The Real Taste of Love
Judul : Cinta Bukan Cokelat
Penulis : Saras Dewi
Penerbit : Kanisius
Tahun Terbit : 2009
Pernah
makan cokelat? Cokelat itu manis, membuat kita ketagihan. Banyak orang berkata,”Love is just like a bar of chocolate, it’s
sweet and addicting.” Sayang, cinta tidak selalu semanis yang kita
bayangkan.
Siapa yang tidak tahu soal cinta? Cinta adalah suatu hal
yang umum bagi kita. Semua orang pernah merasakannya, dan dari jutaan
pengalaman cinta itulah berbagai perspektif dan pemikiran muncul tentang cinta,
mulai dari mitos belahan jiwa, cinta yang ibarat racun, hingga tradisi
valentine. Namun, tidak semua hal itu sepenuhnya benar. Semua orang pernah
merasakan cinta, namun pada kenyataannya, tidak semua orang tahu apa itu cinta!
Cinta masih menjadi suatu hal yang abstrak dan membuat orang bertanya-tanya,
apa sebenarnya arti dari cinta itu. Dari situlah muncul banyak pertanyaan
tentang makna cinta di tengah khalayak umum. Sayangnya, banyak orang yang masih
mendefinisikan cinta dari rasa luarnya saja yang ibaratkan sebatang cokelat: sweet and addicting.
Cinta bukan cokelat
menjawab semua pertanyaan itu. Saras Dewi, seorang
dosen filsafat Universitas Indonesia
mencoba menyingkap tabir keabstrakan cinta yang kerap menyesatkan banyak orang.
Dengan ilmu filsafat yang dimilikinya, Saras mengajak para pembaca untuk
mengupas makna cinta secara ringan tanpa merasa terbebani oleh konteks filsafat
yang diusungnya.
Saras meneropong makna cinta dari berbagai perspektif.
Dari sudut pandang filsafat, dikupasnya berbagai problematika dan makna cinta
yang ada bahkan sejak era filsafat kuno, seperti Plato dengan filosofinya
mengenai belahan jiwa. Dalam filosofi ini, Plato berpendapat bahwa pada
dasarnya manusia diciptakan berpasang-pasangan, sehingga manusia merasakan
suatu kekosongan di dalam hatinya oleh karena keterpisahannya dengan sang
belahan jiwa. Hal ini diusungnya dalam karyanya yang berjudul Symposium, sebuah karya yang
menceritakan asal-usul terciptanya manusia di bawah kuasa Dewa Zeus. Konsep ini
dipandang Saras sebagai pemikiran yang tidak realistis. Konsep itu
dipatahkannya dengan bertolak dari pemikiran filsuf-filsuf lainnya, seperti
Erich Fromm yang berpandangan bahwa cinta itu bukan fantasi semata dan tidak
posesif, dan Stendhal yang menolak segala bentuk cinta Platonis dan
berpandangan bahwa cinta itu harus dimulai dari sebuah ketertarikan fisik yang
berlanjut pada sebuah hubungan mutual (berbalas-balasan). Banyak hal lain yang
diangkatnya dalam perspektif ini, mulai dari cinta itu racun, cinta itu
pengorbanan, sampai pada cinta itu kemerdekaan. Semua itu dibahasnya dengan
bertolak pada pendapat dari berbagai filsuf yang mumpuni di bidang asmara .
Cinta pun diteropong oleh Saras dari perspektif sains.
Dalam perspektif ini, Saras mengupas perihal cinta yang ternyata berkaitan pula
dengan kinerja dan struktur biologis manusia. Dari perspektif inilah Saras
mengupas problematika cinta yang jawabannya jauh di luar pemikiran kita,
seperti persoalan selingkuh yang seolah menjadi sebuah kecenderungan dari setiap
manusia, sampai pada cinta mamalia yang secara mengejutkan mengungkapkan bahwa
mamalia selain manusia pun bisa merasakan cinta. Jadi, gorilla pun bisa jatuh
cinta! Semua itu bertolak pada hasil penelitian Helen Fisher, seorang ilmuwan
sekaligus antropolog yang menemukan bahwa otak memiliki peran yang sangat besar
dalam peristiwa jatuh cinta. Semua itu membuat tema cinta yang diangkatnya
semakin menarik untuk disimak.
Bicara soal cinta, Saras tidak lupa akan satu hal: valentine’s day. Saras mengupas makna
valentine dengan membeberkan sejarahnya dari kisah santo valentinus, seorang
pejuang cinta di masanya yang dengan berani menentang kekuasaan kaisar Claudius
yang saat itu melarang adanya pernikahan demi wajib militer bagi setiap pemuda
saat itu. Valentinus tetap memperjuangkan berlangsungnya pernikahan kala itu,
dan hidupnya pun berakhir di penjara sampai eksekusi mati dijatuhkan padanya.
Sebelum eksekusi itu dilaksanakan, Valentinus menulis secarik surat kepada sahabat perempuan yang kerap
mengunjunginya ke penjara kala itu. Surat
itu diawali dengan sebuah kalimat,”From
your valentine.” Sejak saat itulah banyak orang mulai melakukan hal serupa
pada pasangannya demi mengungkapkan rasa kasih sayang mereka. Lewat pemaknaan
ulang itu Saras bermaksud untuk mengingatkan para pembaca agar tidak memaknai
valentine sebatas pada hadiah dan cokelat sebagai ungkapan kasih sayang,
melainkan sebagai saat untuk benar-benar memaknai cinta sebagai suatu hal yang
patut untuk diperjuangkan.
Di akhir bagian, Saras mengungkapkan nilai unversalitas
cinta yang tidak mengenal suku, agama dan ras. Cinta itu universal, bertolak
dari hal itu Saras mengajak para pembaca untuk memaknai cinta serta
mengaplikasikannya secara multi dimensional dan tidak hanya sebatas pada cinta
romantis semata, seperti cinta pada lingkungan dengan tidak membuang sampah di
sembarang tempat. Dengan demikian Saras mengajak para pembaca untuk menjadi
para misionaris cinta di seluruh dimensi kehidupan manusia.
Dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti, Saras
mampu membuat pembaca memahami dengan mudah filsafat cintanya. Cinta bukan
cokelat adalah buku berbasis filsafat yang ringan dan nyaman untuk dibaca,
sebuah buku yang dapat membuka mata pembacanya untuk lebih memahami cinta tidak
hanya dari rasa luarnya saja, melainkan dari “the real taste of love” dan dari roh yang menjiwai semangat cinta
yang hakiki.
Written by Paulus Eko Harsanto
No comments:
Post a Comment