aku
kan hanya punya kamu seorang”, jawab Panji.
Tini hanya diam. Pikiran dan hatinya
tidak sejalan. Pikirannya berkata bahwa suaminya berbohong. Lagi pula kan sudah terbukti dengan gambar wajah
wanita lain di bawah bantalnya. Tetapi hatinya berkata lain. Hatinya merasakan
suaminya tidak berbohong. Tini bingung harus mengikuti yang mana. Suaminya juga
tak menunjukan gelagat kebohongan. Sudah 8 tahun Tini menikah dengan Panji dan
Tini tahu seluk beluk sikap Panji, bahkan sikap Panji ketika berbohong pun
diketahui oleh Tini.
”Lho... malah ngelamun?” tanya Panji.
”Aku
bingung Mas, tadi pagi saat aku beres-beres, aku menemukan gambar wajah
perempuan lain di bawah bantalmu. Sudah Mas sekarang jujur sama aku”, jawab
Tini.
Otak Panji mulai tercerahkan. Ternyata
benar, pembicaraan ini mengenai gambar wajah ayahnya yang ia temukan kemarin di
pantai. Tetapi otaknya berpikir kembali, ia menemukan gambar wajah ayahnya,
bukan gambar wajah perempuan. Ada yang tidak beres di sini.
”Ooo.... yang ada di bawah bantalku itu
gambar wajah ayahku, bukan wajah perempuan
lain!”
”Mas, aku lihat
dengan mataku sendiri itu adalah wajah seorang perempuan!” Air
mata Tini pun tidak dapat dibendung lagi.
”Kamu percaya sama aku?” tanya Panji.
”Aku
sangat percaya sama Mas, tapi sejak kutemukan wajah perempuan itu, aku agak
ragu dengan perkataanmu Mas”, jawab Tini.
”Baik, sekarang mana
gambar wajah itu?” Panji
mengendalikan emosinya.
Tini segera mengeluarkan sebuah bungkusan
yang dibungkus oleh kain dari belakang tubuhnya. Ya, itu adalah bungkusan kain
yang disimpan oleh Panji di bawah bantalnya.
”Coba buka bungkusan itu
dan lihat gambarnya!” perintah Panji.
Tini menurut pada perintah suaminya.
Setelah bungkusan itu terbuka, terkejutlah Panji dan Tini saat melihat foto
yang muncul. Panji melihat
gambar wajah ayahnya berdua dengan istrinya. Berbeda dengan yang dilihat Tini.
Ia melihat gambar wajah suaminya bersama perempuan lain.
”Mas, nih buktinya, kamu sama
perempuan lain kan?”
”Eh...eh...coba kamu
lihat lagi, itu kan ayahku sama kamu sendiri.” jawab Panji.
”Pasti ada
yang salah di sini. Aku dan kamu melihat gambar yang berbeda.” lanjut
Panji.
”Hah.. jujur
sajalah, Mas! Aku nggak marah kok, aku hanya pingin kamu jujur”
”Tini, ini ada yang
salah. Kamu percaya sama aku kan?”
”Salah bagaimana?” tanya Tini.
”Iya, masak kita melihat
gambar yang sama, tapi yang kita lihat kok berbeda?”
Sebenarnya Tini juga merasakan hal yang
sama. Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi perasaan hatinya sudah
mengendalikan seluruh tubuhnya. Tini mulai bimbang dan bertanya dalam hatinya
jangan-jangan benda ini adalah benda yang sakti.
”Mas, aku percaya sama
kamu, tapi kamu jujur kan?”
”Iya, aku jujur. Aku
hanya mencintaimu”, kata Panji.
”Keanehan yang Mas
maksud bukan cara kamu menghindar kan?” Tini masih meragukan
jawaban suaminya.
Pak Parto yang sedari tadi mengamat-amati
Panji dan Tini akhirnya memberanikan diri mendekati mereka. Ia merasa heran
karena Panji dan Tini adalah pasangan yang terkenal dengan kemesraan mereka di
desa ini, tetapi mengapa mereka sore ini bertengkar. Sebagai kepala desa, ia
merasa ini bagian dari tanggung jawabnya untuk membantu mereka.
”Ada apa ini?” sapa Pak Parto.
”Ini Pak, saya menemukan
benda ini di bawah bantal suami saya.” jawab Tini.
”Oooo.... benda ini
penyebab kalian ribut dari tadi.”
”Maksud Bapak?” Panji heran.
