Thursday, April 16, 2020

Beriman Katolik - Belajar dari Oscar Romero

BERIMAN KATOLIK: BELAJAR DARI OSCAR ROMERO 
Oleh : Paulus Eko Harsanto


1.1. Pengantar 
Membaca riwayat hidup seseorang merupakan cara paling mudah dan sederhana untuk dapat memahami kehidupan ini dengan lebih baik dan mengambil hikmahnya. Demikian juga untuk berbicara tentang bagaimana orang beriman di abad modern ini. Banyak pilihan tokoh dari Gereja Katolik (untungnya). Ada Mother Teressa, ada Mangunwijaya, ada Soegija yang sudah difilmkan. Tokoh-tokoh pahlawan nasional Indonesia yang lain juga ada. Sebut saja misalnya Suprijadi, Komodor Yos Soedarso, dan I.J. Kasimo. Yang terakhir ini mungkin bagi anda terasa asing. Tapi, kalau anda mencermati, salah satu penghargaan yang diberikan SBY adalah dengan mengangkat tokoh awam katolik ini menjadi pahlawan nasional. Nah, karena tokoh-tokoh itu mungkin sudah biasa, sudah sangat populer untuk kita orang Indonesia, saya mau mengangkat tokoh lain yang sebenarnya tak kalah populer. Namanya Romero, seorang Uskup dari wilayah Amerika Latin. Membaca riwayat Romero memang merupakan rahmat tersendiri bagi kita. Di sana kita bisa menemukan suatu makna mendalam. Ada secuil santapan rohani yang dapat kita gali dan dijadikan pedoman dalam meretas kehidupan iman kita di kemudian hari. Apalagi, di tengah kehidupan dunia yang menurut saya semakin hari semakin kering akan kesaksian iman. Semoga dengan membaca riwayat Romero, pergulatan imannya, kita bisa semakin diperteguh untuk terus bisa beriman di arus jaman ini. 

1.2. Sekilas tentang Oscar Romero 
1.2.1. Profil 
Oscar Arnulfo Romero y Galdamez dilahirkan di Ciudad Barrios pada 15 Agustus 1917. Ia adalah anak dari pasangan Santos Romero dan Guadalupe de Jesus Galdamez. Ketika Romero masih kanak-kanak, ia dikenal sebagai seorang anak yang serius, rajin, dan saleh. Bakatnya untuk menjadi seorang Romo memang terlihat. Setelah cukup berumur, Oscar Romero masuk sekolah umum setempat. Romero kemudian belajar pada seorang guru yang bernama Anita Iglesias sampai berumur dua belas tahun. Setelah itu, oramg tuanya menyuruh Romero untuk magang pada seorang tukang kayu. Dia belajar membuat meja, kursi, pintu, dan juga pelbagai peti kayu. Setelah berusia tiga belas tahun, pada tahun 1930, ia mempunyai keinginan untuk masuk ke seminari, tempat pendidikan calon pastor. Oscar Romero segera meninggalkan Ciudad Barrios untuk masuk ke seminari di San Miguel. Kemudian, beliau ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1942. Setahun kemudian Oscar Romero belajar teologi di Roma. Pada tahun 1970, ia diangkat sebagai pembantu uskup agung San Salvador dan pada tahun 1977, Oscar Romero diangkat menjadi uskup agung di San Salvador. 

1.2.2. Konteks 
El Salvador  merupakan sebuah negara yang mengandalkan produksi pertanian dengan komoditi utama kopi. Sejak abad 16, negeri ini menjadi wilayah koloni Spanyol. Setelah abad 19, secara berturut-turut El Salvador menjadi bagian dari negara Guatemala dan Meksiko, hingga akhirnya memperoleh kemerdekaan penuh pada tahun 1839. Ternyata, kemerdekaan yang diperoleh El Salvador tidak membuat sistem ekonomi kolonial menghilang. Memasuki dekade 1970-an, Elsalvador justru dicengkram oleh kekuasaan pemerintahan kanan yang militeristik dan berperan sebagai ‘centeng’ tuan tanah dan pemilik modal. Negeri setengah feodal dan setengah kapitalis ini dikendalikan oleh pemerintahan militer yang berfungsi mengunci sistem yang timpang dan menindas. Ketimpangan itu bisa dilihat dengan dikuasainya 95% dari pendapatan negara (terutama dari perdagangan kopi) oleh  hanya 2% dari keseluruhan masyarakat. 5% dari keseluruhan komoditas diperebutkan oleh mayoritas rakyat miskin Elsalvador yang hampir semuanya adalah kaum buruh dan tani.  Situasi ini menimbulkan kemarahan kaum petani yang kemudian berhimpun dalam wadah organisasi gerilya Farabundo Marti Front Pembebasan Nasional  atau FMLN yang berhaluan Marxis. Keberhasilan revolusi Kuba dan Sandinista di Nikaragua menambah rasa militansi bagi para gerilyawan FMLN untuk meletuskan Revolusi di El Salvador. Namun, rezim militer merespon gejolak ini dengan brutal. Ratusan rakyat tak berdosa dibantai oleh militer dan pasukan para-militer (mirip pam-swakarsa perusahaan dalam konflik agraria Indonesia).  

