Friday, May 8, 2020

Cerpen - Korban Ketidak-adilan Orde Baru


Korban Ketidak-adilan Orde Baru
Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto

I love sunshine. Cahayanya menghangatkanku, mengingatkanku pada hangat peluk ibuku di masa kecilku. Aku ingat, dulu ibuku memelukku saat aku kedinginan di kala malam menabrak kami tiba-tiba dengan dinginnya yang begitu menusuk. Omah gedhek nan tua itu seperti terkena cacar, bolong di sana-sini, tak sanggup menahan derai angin kering yang kuat menghembus bumi Madiun. Hanya peluk ibulah yang dapat menjagaku dalam lelap mimpiku saat itu.
Kini, tak ada lagi peluk itu. Hanya cahaya mentari, yang selalu kurindukan setiap saat dan setiap waktu.
***
“Ndhuk, ayo maem!”
“Inggih, mbok...”
Aku masih ingat saat itu. Kami hanya makan nasi jagung berlauk sejumput garam. Setiap pagi ayah selalu pergi ke sawah, sibuk mencangkul. Ibu tinggal di rumah, mengasuhku.
Kadang aku diajak ibuku pergi ke ladang, menemani ayahku. Di sana ayah bekerja bersama beberapa temannya, menanam palawija. Aku yang seorang perempuan tak bisa membantu ayah mencangkul di ladang. “Saru,” kata ayahku.
Sebagai gantinya, aku diajari ibuku menari. Ibuku pandai menari. Dia sering menari di acara-acara besar di desa, terlebih saat adanya kunjungan dari pegawai pemerintahan. Saat itulah ibu diundang untuk menari di balai desa.
“Di balai desalah ibu bertemu dengan ayahmu, nduk.”
“Kapan?”
“Saat ibu menari. Di antara puluhan pasang mata yang ada di sana, hanya ayahmulah yang tidak menelanjangi ibu dengan pandangan matanya. Tidak seperti lelaki lain, rakus menelanjangi tubuh ibu dengan mata mereka.
“Saat itulah ibu tahu, ibu jatuh cinta. Mendadak ayahmu menemui ibu di teras balai desa seusai pertemuan. Ibu sungguh terkejut.
“Terus?”
Ibu tersipu malu. Baru kali itu ibu didekati oleh seorang lelaki. Didekati dalam arti yang baik, lho. Ayahmu pun gaguk di depan ibu. Terang saja begitu, lha wong ibu penari paling ayu nang desa. Malu-malu mau, ayahmu mengajak ibu jalan bersama.”
“Maksud ibu?”
“Ayah dan ibu pacaran. Tidak lama sesudah itu, ayahmu melamar ibu.”
“Cepat sekali?”
“Ayahmu takut, keduluan orang lain. Banyak lho, yang naksir sama ibu.”
“Ah, ibu...”
“Hihi, seneng toh, duwe simbok ayu...”
Tarian ibu begitu indah. Lekuk tubuhnya membakar setiap pasang mata yang ada di balai desa saat ia menari, diiringi tembang yang mengalun lembut bersama gending gamelan dan tabuhan kendang. Dadanya yang ranum berbalut sehelai kemben hijau, lentik jemarinya ditemani sehelai sampur berwarna kuning keemasan. Tak ada mata teralih darinya; saat ibu berpacak-gulu, saat pinggul ibu mengayun, sembari menembangkan sebuah lagu yang dengan seksama dinyanyikan seluruh penghuni balai desa.
“Genjer-genjer neng ledokan pating keleler...
emake tole teka-teka mbubuti genjer...”
Merinding aku mendengar alunan tembang itu. Begitu sendu, pilu. Tapi aku menikmatinya. Aku menikmati sendu dan pilu yang mengambang bersama alunan tembang itu. Aku pun belajar tarian itu dari ibuku. Lambat laun aku menjadi seorang penari yang molek dan gemulai. Beberapa tahun kemudian, menginjak usiaku yang kesepuluh, aku menari bersama ibuku. Menemaninya menari dalam pertemuan rutin yang dilakukan setiap bulan di balai desa, bersaing membakar setiap pasang mata yang ada di balai desa.
