Thursday, September 12, 2019

Resensi Buku - Secercah Matahari Ketika Mendung


Secercah Matahari Ketika Mendung
Oleh : Paulus Eko Harsanto

Judul buku                  : 99 Cara untuk Makin Bahagia Setiap Hari
Pengarang                   : Terry Hampton dan Ronnie Harper
Jumlah halaman           : 225 halaman
Penerbit                       : Kanisius
Tahun terbit                 : 2004
                    
“I can” vs  “IQ” (Saya Bisa Versus Intelegensi)

        Suatu ketika Henry Ford pernah mengatakan bahwa entah kita berpikir bahwa apa yang kita pikir dapat kita lakukan atau apa yang kita pikir tidak dapat kita lakukan, keduannya adalah benar. Sikap kita lebih penting daripada tingkat kemampuan berpikir atau IQ kita. Semuannya  berujung pada mentalitas “I can” (saya bisa) versus mentalitas “IQ” (kemampuan intelegensi).
Ada begitu bayak orang yang tidak mauberusaha dalam hidup ini, yakni orang-orang berbakat yang tidak melakukan apa-apa selain duduk-duduk di rumah sambil menghabiskan waktu di depan layar televisi. Ronnie menceritakan sebuah kisah tentang seorang mantan muridnya.  
“Dulu Ronnie mempunyai seorang siswa yang intelegensinya (IQ) di atas rata-rata. Ia tahu banyak kosa kata dan paham arti dari hampir setiap kata. Ia memiliki kemampuan untuk menjadi seseorang yang diinginkannya. Akan tetapi, ia mengidap sebuah persoalan serius (selain sombong), yakni ia kurang mempunyai disiplin diri untuk bangun pada waktunya dan berangkat ke sekolah. Ia berjaga hingga larut tiap malam, menonton televisi atau bermain dengan komputernya. Ia ketinggalan banyak pelajaran yang sialnya tidak mungkin lagi terkejar, dan akhirnya ia keluar. Ia menyia-nyiakan kemampuan intelektual dan bakat-bakat yang telah dianugerahkan kepadanya. Ia mungkin bisa menyembuhkan penyakit kanker atau AIDS. Dengan kemampuannya itu, ia bisa saja menjadi William Shakespeare atau Ernest Hemingaaway yang lain.
Di sisi lain, ada juga orang-orang yang berusaha keras, yakni sekalangan orang yang memiliki IQ dan kemampuan rata-rata yang bisa menjadi dokter, ilmuwan, dan pengusaha. Salah seorang pengajar musik terbaik yang pernah  Ronnie jumpai tidak dapat memainkan piano “sebagaimana para guru musik lainnya”. Ia selalu menceritakan kisah tahun terakhirnya di perguruan tinggi dan ujian akhir pianonya. Setelah ia menempuh ujian akhir piano di depan pengujinya, sang penguji berujar, “Saya akan meluluskan kamu dengan satu syarat : kamu harus berjanji kepada saya bahwa kamu tidak akan pernah meminta bayaran untuk kursus-kursus piano yang kamu adakan.“ Karena khawatir tidak bisa lulus, maka ia menyetujui janji itu dan melanjutkan mengajar pelajaran music di beberapa sekolah umum.
Hingga saat ini ia telah mengajar lebih dari 20 tahun dan kelompok kornya sudah begitu terkenal karena kemampuan mereka membaca not dengan cepat. Hal ini menggantikan kemampuannya yang sangat memprihatinkan dalam hal memainkan piano. Ia tidak dapat memainkan bagian-bagian sebagaimana para guru musik lain, sehingga para muridnya harus mampu membaca not musik dan tetap dalam bidang tersebut. Kelompok kornya menempati nomor satu selama lebih dari 20 tahun dalam kompetisai musik di wilayah mereka. Mereka sudah tampil di pelbagai negara.
Ada yang mengatakan  bahwa talenta yang kita miliki ini adalah hutang kita kepada diri kita dan orang yang ada di sekitar kita untuk memberikan yang terbaik dari yang telah dianugerahkan kepada kita .