Di antara korban kekejian itu, banyak juga para Romo yang jadi korban. Kebrutalan rezim sayap kanan El Salvador ketika perang saudara mendapat sokongan keuangan dan militer dari AS. Dukungan AS terhadap rezim militer Ekuador ini semakin besar pada masa Presiden Ronald Reagen. Selain untuk melindungi kepentingan ekonominya, dukungan ini diberikan Washington dengan tujuan membendung pengaruh kekuatan kiri di Amerika Latin setelah kemenangan revolusi Kuba dan Sandinista. Konon, AS mengirimkan bantuan 1,5 juta dolar per hari bagi pemerintah dan militer El Salvador selama perang saudara.  Dalam situasi seperti inilah Mgr Óscar Romero y Arnulfo Galdámez (15 Agustus 1917 – 24 Maret 1980) diangkat menjadi uskup keempat dari Gereja Katolik El Salvador. Keberpihakannya pada rakyat miskin El Salvador yang tertindas muncul setelah pembunuhan sahabatnya,  Pater Rutilio Grande, yang tewas ditangan para-militer. Rezim sayap kanan,  partai ARENA (Aliansi Nasionalis Republikan), yang didirikan oleh seorang militer bernama mayor tentara Roberto D’Aubuisson,  menuding Pater Grande membela kaum komunis. Namun Uskup Oscar Romero meyakini bila perjuangan yang dilakukan oleh Pater Grande  berbasiskan  ajaran dan praksis pembebasan yang berakar dari iman kepada  Yesus Kristus. Oscar Romero pernah berkata: “Kristus sedang ‘tersalib’ bersama-sama rakyat El Savador yang menderita dan tertindas. Maka bagi siapapun yang mengimani Kristus, seharusnya merasa terpanggil untuk  membasuh peluh dan darah yang mengucur dari luka rakyat El Salvador, bagaikan usapan seorang wanita Yerusalem terhadap wajah Yesus yang penuh dengan luka ketika memanggul salib menuju Golgota.” 

