Sunday, September 8, 2019

Resensi Buku - The Real Taste of Love


The Real Taste of Love

Judul               : Cinta Bukan Cokelat
Penulis             : Saras Dewi
Penerbit           : Kanisius
Tahun Terbit    : 2009

Pernah makan cokelat? Cokelat itu manis, membuat kita ketagihan. Banyak orang berkata,”Love is just like a bar of chocolate, it’s sweet and addicting.” Sayang, cinta tidak selalu semanis yang kita bayangkan.

Siapa yang tidak tahu soal cinta? Cinta adalah suatu hal yang umum bagi kita. Semua orang pernah merasakannya, dan dari jutaan pengalaman cinta itulah berbagai perspektif dan pemikiran muncul tentang cinta, mulai dari mitos belahan jiwa, cinta yang ibarat racun, hingga tradisi valentine. Namun, tidak semua hal itu sepenuhnya benar. Semua orang pernah merasakan cinta, namun pada kenyataannya, tidak semua orang tahu apa itu cinta! Cinta masih menjadi suatu hal yang abstrak dan membuat orang bertanya-tanya, apa sebenarnya arti dari cinta itu. Dari situlah muncul banyak pertanyaan tentang makna cinta di tengah khalayak umum. Sayangnya, banyak orang yang masih mendefinisikan cinta dari rasa luarnya saja yang ibaratkan sebatang cokelat: sweet and addicting.
Cinta bukan cokelat menjawab semua pertanyaan itu. Saras Dewi, seorang dosen filsafat Universitas Indonesia mencoba menyingkap tabir keabstrakan cinta yang kerap menyesatkan banyak orang. Dengan ilmu filsafat yang dimilikinya, Saras mengajak para pembaca untuk mengupas makna cinta secara ringan tanpa merasa terbebani oleh konteks filsafat yang diusungnya.
Saras meneropong makna cinta dari berbagai perspektif. Dari sudut pandang filsafat, dikupasnya berbagai problematika dan makna cinta yang ada bahkan sejak era filsafat kuno, seperti Plato dengan filosofinya mengenai belahan jiwa. Dalam filosofi ini, Plato berpendapat bahwa pada dasarnya manusia diciptakan berpasang-pasangan, sehingga manusia merasakan suatu kekosongan di dalam hatinya oleh karena keterpisahannya dengan sang belahan jiwa. Hal ini diusungnya dalam karyanya yang berjudul Symposium, sebuah karya yang menceritakan asal-usul terciptanya manusia di bawah kuasa Dewa Zeus. Konsep ini dipandang Saras sebagai pemikiran yang tidak realistis. Konsep itu dipatahkannya dengan bertolak dari pemikiran filsuf-filsuf lainnya, seperti Erich Fromm yang berpandangan bahwa cinta itu bukan fantasi semata dan tidak posesif, dan Stendhal yang menolak segala bentuk cinta Platonis dan berpandangan bahwa cinta itu harus dimulai dari sebuah ketertarikan fisik yang berlanjut pada sebuah hubungan mutual (berbalas-balasan). Banyak hal lain yang diangkatnya dalam perspektif ini, mulai dari cinta itu racun, cinta itu pengorbanan, sampai pada cinta itu kemerdekaan. Semua itu dibahasnya dengan bertolak pada pendapat dari berbagai filsuf yang mumpuni di bidang asmara.
Cinta pun diteropong oleh Saras dari perspektif sains. Dalam perspektif ini, Saras mengupas perihal cinta yang ternyata berkaitan pula dengan kinerja dan struktur biologis manusia. Dari perspektif inilah Saras mengupas problematika cinta yang jawabannya jauh di luar pemikiran kita, seperti persoalan selingkuh yang seolah menjadi sebuah kecenderungan dari setiap manusia, sampai pada cinta mamalia yang secara mengejutkan mengungkapkan bahwa mamalia selain manusia pun bisa merasakan cinta. Jadi, gorilla pun bisa jatuh cinta! Semua itu bertolak pada hasil penelitian Helen Fisher, seorang ilmuwan sekaligus antropolog yang menemukan bahwa otak memiliki peran yang sangat besar dalam peristiwa jatuh cinta. Semua itu membuat tema cinta yang diangkatnya semakin menarik untuk disimak.
Bicara soal cinta, Saras tidak lupa akan satu hal: valentine’s day. Saras mengupas makna valentine dengan membeberkan sejarahnya dari kisah santo valentinus, seorang pejuang cinta di masanya yang dengan berani menentang kekuasaan kaisar Claudius yang saat itu melarang adanya pernikahan demi wajib militer bagi setiap pemuda saat itu. Valentinus tetap memperjuangkan berlangsungnya pernikahan kala itu, dan hidupnya pun berakhir di penjara sampai eksekusi mati dijatuhkan padanya. Sebelum eksekusi itu dilaksanakan, Valentinus menulis secarik surat kepada sahabat perempuan yang kerap mengunjunginya ke penjara kala itu. Surat itu diawali dengan sebuah kalimat,”From your valentine.” Sejak saat itulah banyak orang mulai melakukan hal serupa pada pasangannya demi mengungkapkan rasa kasih sayang mereka. Lewat pemaknaan ulang itu Saras bermaksud untuk mengingatkan para pembaca agar tidak memaknai valentine sebatas pada hadiah dan cokelat sebagai ungkapan kasih sayang, melainkan sebagai saat untuk benar-benar memaknai cinta sebagai suatu hal yang patut untuk diperjuangkan.
Di akhir bagian, Saras mengungkapkan nilai unversalitas cinta yang tidak mengenal suku, agama dan ras. Cinta itu universal, bertolak dari hal itu Saras mengajak para pembaca untuk memaknai cinta serta mengaplikasikannya secara multi dimensional dan tidak hanya sebatas pada cinta romantis semata, seperti cinta pada lingkungan dengan tidak membuang sampah di sembarang tempat. Dengan demikian Saras mengajak para pembaca untuk menjadi para misionaris cinta di seluruh dimensi kehidupan manusia.
Dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti, Saras mampu membuat pembaca memahami dengan mudah filsafat cintanya. Cinta bukan cokelat adalah buku berbasis filsafat yang ringan dan nyaman untuk dibaca, sebuah buku yang dapat membuka mata pembacanya untuk lebih memahami cinta tidak hanya dari rasa luarnya saja, melainkan dari “the real taste of love” dan dari roh yang menjiwai semangat cinta yang hakiki.
Yap, love is not a chocolate.



Written by Paulus Eko Harsanto

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...