Mengakui keterbatasan diri dan tetap melanjutkan hidup ini

Kita tahu bahwa kita tidak semua sama. Kita dianugerahi bakat dan kemampuan yang berbeda-beda. Demikian pula, kita memiliki perbedaan dalam hal kelemahan dan keterbatasan. Seharusnya, kita tidak membuat diri kita tidak bahagia karena kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain di sekitar kita dan berharap kita dapat menjadi seperti mereka. Menemukan diri kita yang sejati dan mencari tahu apa yang seharusnya kita lakukan dalam hidup ini, tanpa terus menerus membandingkan diri dengan orang lain, merupakan tantangan yang cukup besar untuk meraih kebahagiaan.  
      Kebanyakan dari kita tidak akan pernah menjadi seorang yang sangat istimewa. Kita barangkali berkeinginan menjadi seorang  bintang model  tetapi jika kita tidak langsing atau kekar dan tidak memiliki kecantikan atau ketampanan yang lain daripada yang lain, hal itu tidak  akan terjadi. Akan tetapi, itu itu tidak berarti bahwa kita kurang penting daripada yang lain, dan tidak berarti juga bahwa kita tidak boleh menikmati gaya para bintang model di atas panggung, di layar kaca, atau di layar lebar. Hal itu berarti bahwa bila kita sungguh ingin menjadi terkenal, kita harus mencari cara lain untuk mewujudkannya.
      Kita mestinya tidak membenci diri kita dan berkutat dengan perasaan menyesal akan diri kita serta berfokus pada keterbatasan-keterbatasan kita. Sikap ini tentu saja tidak akan membantu kita menjadi seorang yang makin bahagia. Jika kita tidak suka pada beberapa kebiasaan kita dan cara kita berperilaku, maka kita mesti berperilaku untuk mengubahnya. Akan tetapi, ada beberapa hal dalam diri kita yang memang tidak dapat dimodifikasi, maka hendaknya kita menerima  hal yang tidak dapat kita ubah.
      Yang perlu kita katakan adalah , “Saya sadar bahwa saya tidak akan pernah menjadi Einstein yang lain, namun saya juga memiliki otak dan saya akan menggunakan kemampuan yang saya miliki sebaik mungkin.” Hal terbaik yang dapat kita perbuat adalah bertanya pada diri kita sendiri. Pusatkan perhatian pada hal – hal yang bisa kita perbuat, kemudian melakukannya dengan baik. Dan kita hanya perlu belajar bagaimana menerapkannya dalam hidup kita.  
Refleksi :
Melalui buku ini, saya semakin dimampukan untuk berpikir secara lebih dewasa dan mengerti hal-hal yang semestinya saya lakukan dalam menghadapi hidup ini. Meskipun saya belum melahap seluruh isi buku ini, namun saya telah memetik banyak hal untuk bekal hidup saya. Ada beberapa hal yang dapat saya lakukan untuk saat ini, yaitu : Sikap kita lebih penting daripada tingkat kemampuan berpikir atau IQ kita Sikap kita lebih penting daripada tingkat kemampuan berpikir atau IQ kita, kita mestinya tidak membenci diri kita dan berkutat dengan perasaan menyesal akan diri kita serta berfokus pada keterbatasan-keterbatasan kita Kita mestinya tidak membenci diri kita dan berkutat dengan perasaan menyesal akan diri kita serta berfokus pada keterbatasan-keterbatasan kita. Dengan ini bertambahlah input dalam diri saya untuk bekal masa depan yang lebih menantang.
-Push  Your  Self  to  the  Limit-

Monday, September 9, 2019

Cerpen - 7 Jam


7 jam
Sore itu mengembang, melebarkan sayapnya, menaungiku dengan lembutnya senja yang manis dan menawan. Saat yang tepat bagiku untuk menjemputmu. Kupanaskan vespaku. Tak sabar ingin bertemu.