25 September ’65. Semua begitu indah saat itu. Tak ada yang harus kukuatirkan, kecuali masalah mulut dan perut. Ibuku masih sering memelukku setiap malam, menghangatkanku dalam pelukannya yang menentramkan hatiku. Hampir setiap hari kami menari di balai desa. Sayang, ibu tak diundang lagi untuk menari di penghujung bulan. Ada yang hilang, entah apa; pasar begitu sepi, jalanan begitu lengang.
“Kok sepi ya, Bu?”
“Iya, nak. Ibu pun tak tahu mengapa.”
“Yah?”
“Sudah, tetaplah bersama ibumu. Jangan sekali-kali keluar rumah sendirian.”
Aku mengangguk. Kurangkul erat perut ibuku, mencari kehangatan dalam dekap peluknya. Ayah masih sering pergi ke balai desa, berbekal sebilah arit di pinggang.
Hingga suatu malam gedoran di muka pintu merebut pelukan ibu dari hadapanku.
***
“Buka! BUKA!”
“HOI, BUKAA!!!”
Tergopoh ibu membuka pintu. Ayah belum pulang dari balai desa. Aku panik.
“Kamu! Kamu Lastri, ya?!”
Tiga orang lelaki berbadan besar merangsek dalam rumah kami, paksa.
“Inggih, kula Lastri. Wonten punapa, den, menawi kula...”
Plak! Tak ada jawaban.
PLAK! Tak ada senyuman.
Darah mengalir dari ujung bibir ibuku. Aku menangis.
“Berdiri kamu di atas meja!”
Ibuku menolak, namun mereka memaksanya naik ke atas meja dengan pukulan dan jambakan. Dilucutinya pakaian ibu, hingga tak sehelai pun melekat padanya. Aku menangis. Seorang lelaki menamparku.
“Diam kau, bocah!”
“Dan kau! Sulastri! Kau yang kerap menari di balai desa, bukan?!”
“I, i, iya mas... tolong, mas, apa salah saya...”
“DIAM KAU, BIADAB! DASAR GERWANI!”
Seorang lelaki berkumis klimis mengambil korek api dari sakunya. Dua orang temannya membekap kaki ibu, menariknya dari dua arah yang berlawanan. Selangkangan ibu terbuka lebar di hadapannya. Di depan mataku, kulihat lelaki itu membakar liang rahim ibuku...
“Ampun, Gusti! Punapa lepat kawula, duh Gusti... AAH, UAAHH....”
“Cuih! Rasakna kuwi, lonthe!”
Tangisku semakin menjadi. Tak tahan mendengar jerit tangis ibuku, aku jatuh tak sadarkan diri. Keesokan harinya, aku tak menjumpai ibu di rumah. Ibu lenyap, tanpa jejak. Hanya cahaya mentari, yang lembut menyapaku dalam hangat pelukannya.
***
Ayah menemukanku tergeletak di dipan pagi itu. Selangkanganku sakit, perih. Ternyata aku telah diperkosa. Sejak saat itu, tak ada lagi hangat peluk ibu. Hanya ayah, dan cahaya mentari.
Sejak saat itu kami kerap berpindah tempat tinggal. Kadang di desa, kadang di hutan. Ayah selalu mencarikanku singkong untuk kumakan. Entah bagaimana dia memasaknya.
Cahaya mentari menjadi satu-satunya pengganti pelukan ibuku. Pagi selalu menjadi momen terindah bagiku, saat sinarnya menembus celah-celah dedaunan pohon jati di tengah hutan, saat cahayanya memberiku kehangatan yang kurindukan, sehangat-hangatnya hangat, bahkan yang terhangat dari yang paling hangat. Aku takut saat malam tiba, saat senja menyingsing, menculik hangat sang mentari dari pelukanku. Gelapnya sang malam hanya mengingatkanku pada jerit tangis ibu.
Aku tak bisa melupakan peristiwa itu. Setiap detik terekam dalam benakku, membayangi mimpi-mimpiku setiap malam. Aku sering terjaga, takut mimpi-mimpi itu datang menghampiriku. Namun ayah selalu mendampingiku, menguatkanku.
“Ibumu kuat, Nak. Kamu pun begitu. Kamu kuat.”
“Ibu nang ngendi, pak? Nang ngendi? Aku kangen ibu, pak. Kangen...”
“Ibumu ora nang kene, nduk. Ibumu sudah hidup tentram di atas sana. Saat malam tiba, kamu tidak usah takut. Lihatlah, ibumu tersenyum dari atas sana, menyapamu dari langit malam bertabur bintang...”