1.2.3. Sebuah Titik Balik 
Ketidakadilan, kemiskinan rakyat dan politik kekerasan di El Salvador ini dilawan oleh para imam, biarawan, dan biarawati. Perlawanan mulai dari lingkup grass root (akar rumput) sampai lingkup akademis. Para imam dan biarawan-biarawati membentuk komunitaskomunitas basis dan memberi pencerahan kepada rakyat agar melawan rezim penyebab ketidakadilan. Para imam yang mengajar di Universitas Amerika Tengah menggagas teologi pembebasan yang berorientasi keberpihakkan kepada rakyat yang tertindas. Dimotori Ignacio Ellacuria dan Jon Sobrino, teologi politik yang memihak kaum miskin bergema dan menghantam rezim militer dan para konglomerat kopi. Pada awalnya, Romero mengambil sikap yang salah. Ia tidak mendukung gerakan perlawanan pada pemerintah. Ia ingin mengambil jalan damai.  Di sinilah, Romero sebagai seorang pastor hanya berkutat di altar dan mimbar. Ia melayani umat dengan pelayanan sakramental dan ibadat-ibadat seputar altar. Ia mencambuki dirinya sebagai silih atas dosadosa yang dilakukannya. Ia mengembangkan pelayanan cinta kasih seperti Santa Claus: meminta uang dari orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin. Ia tidak masuk dalam kenyataan hidup yang berupa kemiskinan dan penderitaan mayoritas rakyat El Salvador. Sebaliknya, ia bersahabat karib dengan para juragan dan konglomerat kopi. Ia bahkan mengkritik para imam yang terlibat dalam gerakan perlawanan sebagai Neo-Marxis. Teologi pembebasan yang dikembangkan Ellacuria dan Sobrino dituduhnya sebagai Kristologi baru yang bersifat komunis. Tetapi sikap itu berubah total, setelah beberapa waktu Romero diangkat sebagai Uskup Agung San Salvador. Perubahan itu terjadi setelah melihat kenyataan banyak sahabatnya para pastor yang terbunuh. Sahabat para imam, biasanya memang para imam sendiri yang saling menguatkan satu sama lain. Ketika Pater Grande dan kawan-kawannya terbunuh, Romero seperti menyadari kekeliruannya. Ia kemudian mendukung gerakan-gerakan perlawanan yang sudah dibangun para imam sebelumnya. Ia menantang dan menentang rezim yang berkuasa secara terang-terangan. Namun demikian, kita harus melihat lebih mendasar. Titik balik cara berfikir Romero pertama-tama bukan terletak pada pembaruan hidupnya sesudah pembunuhan Rutilio Grande, tetapi terutama kesadaran akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang abdi Allah. Ia sendiri mengungkapkan, “Mungkinkah saya sungguh bertobat? Bertobat berarti kembali ke Tuhan yang benar, dan dalam artian ini, saya maksudkan, bahwa kontak saya dengan kaum miskin dan papa, lama-kelamaan menunjukkan permintaan Tuhan.”  Di situ tampak jelas bahwa ada hubungan yang erat antara relasi Romero dengan Tuhan dan kaum miskin. Dari orang-orang sederhana, ia belajar menyerahkan seluruh kepercayaannya pada Tuhan, mengharapkan segalanya dari Dia. Dalam kepercayaan mereka akan Tuhan, kaum miskin menunjukkan kepada Romero bagaimana ia sendiri tergantung pada Tuhan. Baginya, kaum miskin menjadi perantara perjumpaan dengan Yesus. Di dalam perubahan pribadinya, terungkap keinginannya untuk setia pada apa yang dikehendaki Allah darinya. Cukup lama Romero memang telah melihat kemiskinan dan kemelaratan di El Salvador, tetapi ‘tidak melihat’ (secara jelas). Untuk itu, matanya masih harus terbuka. Ia mesti keluar dari situasi ‘tidak melihat’ itu untuk dapat “melihat secara baru” sesuai dengan konteks sosial yang dialaminya. “Melihat secara baru” merupakan lukisan mata baru yang terbuka untuk mengamati adanya keterpurukan hidup masyarakat dan menanggapinya dengan cara yang ‘pas’. Romero berubah berdasarkan dorongan batinnya untuk mencari kejelasan dengan dayanya sendiri, sembari melihat segala sesuatu secara lebih jernih. Ia berulang kali menggunakan kata-kata “mata baru” dan “melihat secara baru” untuk menggambarkan perubahan yang terjadi dalam Gereja El Salvador. Ia menggarisbawahi satu aspek penting untuk mengubah cara pandang yang salah dalam melihat dunia dan manusia. Cara melihat secara baru baginya juga merupakan persyaratan bahwa pertobatan juga membantu perubahan sosial. 

 Mata Romero telah terbuka untuk melihat kemiskinan sebagaimana adanya. Ia belajar untuk melihat kehadiran Tuhan, rencana dan tindakan-Nya dalam sejarah. Ia telah belajar untuk melihat kehadiran Yesus dalam diri orang-orang miskin, dalam umatnya. Ia telah melihat keterkaitan yang sebelumnya tidak dilihatnya, seperti yang telah diungkapkannya, “Katakata Kitab Suci telah membuka mata kami, sehingga kami kini mengenal, apa selama ini selalu terjadi, tetapi sering tersembunyi bagi kami, bahkan bagi pandangan Gereja sendiri. Kami telah belajar untuk melihat terutama ketidakadilan fundamental dalam dunia kita, dan kami sebagai pastor mengecamnya di Mendellin: ‘Kemelaratan sebagai gejala massal merupakan suatu ketidakadilan yang berteriak ke langit’.” 