Minggu, 28 Juni 2009
15.00 WIB. Sebuah rumah mungil di Sleman, Yogyakarta.
“Johan!”
“Hai, Nadia.”
Long time no see… Kurus banget, kamu?”
“Hehe, berkat kombinasi sempurna dari tiga hal: makan cukup, olahraga rutin, dan…”
“Dan?”
“…dan stress di asrama.”
Ya’elah… Tak pikir apa, Han… Ya udahlah, nevermind. Mau ke mana, kita?”
“FKY.”
“FKY?”
“Festival Kesenian Yogyakarta.”
“Di mana?”
“Benteng Vreedeburg.
“Oo... Kok ngajak aku?”
“Pingin aja. Mumpung libur, dan mumpung ketemu sama kamu.
“Hmm...”
“Mau?”
“Mau.”
“Ya udah. Berangkat, yuk.”
“Aku ambil helm dulu, ya.”


15.30 WIB. Benteng Vreedeburg.
“Waah...”
Here we are.
“Sekarang, mau apa nih?”
“Kita keliling saja. Cuci mata.”
“Hihi... Lucu. Biasanya aku yang nemenin ibuku cuci mata.”
Now, it’s up to you.
“Lho, kan kamu yang ngajak aku ke sini.”
“Iya.”
“Terus?”
“Terus, terserah kamu. Aku mau menemanimu, itu saja.”

16.00 WIB. Galeri seni FKY.
“Han, sini!”
“He?”
“Itu gambar abstrak banget. Masa kanvas putih cuma dicorat-coret pakai kuas dan cat? Kalau gitu aja, aku juga bisa.”
“Bener?”
“Iya!”
“Aku sampaikan ke pelukisnya, terus kamu buat gambar yang sama. Bisa?”
“Uuh...”
“Hm?”
“Ah, iya deh...”
“Iya?”
“Ya nggak, lah!”
“Nggak, gimana?”
“Aku nggak bisa.”
“Lha, katanya bisa.”
“Iya, iya!”
“Haha, satu kosong untuk Johan versus Nadia.”
Yooh... Manuut...
“Haha, dasar tembem.”
“Eh, kok tembem sih!”
“Ya, kan kamu doyan makan.”
“Huu!”
“Lho, kan fakta.”
Ah, mbuh!

***
Tak pernah kusangka, kamu akan datang menghampiriku. Satu tahun berlalu tanpa kabar darimu, dan sekarang aku di sini, bersamamu.
Kau jemput aku dengan vespa kesayanganmu. Kau ajak aku berkeliling di penjuru galeri seni di Vreedeburg. Kini, kau ajak aku menjejaki pelataran Mirota Batik, sembari menyeruput habis sore ini bersamaku.
Sungguh, kuharap semua ini tak ‘kan pernah berakhir.

16.45 WIB. Mirota Batik.
“Han.”
“Ya?”
“Aku gugup, ya?”
“Nggak. Aku yang gugup.”
“Kamu...”
“Ini pertama kalinya aku jalan sama perempuan, berdua.”

17.20 WIB. Keluar dari Mirota Batik.
“Han.”
“Ya?”
“Aku gandeng, ya?”
“Hm?”
“Aku kalau jalan bareng cowok, pasti gandengan tangan. Boleh, ya?”
“Iya. Boleh.”
“Han.”
“Ya?”
“Keliling Malioboro, yuk.”
“Iya, boleh.”