Tapi semua itu tak mengurangi kepedihanku. Aku tetap tak menemukan senyum ibuku di antara kelap-kelip bintang yang menaburi setiap malamku di hutan jati. Hanyalah jerit-tangis ibuku, bergelantungan di dahan-dahan pohon jati setiap malam. Aku hanya menemukan kehangatan ibuku dalam hangat sinar mentari. Hanya itu.
Namun ternyata penderitaanku belumlah usai. Di suatu suatu pagi yang mendung, saat ayah turun dari hutan ke desa untuk mencari makan, ayahku ditangkap oleh dua Sakerah[1] desa. Dari hutan aku menjerit, namun jeritanku terlalu jauh untuk mereka dengar. Teringat pesannya padaku,
“Kalau ayah tertangkap, jangan sekali-kali keluar dan hutan. Mudeng?
Namun aku tak sanggup lagi kehilangan orangtuaku. Dalam ketakutanku kuikuti ayahku dari balik rerimbunan pohon dan semak belukar hutan jati.
Ayahku diam. Tak sepatah katapun terucap dari mulutnya.
Dia digiring ke halaman balai desa.
“PKI! Kamu PKI, kan?!”
Ayah membungkam.
“NGAKU! KAMU PKI, KAN?! AYO NGAKU!”
Sepakan di kepala. Cambukan di punggung. Ayah tetap membungkam.
“Heh, budheg kowe? BISU?!”
Jambakan di kepala. Mata ayah beradu tajam dengan mata kedua Sakerah. Orang-orang mulai berkumpul, mengerubungi halaman balai desa.
“Kula sanes PKI.”
Blak! Pukulan tepat di muka.
“DJANCUK! PENIPU!!”
“GANYANG PKI! GANYANG PKI!”
Teriakan orang-orang memenuhi seluruh penjuru desa. Kini ayahku menunduk, menatap lekat bumi tempat dia dilahirkan. Air mata menetes di pelupuk mataku.
“Di sinilah aku dilahirkan. Maka kalau harus mati, biarlah aku mati di sini.”
Kedua Sakerah itu semakin terbakar amarah. Salah seorang dari mereka mengikat kedua tangan ayahku dari belakang, menendang kedua lutut ayah hingga jatuh berlutut di tanah. Sebilah pedang terangkat ke atas.
Aku menatapnya. Waktu seolah melambat, membiarkan kedua mataku melihat sebilah pedang terayun begitu lambat, selambat-lambatnya lambat, menebas leher ayahku. Namun pedang itu gagal menebas habis leher ayah. Darah muncrat ke mana-mana, dengan kepala ayah melekat tak sempurna; layaknya seekor burung yang pincang, bertengger di sebuah dahan hanya pada satu kakinya.
Tiba-tiba ayah berdiri. Perlahan, dia melangkah. Parau, dia berkata,
“Kenek opo aku kok embok kenekno? Aku salah opo?”[2]
Semua orang terdiam. Ayah masih melangkah. Selangkah. Dua langkah. Lututnya bergetar, goyah. Ambruk di tanah.
Darah menggenangi sekujur tubuh ayah, membasahi kering tanah balai desa. Orang-orang bergidik melihatnya. Aku terhenyak. Cukup sudah...
“Kita buang mayatnya di sumur kering samping desa. Cukuplah darah orang kiri tumpah di desa ini.”
Aku berlari sekuat tenaga, jauh ke dalam hutan. Mendung menyelimuti bumi. Di mana sinar mentariku? Di mana? Duh, Gusti... Ibu... Ayah...
Tiba-tiba semua menggelap di pelupuk mataku. Aku ambruk di tengah hutan jati, ditelan kekalutan akan nasib yang tak pasti di depan mataku. Yang kutahu pasti, saat itu mendung terbelah, mengizinkan secercah cahaya mentari menembus celah dedaunan, merengkuhku dalam kehangatannya.
***
Tak ada lagi hangat peluk ibu. Tak ada lagi ayah di sisiku. Hanya aku, dan sinar mentari.
“Bu, apa ini?”
Polos ia bertanya padaku. Anakku.
“Itu KTP, Nak.”
“KTP?”
“Iya, KTP. Kartu Tanda Penduduk.”
“Buat apa, Bu?”
“Buat tanda.”