1.2.4. Kematiannya Sebagai Martir Melalui khotbah-khotbahnya yang disiarkan secara langsung saat memimpin Misa di Gereja Katedral San Salvador, ia menyerukan perlawanan atas penindasan yang terjadi. Tafsirantafsiran Kitab Suci bercorak pembebasan dikhotbahkan dengan tegas: tremens et fascinats, menggetarkan tapi sekaligus membahagiakan. Romero tampil sebagai uskup yang gigih membela kaum miskin, berhadapan dengan para penindas di negerinya, yang juga orang kristiani seperti dia. “Seorang gembala tak boleh mencari keamanan di saat umatnya diancam ketakutan,” kata Romero di saat ia diteror habis-habisan.  Akhirnya, perlawanan dan pembelaannya terhadap kaum miskin-tertindas berbuah darah. Ia mati ditembak pasukan bersenjata ketika sedang memimpin misa di kapel susteran pada tanggal 24 Maret 1980. Kesaksian hidup Uskup Romero sedemikian mengesankan sampai seorang pastor Jesuit, Ellacuria, mengatakan bahwa melalui Mgr. Oscar Romero, Allah lewat sekali lagi di tengah umat-Nya. Kini, uskup Oscar Romero dianggap oleh umat Katolik dan warga El Salvador sebagai santo pelindung  kaum miskin Amerika Latin dan El Salvador, atau sering disebut juga “San Romero”. Secara politis, pengakuan akan perjuangan uskup Romero pun semakin kuat tatkala Mauricio Funes, seorang anggota FMLN, terpilih sebagai Presiden El Salvador pada tahun 2009 lalu. “Martir kita Uskup Romero telah mengatakan bahwa Gereja di El Salvador hanya mempunyai satu pilihan, yaitu keberpihakan kepada kaum miskin. Selama masa pemerintahan saya, orang-orang yang menderita dan terbuang akan menjadi prioritas”, demikian dikatakan sang Presiden dalam peringatan 29 tahun kematian uskup Oscar Romero pada tahun 2009 lalu.  Atas nama negara, Presiden Salvador Mauricio Funes telah meminta maaf secara terbuka atas pembunuhan Uskup Romero. Presiden Funes meminta pengampunan dan kemudian membuka lukisan dinding yang menghormati Uskup Agung Oscar Romero di bandar udara internasional tidak jauh dari ibukota San Salvador.  Presiden Funes mengatakan Romero dibunuh oleh regu pembunuh sayap-kanan yang bertindak dengan mendapat perlindungan, kerjasama atau keikutsertaan petugas negara.   

1.3. Beberapa Point Pembelajaran 
1.3.1. Beriman Berarti Menyerupai Kristus 
Bahwa Yesus dan Romero sama-sama dibesarkan sebagai tukang kayu di masa mudanya, tentu saja ini kebetulan. Tapi kebetulannya tentu saja kebetulan yang menarik. Yusuf, orang tua Yesus adalah seorang tukang kayu. Bahkan sampai pada masa kenabiannya, Yesus tetap dikenal sebagai anak tukang kayu. Agak berbeda dengan Yesus, Romero memiliki waktu yang relatif sebentar sebagai tukang kayu. Apalagi setelah masuk Seminari. Keseriusan seorang Romero dalam hal belajar dan mencapai cita-citanya, tentu saja menjadi point pembelajaran tersendiri. Romero ingin menjadi imam, tentu ia harus belajar dengan tekun dan setia. Berkaitan dengan hal ini, bahkan secara ekstrim Yesus mengatakan agar kita meninggalkan orang tua, saudara, dan kawan-kawan untuk mengikuti dia. Tentu Yesus tidak serta merta menginginkan para pengikut-Nya melupakan keluarga, namun mereka harus fokus dengan apa yang diimpikannya, apa yang dicitacitakannya. Masa muda Oscar Romero menggambarkan keseriusannya untuk semakin dekat dengan Tuhan. Maka, menyerupai Kristus berarti juga kita harus punya komitmen yang kuat atas apa yang kita cita-citakan. Ini tentu bukan hal yang mudah. Bukan hanya di jaman sekarang, di jaman hidup Romero juga banyak tantangan untuk setia dalam menghidupi komitmen semacam ini.  Arti istilah menyerupai Kristus adalah bagaimana orang berpola pikir seperti Kristus yang kita imani. Yesus adalah sosok yang punya komitmen. Demi komitmen itu, bahkan Dia bukan hanya merelakan dan meninggalkan orang-orang yang dicintaiNya, tapi bahkan Dia menyerahkan diri untuk mati di kayu salib. Padahal, bahkan sampai sekarang tidak banyak yang bisa memastikan apakah alasan utamanya sehingga Dia harus dihukum sedemikian keji. Pilatus yang mengadili Yesus telah berusaha agar Yesus tidak dihukum mati. Namun, tekanan dari banyak pihak memaksa Pilatus untuk menyalibkannya. Romero juga menghadapi permasalahan yang sama. Dia harus berkomitmen dan demi komitmennya banyak hal harus direlakan.  Yesus mengatakan bahwa tidak mungkin seorang hamba mengabdi pada dua tuan. Di sini Dia ingin mengatakan bahwa seseorang harus berani untuk fokus terhadap pilihan hidupnya. 