17.30 WIB. Sepanjang jalan Malioboro.
“Nad.”
“Ya?”
“Cowokmu nggak marah, aku jalan sama kamu?”
“Nggak.”
“Kok?”
“Aku kan single.”
Since?
Since I broke up.
“Kenapa?”
“Dia selingkuh.”
“Diputusin?”
Nggak. Aku yang mutusin. Daripada dia terkekang, lebih baik dia bahagia dengan perempuan lain di sampingnya.”
“Perasaanmu?”
“Kecewa, tapi… Ya sudahlah. Yang penting dia bahagia.”
But you’ve to defend yourself! Lelaki macam itu cuma orang nggak bertanggung-jawab yang memandang rendah perempuan hanya sebagai barang untuk dimainkan. Don’t let yourself played by him.
“Udahlah, Han… Aku ikhlas, kok.”
“Aku nggak.”
“Johan, Johan…”
“Hm?”
“Nggak. Nothing.

***
Dan kau tersenyum padaku, lembut. Lenganmu masih melingkari lenganku, bergelayut lembut seiring irama langkah kita sepanjang Malioboro.
Pengamen bernyanyi. Ketoplak delman. Derum mobil. Kayuhan becak. Riuh cengkrama pedagang dan turis yang saling menawar harga. Semua itu dibalut oleh sunset yang hangat, menenggelamkan kita dalam dalam alunan nuansa yang begitu ramah menyapa, lembut merangkul.
Aku ada di sana, tepat di sampingmu. Begitu dekat. Namun entah mengapa, engkau serasa begitu jauh dariku. Ada sebuah tabir realita, yang tak ‘kan bisa kutembus untuk bisa terus berada di sisimu. Kenyataan pahit, yang begitu kontras dengan rasaku, padamu.
Buru-buru kuenyahkan pikiran itu dari benakku. Perpisahan kita selama satu tahun. Status hidupku. Pergulatanku. Ah, masa bodoh dengan tabir itu. Yang terpenting bagiku, adalah saat ini. Saat kita bersama, berdua.
Kurekam setiap detail yang ada; lekuk wajahmu, hangat rangkulmu, lembut suaramu.
Sungguh, Nadia. Kuharap semua ini tak ‘kan pernah berakhir.

18.00 WIB. Sepanjang jalan Malioboro.
“Han.”
“Ya?”
“Menurutmu, aku orangnya gimana?”
“Hmm… Nadia itu: mature, easy talking, manis (“Makasih…”), penurut sama ibu (“Ah, kamu tuh!”), haha… dan tembem.”
“Huh, tembem lagi!”
“Lho, kan fakta.”
“Ah, nggak juga.”
“Haha, bercanda Nad. Your turn?
“Hmm… Johan itu: dewasa, enak diajak ngobrol (“Hei, nggak kreatif! Itu sih cuma translating kata-kataku tadi!”), dan… kempes.”
“He? Kempes?”
“Kan kamu dulu gemuk. Setahun nggak ketemu, eh, sekarang jadi kurus. Kempes, deh.”
“Ha. Ha. Ha. Lucu, Nad.”
“Nah, satu sama untuk Johan versus Nadia.”
“Nad.”
“Hm?”
“Kamu tahu, sakitnya cinta bertepuk sebelah tangan?”
“Tahu.”
“Pernah?”
“Pernah.”
“Perih, ya.”
“Hm?”
I love someone. So much. Tapi aku nggak bisa ngutarain perasaanku sama dia.”
“Kenapa? Malu?”
“Bukan.”
“Terus?”
“Jalanku beda sama jalannya. Statusku…”
“Oh…”
“…dan aku nggak mau nyusahin dia dengan statusku ini. Aku nggak tega ninggalin dia, apalagi nekat jalin long distance relationship cuma gara-gara statusku ini.”
“Johan…”
“Aku jadi sering ngerasa kesepian, Nad. Susah rasanya ngubah perasaan ini, sampai…”
“Sekarang?”
“Ya. Sampai sekarang.”
“…”
“Sesak, Nad.”
“Ya, aku tahu.”
“Ada saran?”
“…”
“Nad?”
“Eh, temenin aku ke butik, yuk. Di sana.”
“Nad…”
“Aku mau ke butik, sama kamu.”