”Iya, tadi saya berjalan
menuju rumah Pak Tito, saudagar desa kita yang baru pulang, lalu melihat kalian bertengkar, saya heran saja,
pasangan serasi kalian bisa bertengkar
juga ya.... hehehe....” jelas Pak Parto.
”Iya, di dalamnya ada
gambar perempuan lain”, emosi Tini
melonjak.
”Boleh saya lihat?”
”Silahkan Pak”, jawab Panji.
Parto mulai membuka bungkusan yang
diserahkan Tini padanya. Setelah melihat gambar yang ada, ia merasa heran. Tini
berkata bahwa ada wajah perempuan lain. Ia rasa Tini salah melihat. Pak Parto
hanya melihat wajahnya sendiri tergambar pada benda itu.
”Loh... ini kan wajah
saya. Mana perempuannya?” kata Pak Parto.
Tini dan Panji heran. Tini jelas-jelas
melihat wajah perempuan lain. Begitu juga dengan suaminya. Panji jelas-jelas
melihat gambar wajah ayahnya. Panji merasa ada yang benar-benar salah di sini.
Emosi Tini menurun. Sebenarnya tadi ia hendak memarahi suaminya karena berusaha
mengelak dari kesalahannya, tetap tertahan karena jawaban dari Pak Parto.
”Ya sudah, sekarang kita bertiga
menemui Pak Tito, benda apa sebenarnya ini”
”Baik Pak!” jawab Panji dan Tini serempak.
Mereka bertiga pergi menuju rumah Pak
Tito. Pak Tito adalah saudagar yang sukses dan paling kaya. Setiap ada warga
yang membutuhkan bantuan, Pak Tito bersedia membantu sejauh yang dapat ia
bantu. Semua warga desa amat menghormati Pak Tito.
”Wah, Pak Parto, Panji,
Tini, tumben kemari, ada yang bisa saya bantu?” sambut Pak Tito saat melihat tamunya.
”Begini Pak, Panji dan
Tini menemukan benda ini. Tini melihat wajah seorang perempuan, tetapi saat saya melihatnya, saya melihat wajah
saya. Ini benda apa ya Pak?” Pak Parto langsung menjelaskan permasalahan
mereka.
”Saya malah melihat
wajah ayah saya”, sambung Panji.
Pak Tito menerima bungkusan dari Pak
Parto, ia membukanya kemudian mengamat-amati sebentar. Ya, ini adalah pecahan
cerminnya yang pecah 2 hari yang lalu.
”Benda ini pasti di
temukan di pantai, di dekat perahu-perahu”
”Bagaimana Pak Tito bisa
tahu?” tanya Panji.
”Iya, waktu itu saya
baru pulang, saat berjalan menuju rumah, saya tersandung, kemudian cermin saya pecah. Saat mencari
pecahannya, saya kesulitan. Ya sudah,
saya hanya merelakan pecahan itu hilang”, jawab Pak Tito.
Setelah menjawab demikian, Pak Tito masuk
ke kamarnya mencari cermin kesayangannya yang ia beli di kota beberapa hari
yang lalu. Setelah menemukannya, Pak Tito kembali menemui tamu-tamunya kemudian
mencocokan pecahan cermin itu pada cerminnya. Terbukti, pecahan itu pas dengan
bagian cermin miliknya yang hilang.
”Ooo... barang ini milik
Pak Tito, lalu Pak, cermin itu apa?” tanya Tini.
”Ooo, cermin itu adalah
benda yang dapat merefleksikan wajah kita saat kita melihatnya. Nih buktinya, coba kamu pegang dan lihat. Nah yang
kamu lihat itu adalah bayangan
wajahmu sendiri.” kata Pak Tito seraya menyerahkan cermin pada Tini.
Tini melihat perempuan yang sama saat
melihat gambar itu pertama kali. Sekarang ia tahu bahwa itu adalah dirinya
sendiri. Ia melihat dirinya begitu cantik. Tini pun tersipu malu. Ia menatap
suaminya.
Panji hanya tersenyum melihat istrinya
tersipu malu. Ia juga sadar bahwa yang dilihatnya bukan wajah ayahnya yang
telah meninggal, tetapi wajahnya sendiri.
”Mas, maafkan aku
ya....” kata Tini.
”Iya, istriku sayang”, jawab Panji sambil memeluk istri
tercintanya.
Pak Tito dan Pak Parto hanya tersenyum
melihat tingkah sepasang suami istri yang ada di depan mereka.
Ketika
melamun di depan cermin
No comments:
Post a Comment