1.3.2. Berubah Untuk Berbuah 
Kalau melihat bagaimana kisah hidup Romero, tentu saja kita tidak bisa melepaskan diri dari pembelajaran yang terus menerus. Seperti Romero yang mengalami perubahan dalam hidupnya, mengalami sebuah titik balik yang biasanya dialami oleh hampir setiap orang, demikian halnya dengan kita. Kita harus berani untuk berubah. Berubah ke arah yang lebih baik. Bagaimana orang bisa berubah ke arah yang lebih baik? jawabannya adalah dengan menyadari kesalahan yang telah dia tempuh. Bagaimana seseorang bisa sadar bahwa yang dia jalani selama ini salah? Paling tidak ada dua macam jawaban yang bisa kita jadikan metode pembelajaran yang terus menerus. Pertama, adalah dengan mengambil jarak. Istilahnya adalah distansiasi. Mungkin kesulitan untuk mengartikan apa itu mengambil jarak. Anda bisa membayangkan seseorang yang sedang membaca. Mungkin tidak seseorang membaca dengan mata yang menempel pada kertas-kertasnya? Tentu ini merupakan pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban atau pertanyaan retoris. Kita tidak bisa membaca tanpa ada jarak yang jelas dengan tulisan yang kita baca. Demikian juga kita diharapkan mampu untuk membaca pengalaman hidup kita. kita harus diam sejenak, memikirkannya dan melihat kembali, apakah perjalanan hidup yang kita tempuh itu memang menuju ke arah yang benar atau sebaliknya. Bagaimana bisa tahu perjalanan hidup kita mengarah ke mana, caranya adalah dengan sedikit membayangkan akibatnya. Kalau akibatnya bisa membawa kemungkinan pada sebuah penyesalan, barangkali itu petunjuk yang secara samar sudah bisa kita lihat. Sebaliknya, kalau akibat yang kemungkinan timbul itu sesuai dengan yang kita harapkan secara jujur, maka ini petunjuk ke arah kebaikan dan ada baiknya kita meneruskan langkah. Ini artinya pembelajaran. Banyak yang melihat bahwa pada awal-awal pengabdian Romero hanya sekedar mencari jalan aman, tidak berani mengambil resiko. Kalau dilihat dalam pola pikir Romero di awal memang benar. Saya pun meyakini hal ini. Romero tidak sepenuhnya salah dengan cara dia berfikir bahwa Gereja harus netral dari kehidupan politik. Tugas Gereja adalah menyerukan pertobatan untuk semua, tidak memihak kaya atau miskin. Kalau ada yang tertindas, Gereja kemudian tampil sebagai seorang nabi yang membawa kesembuhan. Apa yang dilakukan oleh Romero saat-saat itu, mirip dengan yang dilakukan oleh banyak pemimpin Gereja dewasa ini. Mengumpulkan dana dari yang mampu, kemudian membagibagikannya kepada yang membutuhkan. Di sini tampak bahwa orang-orang Katolik juga punya perhatian terhadap mereka yang lemah dan tersingkir. Dengan memegang prinsip semacam ini, kiranya dapat dipahami kalau kemudian Oscar Romero banyak berseberangan dengan Pastor-pastor yang tidak membawa warta kenabian, menyampaikan kebaikan dengan cara-cara yang damai. Tapi, apakah yang semacam itu kemudian cukup? Saya ingin mengutip apa yang dipikirkan oleh Gutierez, seorang pastor yang berfikiran bahwa Gereja harus bersikap tegas dan membela mereka yang tertindas, yaitu bahwa kalau Gereja bersikap netral, para romo dan rohaniwan bersikap netral, itu berarti membiarkan keadaan terjadi seperti itu. Dengan kata lain, Gereja seakan-akan merestui keadaan semacam itu. Mungkin, pemikiran yang semacam inilah yang terus menerus menggugat Romero ketika berhadapan dengan banyak kejadian yang bertentangan dengan kasih Tuhan. Di sekitarnya, banyak kejadian yang tidak berperi kemanusiaan. Ada sebagian orang yang kaya dan mempekerjakan orang-orang di tanah yang sebenarnya milik para pekerja itu. Mungkin anda sulit membayangkan, kok bisa? Orang menjadi buruh di tanah miliknya sendiri. Bayangkan begini: anda punya tanah. Tapi tidak punya uang untuk beaya tanam di tanah anda. Kalaupun kemudian bisa menanami, hasilnya tidak mencukupi untuk hidup anda sekeluarga. Satu-satunya cara agar bisa hidup adalah dengan menyewakan lahan. Lahan anda anda sewakan, kemudian orang yang menyewa mempercayakan anda untuk mengerjakan pertanian di lahan yang dulunya milik anda. Semakin lama, hidup anda tergantung pada pemilik uang yang menyewa itu. Ada sebagian orang yang akhirnya mengalihkan kepemilikan kepada orang yang dulunya menyewa, atau menjualnya. Jadilah anda pekerja atau buruh di lahan anda sendiri, bukan? Sebenarnya, hal yang sama banyak terjadi di desa-desa di Indonesia sekarang ini. Banyak orang yang menjadi buruh di lahannya sendiri. Dalam konteks Romero, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada warganya sendiri rupanya menyebabkan kemiskinan yang semakin akut. Masyarakat tidak lagi punya pilihan karena mereka memang mengandalkan sektor pertanian sebagai penggerak utama mesin perekonomian negara. Melihat itu, lama-lama hati Oscar Romero seperti digerakkan untuk mencintai mereka yang hidupnya tertekan oleh kemiskinan dan kehilangan hak-hak ekonominya sebagai warga negara. Peristiwa terbunuhnya rekan-rekan imamnya hanyalah salah satu faktor pendorong yang menjadi titik balik cara pandangnya terhadap keadaan sosial yang semacam itu. Pembelajaran semacam ini, baru bisa terjadi kalau orang berani ambil jarak, bertanya dan merenungkan hidup, sikap, dan arah tujuan yang dijalaninya akan membawanya ke mana. Cara kedua untuk belajar agar lebih baik adalah dengan mendengarkan suara hatinya. Apa itu suara hati? Suara hati atau biasa disebut dengan hati nurani merupakan rahmat Tuhan di dalam diri manusia yang memandu seseorang untuk melakukan suatu kebaikan. Cara kerjanya adalah dengan memberikan anda teguran bahwa yang anda lakukan salah, memberikan penyesalan kalau anda nekad melanggar teguran ini, dan memberikan rasa kebahagiaan kalau anda taat pada panduan suara hati itu. Mungkin anda kesulitan untuk membayangkan apa yang saya maksudkan. Contoh konkretnya, kalau anda melihat ada orang kecelakaan, biasanya ada sebuah bisikan yang lembut dari pikiran anda untuk menolongnya. Bisikan semacam itu, berasal dari suara hati. Minimal anda akan merasa kasihan. Kalau anda tidak melakukan apa yang dikatakan suara hati itu, kemudian sepanjang perjalanan anda akan merasa bersalah. Terbayang-bayang, kira-kira apa yang terjadi dengan orang-orang yang tadi kecelakaan ya. Setelah itu, anda akan merasa menyesal, kalau bisa saya ingin kembali ke waktu yang tadi dan menolongnya. Sayangnya penyesalan selalu datang terlambat. Dan satu-satunya hal yang bisa dilakukan kemudian berdoa, semoga saja ada orang yang menolong orang tersebut. Kalau keputusan-keputusan hidup yang melanggar suara hati semacam ini dilakukan terus menerus, lama-lama suara hati bisa tumpul. Tidak lagi merasa bersalah kalau seseorang melakukan suatu kesalahan. Mengutip apa yang dikatakan Plato bahwa kebaikan seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuannya, tetapi oleh kebiasaannya, kiranya dalam hal ini Plato sangat benar. Kebiasaan seseorang menentukan bagaimana seseorang. Maka, pembelajaran di sini adalah pelatihan yang terus menerus.   