***
Siapa dia? Orang yang telah membuatmu melabuhkan diri, padanya? Tiba-tiba saja senja berubah di pelupuk mataku, mengelam dalam untaian kata-katamu. Kata-kata, yang menenggelamkan nuansa ramah-menyapa yang sempat kurasakan bersamamu, sepanjang Malioboro.
Aku ada di sana, tepat di sampingmu. Begitu dekat. Namun entah mengapa, engkau serasa begitu jauh dariku. Ada sebuah tabir realita, yang tak ‘kan bisa kutembus untuk bisa terus berada di sisimu. Kenyataan pahit, yang begitu kontras dengan rasaku, padamu.
Statusmu. Jalan hidupmu. Perempuan itu…
Buru-buru kuenyahkan pikiran itu dari benakku. Masa bodoh dengan tabir itu. Yang terpenting bagiku, adalah saat ini. Saat kita bersama, berdua.
Aku tak mau merusak momen ini. Kuukir senyum di wajahku, sembari mengajakmu melihat-lihat baju di butik itu. Kusembunyikan perih ini, darimu.
Meski perih, meski pilu, aku tetap berharap…
… berharap semua ini tak ‘kan pernah berakhir.

19.00 WIB. Kembali ke benteng Vreedeburg.
“Hei, tembem. Laper, nggak?”
“Hehe, iya. Perutku udah ngerengek nih, minta dikasih makan.”
“Kita makan di restoran, terus langsung aku antar kamu pulang. Gimana?”
“Sip!”
“Udah pernah ke Jejamuran?”
“Belum…”
“Ke sana, yuk. Tempatnya deket sama rumahmu dan rumahku di sleman. Makanannya enak, lagi. Imagine it: you’ll eat mushroom just like you eat meat, with perfect combination of spices and…
“Ah, udah ah! Kok malah jadi sales. Jadi makan nggak? Keroncongan, nih…”
“Haha, iya, iya. Tenang, Johannes Baskara siap mengantar…”
“…dan Helllena Nadia Ekasasti siap ditraktir.”
Yes, Madam. Your wish is my command.

19.40 WIB. Jejamuran.
“Tempat ini…”
“Gimana? Asyik, kan?”
“Wow…  kenyang plus-plus, nih. Cozy place, free charge…
“Huu, mentang-mentang dibayarin.”
“Ya iyalah… Salahnya, ngajak aku makan. Nraktir, lagi. Dijamin dah, kantongmu bakal…”
“Kempes. Percaya, wis…
Nah, genea ngerti…
“Makan apa, Nad?”
“Hmm… Sup jamur, pakai nasi, trus minumnya cocacola dua botol.”
“He?”
Ngapa, Han? Nggumun?
“Nggak. Malah heran aku kalau kamu cuma pesan nasi. Maka terbuktilah kata-kata seorang Johannes Baskara, bahwasanya Nadia a.k.a tembem memang doyan makan.”
“Yah, terserah deh. Yang penting makan gratis dan… kenyang!”
“Haha…”
“Kamu makan apa?”
“Jamur goreng tepung, nasi, plus ice lemon tea. Satu gelas, nggak lebih.”
“Lebih juga boleh. Kan kamu yang bayar.”
“…”
“Han?”
“Nad, apa saranmu?”
“Saran…”
“Tentang pengalamanku. Cinta bertepuk sebelah tangan, yang kuceritain tadi.”
“Oh, yang itu…”
“Gimana?”
“Ehm… Kamu utarain aja perasaanmu sama dia.”
“Maksudmu, nembak dia, gitu? Tapi aku kan sudah bilang sama kamu, jalanku beda sama jalannya. Statusku…”
“Iya, Han. Aku tahu. Maksudku, kamu utarain perasaanmu ke dia, tanpa minta dia untuk jadi pacarmu. Just tell her your feeling. Itu bakal buat kamu ngerasa jauh lebih baik.”
“Tapi…”
“Jangan dipendam, Han. Let it free. Kalau nggak, perasaanmu hanya akan jadi racun buat kamu. “
“…”
“Aku pernah ngalamin hal yang sama. Aku jatuh cinta, dengan lelaki yang sekompleks sama aku di rumah. Lima tahun aku pendam perasaanku, sembari melihatnya pacaran sama perempuan lain. Akhirnya aku sadar, aku nggak bisa begitu terus. Akhirnya kuutarakan perasaanku sama dia, kutumpahkan semua yang kupendam selama lima tahun. Dan dia pun mengerti perasaanku, meski kami nggak jadian.”
“Sakit, ya?”
“Iya. Tapi memendam perasaan itu jauh lebih sakit daripada mengutarakannya. Mending gitu, kan? Daripada terkekang oleh perasaan.”
“…”
“Sabar, Han. Kamu pasti bisa. Jangan biarkan perasaanmu menghalangi jalan hidupmu, mimpimu…”
“Aku udah ngerasa sejak awal, kalau aku memang harus ngelakuin hal ini suatu saat nanti. Thanks, Nad. I’ll do it.
“Janji?”
“Janji.”
“Nah, gitu dong. Itu baru Johan.”
“Haha, okelah…”
“Han, senyum dong! Kok cemberut gitu, sih. Hadapi dengan senyum.”
“Kok lama-lama kamu jadi kayak ibuku, sih? Santai aja, lagi…”
“Soalnya…”
“Hm?”
“…aku hanya nggak mau lihat kamu sedih. Itu aja.”

