Sunday, September 8, 2019

Resensi Buku - Nagabumi I


“?!”
Paulus Eko Harsanto

Description: Nagabumi I.jpg
Judul         : Nagabumi I, jurus tanpa bentuk
Nama pengarang   : Seno Gumira Ajidarma
Jumlah halaman     : 815
Penerbit     : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Tahun Terbit          : 2009

Burwan
Pandyakira Tan Pangaran
drohaka ring nagara patut patyana denta
yan pejaha sirang burwan
mas sewu laksa yeka pakolihanta[1]

Pendekar dan telaga dunia persilatan. Dua hal itu tidak terpisahkan, menjadi dongeng yang begitu populer di masa lalu. Kini, di tengah derasnya arus dunia sastra Indonesia yang diwarnai oleh berbagai unsur modernitas zaman, Seno Gumira hadir dengan kisah para pendekar dan telaga dunia persilatan yang arang lagi disentuh.
Nagabumi I berkisah tentang seorang lelaki pendekar berusia seratus tahun yang tak terkalahkan. Seratus pendekar dibunuhnya dalam waktu satu malam, sebuah pembantaian yang dikenal kemudian sebagai peristiwa pembantaian seratus pendekar di usianya yang kelima-puluh. Kejumawaannya telah membunuh seratus pendekar, baik pendekar golongan hitam, golongan putih maupun golongan merdeka dengan jurus yang mematikan: jurus tanpa bentuk. Sebuah jurus yang tidak menyerang fisik, melainkan pikiran. Sejak saat itulah dia mengundurkan diri dari telaga dunia persilatan. Dia mengembara, menyamar dan membaur dalam riuh kehidupan kaum awam. Dia pun akhirnya memutuskan untuk melakukan samadhi di sebuah gua terpencil yang tak terjamah oleh manusia, mengasingkan diri dari riuh-ramai dunia persilatan maupun awam persilatan.
Dua puluh lima tahun berlalu. Tiba-tiba datang sejumlah pembunuh bayaran berpakaian serba hitam, mengusik samadhi sang pendekar. Para pembunuh itu tewas seketika di tangannya. Kedatangan para pembunuh bayaran itu membuat pendekar tanpa nama bertanya-tanya, ada apa gerangan. Dia pun keluar dari samadhi, dan sejak saat itu pula dia diserang oleh begitu banyak pendekar yang mengincar namanya. Dari sebuah selebaran dia pun mengetahui, dia telah menjadi buronan pemerintah.
Pendekar tanpa nama semakin penasaran. Dia ingin tahu, apa yang telah dia perbuat sehingga dia menjadi buronan pemerintah Mataram[2]. Dia pun memutuskan untuk menyamar sebagai seorang kakek pembuat lontar, mengerjakan lembar demi lembar daun rontal sembari menuliskan riwayat hidupnya sejak awal hingga saat itu,menelusuri jejak langkahnya untuk mencari tahu sebab dari perburuan atas dirinya. Kisah pun berlanjut dengan perjalanan hidup pendekar tanpa nama, mulai dari masa kecilnya bersama sepasang Naga[3] dari Celah Kledung hingga pengembaraannya ke tanah Kambuja.
Kisah pengembaraan pendekar Tanpa Nama dikemas dengan apik. Situasi politik, sosial dan budaya Mataram Hindhu dihadirkan dengan begitu detil, membingkai pengembaraan pendekar Tanpa Nama yang berbatasan sangat tipis antara hidup dan mati. Seno Gumira berhasil membawa pembaca dalam nuansa epik telaga dunia persilatan di masa lalu, menghadirkan kembali kisah yang dahulu menjadi dongeng yang melekat erat di benak masyarakat Indonesia. Penelusuran jejak langkah pendekar Tanpa Nama oleh dirinya sendiri meninggalkan sebulir titik pada tanda tanya dan seru; sebuah tanya atas misteri, dan seru atas konspirasi para penguasa Mataram Hindhu di balik perburuan dirinya.


[1] Buron, Pendekar tanpa nama. Berkhianat terhadap Negara, pantaslah dibunuh olehmu. Jika mati olehmu buron itu, emas sepuluh ribu keping akan jadi milikmu. (Ajidarma, Seno Gumira, Nagabumi I, Jurus tanpa bentuk, Gramedia: Jakarta, 2009, hlm. 38-39)
[2] Mataram yang dimaksud adalah Mataram Hindhu dengan setting waktu abad VIII-XI.
[3] Naga adalah gelar pendekar yang diakui sebagai pendekar tersakti. Pendekar Tanpa Nama adalah anak asuh dari sepasang Naga dari Celah Kledung. Sementara itu, masih ada Naga-Naga lain  seperti Naga Hitam dan Naga Dadu. Mereka terabung dalam kelompok pahoman Sembilan Naga, kecuali sepasang Naga dari CELAH Kledung yang menolak bergabung dalam pahoman tersebut.

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...