1.3.3. Berani Ambil Resiko 
Berada di zona nyaman itu membosankan. Maka, orang yang berkembang dan maju adalah orang yang berani ambil resiko. Anda bayangkan kalau seorang bayi tidak mau melepaskan diri dari kebiasaannya menyusu dan tidak mau ambil resiko, bisa-bisa sampai besar dia tergantung pada ibunya. Atau seorang anak yang belajar jalan tidak berani ambil resiko untuk jatuh, besar kemungkinan dia tidak akan pernah bisa jalan. Kematian Romero, sama dengan kematian Yesus adalah resiko atas sikap hidupnya. Resiko itu berani diambil karena ada prinsip yang dipegang. Ada pepatah yang mengatakan bahwa gunung yang tinggi biasanya memiliki jurang yang dalam. Artinya, resiko adalah sebuah konsekwensi dari cita-cita. Nah di sinilah akhirnya kita mengerti, bahwa cita-cita besar biasanya memiliki resiko yang besar juga. Bahkan tidak menyesal seandainya resiko terburuk itulah yang kemudian diterima. Satu hal yang sangat berharga dari sikap semacam ini, pembelajaran. Anda tidak akan pernah belajar apa-apa kalau tidak pernah berani menerima resiko. Romeropun tidak menyesal seandainya dia harus mati demi mewartakan kebenaran dan memperjuangkan keyakinannya. Jauh hari sebelum kematiannya, Romero seperti sudah meramalkan kematian yang kemudian dia sambut ketika merayakan Ekaristi. 