***
Kutatap wajahmu. Kau tersenyum padaku, namun matamu tak bisa berbohong. Mata yang lelah menahan lelehan air mata.
Aku tak tahu, apa yang ada di balik sinar matamu. Sinar yang meredup, tak secerah saat kita menghabiskan waktu di Vreedeburg. Ada apa, Nadia? Salahkah aku? Entah bagaimana perasaanmu padaku, namun sungguh, aku tak bermaksud untuk menyakitimu. Biarlah kujalani lakon sakit hati ini sendiri, tanpamu.
Lelah rasanya, menjalani lakon ini sendirian. Aku ingin bebas darinya, bebas dari lakon yang menyiksaku dengan begitu perlahan, namun begitu melumpuhkan.
Akan kuakhiri lakon ini, segera.

***
Semahal inikah? Semahal inikah, harga yang harus kubayar untuk melepas kerinduanku, padamu?
Kutahan segala bludakan emosi dalam dadaku. Kuukir senyum di wajahku, menyembunyikan semua rasa itu darimu. Semuanya begitu kontras; sedih dan bahagia, rindu dan cemburu… semua teraduk menjadi satu, menyumpal dadaku. Sesak.
Tabir itu serasa semakin tebal, dengan sosok seseorang yang kauceritakan padaku. Dia, yang kausayangi dengan sepenuh hati. Namun tak apa. Aku rela. Toh aku bukan siapa-siapa bagimu. Aku hanyalah seorang Nadia, yang kauajak untuk menghabiskan waktu bersama mulai dari pukul tiga sore hingga malam ini. Seorang teman yang kauperlukan untuk mengisi harimu, namun bukan hidupmu.
Kunikmati setiap detik kita bersama malam ini. Menghabiskan waktu bersama di Jejamuran, sampai semua pengunjung pulang terkecuali kita berdua. Menikmati kepulanganku, sembari memelukmu di sepanjang perjalanan. Semuanya begitu membekas dalam benakku; tawamu, senyummu, leluconmu, hadirmu. Dan semoga semua ini cukup bagiku. Semoga.

