Merdeka Dalam
Belenggu Adat
Oleh : Paulus Eko Harsanto
Judul : Tarian Bumi
Nama
pengarang : Oka Rusmini
Jumlah
halaman : 182 halaman
Penerbit : PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Tahun
Terbit : 2007
“Membangun sebuah dinasti itu sulit, Telaga.
Apalagi sebagai seorang perempuan.”
(Ida
Ayu Sagra Pidada)
Bali, destinasi jutaan orang dari
berbagai penjuru dunia untuk melepas lelah dalam pesona wisatanya. Pulau dewata
yang selama ini terkenal dengan keindahan alam dan budaya yang begitu memikat
itu ternyata menyimpan perih dilema para wanita Bali di balik kerasnya adat
kasta yang berlaku di sana.
Tarian bumi berkisah tentang lika-liku
kehidupan Telaga, putri dari pasangan brahmana dan sudra. Ayahnya adalah
seorang brahmana bernama Ida Bagus Ngurah Pidada, sedangkan ibunya adalah
seorang sudra bernama Luh Sekar. Telaga tumbuh besar di tengah keluarga yang
ramai akan masalah. Ibunya, Luh Sekar, adalah seorang sudra yang sangat
ambisius. Apapun dilakukannya untuk keluar dari penjara kemiskinan yang
mengekangnya sebagai seorang sudra. Untuk itu dia rela dipinang oleh Ida Bagus
Ngurah Pidada, seorang brahmana berwatak buruk yang senang berjudi dan
menjamahi tubuhnya di saat Luh Sekar sedang menari. Luh Sekar pun berganti nama
menjadi Jero Kenanga, kewajiban yang harus dilakukannya setelah diangkat
sebagai anggota griya[1].
Banyak peristiwa pahit dialaminya kemudian: Kenanga tidak boleh menyentuh
jenazah ibunya, Luh Dalem, yang meninggal secara mengenaskan saat ditemukan
terapung di sebuah sungai; dia harus mempelajari sekian banyak adat griya
sebagai istri seorang brahmana, mulai dari memanggil anaknya dengan sebutan tugeg[2]
hingga larangan untuk terlalu sering berkunjung ke rumah keluarga sudranya;
suaminya meninggal di sebuah pelacuran dalam keadaan yang mengenaskan, dan
masih banyak lagi. Semua itu diwarnai oleh pertengkarannya dengan sang mertua,
Ida Ayu Sagra Pidada, yang senantiasa menyalahkannya atas berbagai permasalahan
yang terjadi di rumah, termasuk atas kematian Ida Bagus Ngurah Pidada. Dalam
keluarga itulah Telaga tumbuh, dan dia senantiasa menjadi bahan rebutan oleh
ibu maupun neneknya dengan harapan mereka masing-masing atas diri Telaga.
Telaga tumbuh besar sebagai seorang
perempuan yang cantik, menarik dan baik hati. Dia pun belajar untuk menjadi
seorang penari seperti ibunya. Seiring dengan berjalannya waktu, Telaga mulai
mengenali arti cinta dari sosok seorang lelaki sudra di griya, Wayan Sasmitha.
Mereka sering menari bersama, dan lambat laun mereka pun mulai saling memahami
perasaan mereka masing-masing. Mereka saling mencintai. Sayang, menikah dengan
seorang sudra adalah sebuah aib bagi seorang Ida Ayu Telaga Pidada. Meski
begitu, mereka tetap bersikukuh untuk menjalin hidup bersama. Mereka pun
menikah tanpa restu dari orangtua mereka masing-masing, khususnya ibu Telaga,
Jero Kenanga yang sangat mendambakan putrinya menikah dengan seorang brahmana.
Dari Wayanlah Telaga mengerti arti cinta
yang sesungguhnya. Meski harus hidup bersama keluarga Wayan yang miskin, Telaga
tetap menemukan kebahagiaan dalam diri Wayan. Namun sayang, kebahagiaan itu tak
berjalan lama. Wayan meninggal tak lama sesudah kelahiran anak perempuan
mereka, Luh Sari. Masalah demi masalah pun kembali mewarnai hidup Telaga,
hingga suatu ketika ibu mertuanya, Luh Gumbreg, memintanya untuk melakukan
upacara pati wangi[3] di
griya yang telah lama ditinggalkannya sepuluh tahun yang lalu. Akhirnya Telaga
melakukannya, dan dia pun memilih untuk hidup sebagai seorang sudra untuk
selamanya demi kebahagiaan yang dia inginkan.
Tarian Bumi menunjukkan kuatnya budaya
kasta dan corak patriarki di tanah Bali. Menikah dengan seorang lelaki brahmana
berarti naiknya status hidup seorang perempuan, sedangkan menikah dengan
seorang lelaki sudra berarti turunnya status hidup seorang perempuan. Kerasnya
adat-istiadat serta sistem kasta yang berlaku di sana membuat setiap orang yang
hidup di dalamnya terbelenggu dalam mengungkapkan rasa cinta pada orang yang
mereka cintai, tanpa mengenal kasta yang mereka sandang. Setiap pribadi
perempuan dalam novel ini menunjukkan kompleksnya masalah yang timbul dari hal
itu. Telaga pun menjadi simbol pemberontakan terhadap segenap tata nilai yang
berlaku di dalam adat-istiadat serta sistem kasta yang berlaku di Bali, yang
rela mengorbankan status hidupnya sebagai seorang brahmana demi sebuah
kebahagiaan sejati.
[1] Rumah tempat tinggal
kasta brahmana.
[2] Singkatan dari Ratu Jegeg. Seorang yang kastanya lebih
rendah akan memanggil anak perempuan brahmana dengan panggilan Tugeg.
[3] Upacara pelepasan
nama Ida Ayu ataupun Ida Bagus, yang melambangkan perubahan status hidup
menjadi seorang sudra. Upacara dilakukan dengan salah seorang brahmana dari
griya meletakkan kakinya di atas kepala orang
yang bersangkutan dan menggunakannya sebagai alas untuk mencuci kakinya.
No comments:
Post a Comment