1.4. Penutup: Maknanya Bagi Para Mahasiswa 
Para mahasiswa adalah para pembelajar. Anda sudah berani mengambil jalan untuk keluar dari zona nyaman, belajar. Belajar adalah zona yang tidak nyaman karena di situ banyak tantangan yang tidak mudah untuk kita hadapi. Selain tentu saja harus mengorbankan uang untuk beaya kuliah, juga mengorbankan waktu tenaga, dan pikiran. Di sinilah kemudian anda dituntut untuk berani membuat sebuah cita-cita besar dalam hidup anda. Cita-cita besar itu tentu bukan hanya selembar ijazah yang anda terima ketika anda wisuda, tapi juga ilmu. 
Saya sendiri ingin menyebutnya bukan hanya ilmu, tapi pembelajaran. Pepatah bahasa Latin mengatakan non scholae sed vitae discimus, saya belajar bukan hanya untuk nilai tapi untuk hidup. Maka, meskipun ilmu itu penting untuk para mahasiswa, pembelajaran untuk terus memaknai hidup jauh lebih penting. Dan dengan itu, kita bisa menyatukannya dalam iman kita. kita berjuang bukan hanya untuk diri kita, tapi untuk bersyukur atas rahmat karunia Tuhan yang kita terima, kita mensyukurinya artinya kita juga mempersembahkan hidup kepada Tuhan. Semoga, persembahan hidup kita berkenan bagi Tuhan. Amin 

Daftar Pustaka 

Buku Acuan 

1. -, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 2009 (sebuah dokumen) 
2. Greg Soetomo, Ekaristi dan pembebasan dalam konteks masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2002 
3. María López Vigil, Oscar Romero: Memories in Mosaic, Darton, Longman & Todd, Texas, 2000 
4. Martasudjita, Misteri Kristus, Kanisius, Yogyakarta, 2010 
5. Martin Chen, Teologi Gustavo Guiterrez: refleksi dari praksis kaum miskin, Kanisius, Yogyakarta, 2002 
6. Óscar Arnulfo Romero dan James R. Brockman, The violence of love, Plough Pub. House, Michigan, 1988 
7. Óscar Arnulfo Romero, Archbishop Oscar Romero: A Shepherd's Diary, St. Anthony Messenger Press, Michigan, 1993 
8. Óscar Arnulfo Romero, Archbishop Oscar Romero: A Shepherd's Diary, St. Anthony Messenger Press, Michigan, 1993 
9. St. Eko Riyadi Pr., Yesus Kristus Tuhan Kita, Kanisius, Yogyakarta, 2011 
10. Thomas P. Rousch, Katolisisme, Kanisius, Yogyakarta, 2001 
11. Tom Jakob, dkk, Iman Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 1996 

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...