21.00 WIB. Sebuah rumah mungil di Sleman, Yogyakarta.
“Sudah sampai, Nad.”
“Ah… Pulang dengan perut kenyang dan hati gembira! Thanks, Han. Ini bener-bener date terindah buat aku.”
Date?
“Eh, enggak… Maksudku, ehm, maksudku… Jalan-jalan yang asyik dan memorable sama kamu.”
“Oh… ya. Sama-sama.”
“Han…”
“Ya?”
“Jangan lupa, ya.”
“Untuk?”
“Untuk ngutarain perasaanmu ke dia.”
“Oh, ya. Pasti.”
“Janji?”
“Janji.”
“Demi mimpimu...”
“…dan demi kamu.”
“…….?!”
 “Karena itu kamu.”
“Ja, jadi... Kamu…”
“Kupenuhi janjiku.
 I love you.

***
Dua remaja SMA itu saling memandang. Johan telah menumpahkan segenap perasaannya pada Nadia. Nadia, tanpa pikir panjang, memeluknya erat-erat. Lelah dia menahan air matanya, dan menumpahkannya dalam pelukan lelaki yang juga dicintainya.
“Aku jawab, ya?”
“Tapi aku nggak minta kamu untuk jadi pacarku.”
“Yah, setidaknya aku ngasih responlah, Han…”
Johan hanya bisa mengangguk, mengiyakan permintaan sosok yang telah mengaduk isi hatinya selama hampir dua tahun.
“Sebenarnya aku juga sama. Aku sayang sama kamu, bahkan sejak kita bertemu dua tahun yang lalu. Saat kita latihan koor di Gereja, sore itu. Saat aku tahu kalau kamu mau masuk seminari, aku bener-bener sakit hati. Aku nggak rela. Tapi aku tahu, aku nggak bisa halangin kamu untuk menjawab panggilanmu itu. Sejak itu aku berjuang untuk ngelupain kamu, tapi aku nggak bisa. Siapapun orang yang pernah jadi pacarku, tetap saja nggak bisa gantiin kamu. Sakit, rasanya. Tapi, ya sudahlah. Ini resikoku, karena sudah menaruh perasaan sama kamu.”
“Jadi kita sama-sama sayang?”
“Iya.”
“Dan kita pendam satu sama lain, selama ini?”
“Iya.”
Dalam hati Johan menangis. Di satu sisi dia merasa bahagia, sebab orang yang dia cintai pun menaruh hati padanya. Namun di sisi lain, dia tak sanggup menerima perih kenyataan itu. Dia telah menyakiti hati orang yang dia cintai, secara tidak langsung. Melibatkannya dalam lakon sakit hati, yang hanya ingin dijalaninya seorang diri.
“Maaf, Nadia.”
“Buat apa minta maaf? Kamu nggak salah apa-apa. Ini resikoku, Han. Yang penting jangan sampai kamu keluar hanya gara-gara aku. Ingat, mimpimu…”
Johan mengangguk. Nadia jauh lebih tegar dan dewasa dari yang dia bayangkan. Johan pun merasa tenang. “Sahabat?” tanyanya. “Sahabat,” Nadia mengiyakan.
“Senyum, dong. Jadi Romo tuh harus gagah. Kamu tuh hobinya murung, ya?”
“Haha, ya non. Siap.”
Johan tersenyum. Begitu pula Nadia. Senyum mereka bukan lagi topeng yang mereka kenakan untuk menyembunyikan hati mereka masing-masing. Senyum yang tulus, ikhlas; untuk saling merelakan satu sama lain.

22.00 WIB.
Malam itu, Piaggio antik tahun 70’an meluncur bersama pengendaranya, melesat dari sebuah rumah mungil di kompleks perumahan Sleman Permai II. Malam itu Johan mengerti, bahwa cinta tak harus memiliki.




From 15.00 till 22.00, WIB, I understood
that love and vocation are just like a bar of dark chocolate:
bitter outside, sweet inside.


Mertoyudan, 26 Mei 2011
Untukmu, kenangan
Paulus Eko Harsanto

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...