Sunday, September 8, 2019

Resensi Buku - Merdeka Dalam Belenggu Adat


Merdeka Dalam Belenggu Adat
Oleh : Paulus Eko Harsanto 

Judul                           : Tarian Bumi
Nama pengarang         : Oka Rusmini
Jumlah halaman           : 182 halaman
Penerbit                       : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tahun Terbit                : 2007

“Membangun sebuah dinasti itu sulit, Telaga. Apalagi sebagai seorang perempuan.”
(Ida Ayu Sagra Pidada)

Bali, destinasi jutaan orang dari berbagai penjuru dunia untuk melepas lelah dalam pesona wisatanya. Pulau dewata yang selama ini terkenal dengan keindahan alam dan budaya yang begitu memikat itu ternyata menyimpan perih dilema para wanita Bali di balik kerasnya adat kasta yang berlaku di sana.
Tarian bumi berkisah tentang lika-liku kehidupan Telaga, putri dari pasangan brahmana dan sudra. Ayahnya adalah seorang brahmana bernama Ida Bagus Ngurah Pidada, sedangkan ibunya adalah seorang sudra bernama Luh Sekar. Telaga tumbuh besar di tengah keluarga yang ramai akan masalah. Ibunya, Luh Sekar, adalah seorang sudra yang sangat ambisius. Apapun dilakukannya untuk keluar dari penjara kemiskinan yang mengekangnya sebagai seorang sudra. Untuk itu dia rela dipinang oleh Ida Bagus Ngurah Pidada, seorang brahmana berwatak buruk yang senang berjudi dan menjamahi tubuhnya di saat Luh Sekar sedang menari. Luh Sekar pun berganti nama menjadi Jero Kenanga, kewajiban yang harus dilakukannya setelah diangkat sebagai anggota griya[1]. Banyak peristiwa pahit dialaminya kemudian: Kenanga tidak boleh menyentuh jenazah ibunya, Luh Dalem, yang meninggal secara mengenaskan saat ditemukan terapung di sebuah sungai; dia harus mempelajari sekian banyak adat griya sebagai istri seorang brahmana, mulai dari memanggil anaknya dengan sebutan tugeg[2] hingga larangan untuk terlalu sering berkunjung ke rumah keluarga sudranya; suaminya meninggal di sebuah pelacuran dalam keadaan yang mengenaskan, dan masih banyak lagi. Semua itu diwarnai oleh pertengkarannya dengan sang mertua, Ida Ayu Sagra Pidada, yang senantiasa menyalahkannya atas berbagai permasalahan yang terjadi di rumah, termasuk atas kematian Ida Bagus Ngurah Pidada. Dalam keluarga itulah Telaga tumbuh, dan dia senantiasa menjadi bahan rebutan oleh ibu maupun neneknya dengan harapan mereka masing-masing atas diri Telaga.
Telaga tumbuh besar sebagai seorang perempuan yang cantik, menarik dan baik hati. Dia pun belajar untuk menjadi seorang penari seperti ibunya. Seiring dengan berjalannya waktu, Telaga mulai mengenali arti cinta dari sosok seorang lelaki sudra di griya, Wayan Sasmitha. Mereka sering menari bersama, dan lambat laun mereka pun mulai saling memahami perasaan mereka masing-masing. Mereka saling mencintai. Sayang, menikah dengan seorang sudra adalah sebuah aib bagi seorang Ida Ayu Telaga Pidada. Meski begitu, mereka tetap bersikukuh untuk menjalin hidup bersama. Mereka pun menikah tanpa restu dari orangtua mereka masing-masing, khususnya ibu Telaga, Jero Kenanga yang sangat mendambakan putrinya menikah dengan seorang brahmana.
Dari Wayanlah Telaga mengerti arti cinta yang sesungguhnya. Meski harus hidup bersama keluarga Wayan yang miskin, Telaga tetap menemukan kebahagiaan dalam diri Wayan. Namun sayang, kebahagiaan itu tak berjalan lama. Wayan meninggal tak lama sesudah kelahiran anak perempuan mereka, Luh Sari. Masalah demi masalah pun kembali mewarnai hidup Telaga, hingga suatu ketika ibu mertuanya, Luh Gumbreg, memintanya untuk melakukan upacara pati wangi[3] di griya yang telah lama ditinggalkannya sepuluh tahun yang lalu. Akhirnya Telaga melakukannya, dan dia pun memilih untuk hidup sebagai seorang sudra untuk selamanya demi kebahagiaan yang dia inginkan.
Tarian Bumi menunjukkan kuatnya budaya kasta dan corak patriarki di tanah Bali. Menikah dengan seorang lelaki brahmana berarti naiknya status hidup seorang perempuan, sedangkan menikah dengan seorang lelaki sudra berarti turunnya status hidup seorang perempuan. Kerasnya adat-istiadat serta sistem kasta yang berlaku di sana membuat setiap orang yang hidup di dalamnya terbelenggu dalam mengungkapkan rasa cinta pada orang yang mereka cintai, tanpa mengenal kasta yang mereka sandang. Setiap pribadi perempuan dalam novel ini menunjukkan kompleksnya masalah yang timbul dari hal itu. Telaga pun menjadi simbol pemberontakan terhadap segenap tata nilai yang berlaku di dalam adat-istiadat serta sistem kasta yang berlaku di Bali, yang rela mengorbankan status hidupnya sebagai seorang brahmana demi sebuah kebahagiaan sejati.



[1] Rumah tempat tinggal kasta brahmana.
[2] Singkatan dari Ratu Jegeg. Seorang yang kastanya lebih rendah akan memanggil anak perempuan brahmana dengan panggilan Tugeg.
[3] Upacara pelepasan nama Ida Ayu ataupun Ida Bagus, yang melambangkan perubahan status hidup menjadi seorang sudra. Upacara dilakukan dengan salah seorang brahmana dari griya meletakkan kakinya di atas kepala orang  yang bersangkutan dan menggunakannya sebagai alas untuk mencuci kakinya.

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...