“Tanda?”
“Tanda, kalau kita orang Indonesia.”
“Ooh...”
Dua puluh tahun telah berlalu semenjak peristiwa itu, Gerakan 30 September ’65. Kata mereka, PKI’lah dalangnya. Aku tak tahu apa itu G30S PKI. Aku pernah dengar tentang PKI, namun aku tak tahu gerakan apa yang telah mereka lakukan. Yang kutahu, semua itu telah membunuh ayah dan ibuku. Ayah dan ibu, yang tidak terlibat apapun di dalamnya. Seorang ayah yang mencangkul di ladang, dan seorang ibu yang gemar menari. Itu saja.
“Ayah belum pulang, Bu?”
“Belum, Nak.”
“Kapan, Bu?”
“Ibu tak tahu.”
Karena ibu pun tak tahu, siapa ayahmu. Di penjara, ibu diperkosa oleh puluhan lelaki...
“Ini apa, Bu?”
“Yang mana?”
“Yang ini, tulisan di KTP Ibu. ‘ET’[3]. Apa itu, Bu?”
“Itu...”
Entah kapan aku bisa menceritakannya padamu, Nak. Entah kapan. Masa lalu ibu sangat gelap, terlalu gelap bagi cerahnya masa depanmu. Begitu sukar untuk mengatakannya padamu, namun ibu yakin, akan tiba saat bagi ibu untuk mengutarakan semuanya padamu. Menyampaikan segala kelam masa lalu ibu.
“Bu, kapan aku sekolah? Anak tetangga sudah pada sekolah, Bu.”
Kubalas pertanyaanmu dengan seulas senyum. Lidahku kelu, nak. Maaf. Maafkan ibu. Gara-gara ibu, kamu tidak bisa sekolah. Tak ada sekolah yang mau menerima anak dari seorang perempuan seperti ibu. Maafkan ibu, nak. Maaf.
Kuusap lembut rambutmu. Matamu mirip mata kakekmu, wajahmu serupa wajah nenekmu. Menghadirkan kembali mereka yang telah direbut dari peluk ibumu. Tak terasa, setetes air mata menitik dari ujung pelupuk mataku.
“Kenapa menangis, Bu? Ada apa?”
“Tak apa, Nak. Tak apa. Ibu baik-baik saja.”
Rumah kita bagai terkena cacar, omah gedhek yang bolong di sana-sini. Namun tak apa, nak. Biarlah cahaya mentari menyelinap masuk dari lubang-lubang itu, merembes masuk, mengobati kerinduan ibu akan hangat peluk nenekmu.

Untuk para korban ketidak-adilan Orde Baru





[1] Algojo berkostum doreng-doreng atau hitam-hitam dengan pedang panjang di pinggang. Mereka menciduk siapa saja yang dianggap PKI dan membantainya tanpa ampun. (Bdk. Sumarwan, SJ, Antonius, Menyeberangi Sungai Air Mata, kisah tragis tapol ’65 dan upaya rekonsiliasi, Kanisius: Yogyakarta, 2007, hlm. 41)
[2] Ada kisah mengerikan seputar peristiwa pembantaian, sebagaimana termuat dalam kolom “Ngaji Budaya” Surat Kabar Harian Surya, 3 Mei 2003, yang bertopik “Mengak Tragedi 1965, Salahkah?” “Saat para algojo menebaskan pedangnya, ternyata kepala korban tak putus dengan sempurna. Sehingga, korban sempat berjalan di tepi sungai sambil berkata, ‘Kenek opo aku kok embok kenekno? Aku salah opo? (Kenapa aku kamu perlakukan begini? Salahku apa?)’. Tak berapa lama, ia pun menemui ajalnya.” (Sumarwan, SJ, Antonius, Menyeberangi Sungai Air Mata, kisah tragis tapol ’65 dan upaya rekonsiliasi, Kanisius: Yogyakarta, 2007, hlm.383.)
[3] Singkatan dari Eks-Tapol, alias Eks Tahanan Politik. Mereka yang menjadi bekas Tapol ’65 mendapat keterangan ET pada KTP’nya, membuatnya terdiskriminasi dari antara masyarakat. Keterangan ET pada KTP Eks Tapol baru dihilangkan semenjak keruntuhan Orde Baru, mulai dari pemerintahan Gus Dur.

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...