Korban Ketidak-adilan
Orde Baru
Ditulis oleh : Paulus Eko
Harsanto
I love sunshine. Cahayanya menghangatkanku, mengingatkanku
pada hangat peluk ibuku di masa kecilku. Aku ingat, dulu ibuku memelukku saat
aku kedinginan di kala malam menabrak kami tiba-tiba dengan dinginnya yang
begitu menusuk. Omah gedhek nan tua
itu seperti terkena cacar, bolong di sana-sini, tak sanggup menahan derai angin
kering yang kuat menghembus bumi Madiun. Hanya peluk ibulah yang dapat menjagaku
dalam lelap mimpiku saat itu.
Kini,
tak ada lagi peluk itu. Hanya cahaya mentari, yang selalu kurindukan setiap
saat dan setiap waktu.
***
“Ndhuk, ayo maem!”
“Inggih, mbok...”
Aku
masih ingat saat itu. Kami hanya makan nasi jagung berlauk sejumput garam.
Setiap pagi ayah selalu pergi ke sawah, sibuk mencangkul. Ibu tinggal di rumah,
mengasuhku.
Kadang
aku diajak ibuku pergi ke ladang, menemani ayahku. Di sana ayah bekerja bersama
beberapa temannya, menanam palawija. Aku yang seorang perempuan tak bisa
membantu ayah mencangkul di ladang. “Saru,”
kata ayahku.
Sebagai
gantinya, aku diajari ibuku menari. Ibuku pandai menari. Dia sering menari di acara-acara
besar di desa, terlebih saat adanya kunjungan dari pegawai pemerintahan. Saat
itulah ibu diundang untuk menari di balai desa.
“Di
balai desalah ibu bertemu dengan ayahmu, nduk.”
“Kapan?”
“Saat
ibu menari. Di antara puluhan pasang mata yang ada di sana, hanya ayahmulah
yang tidak menelanjangi ibu dengan pandangan matanya. Tidak seperti lelaki
lain, rakus menelanjangi tubuh ibu dengan mata mereka.
“Saat
itulah ibu tahu, ibu jatuh cinta. Mendadak ayahmu menemui ibu di
teras balai desa seusai pertemuan. Ibu sungguh terkejut.”
“Terus?”
“Ibu tersipu malu.
Baru kali itu ibu didekati oleh seorang lelaki. Didekati dalam arti yang baik,
lho. Ayahmu pun gaguk di depan ibu. Terang saja begitu, lha wong ibu penari paling ayu nang desa. Malu-malu mau, ayahmu mengajak ibu jalan
bersama.”
“Maksud
ibu?”
“Ayah
dan ibu pacaran. Tidak lama sesudah itu, ayahmu melamar ibu.”
“Cepat
sekali?”
“Ayahmu
takut, keduluan orang lain. Banyak lho, yang naksir sama ibu.”
“Ah,
ibu...”
“Hihi, seneng toh, duwe
simbok ayu...”
Tarian
ibu begitu indah. Lekuk tubuhnya membakar setiap pasang mata yang ada di balai
desa saat ia menari, diiringi tembang
yang mengalun lembut bersama gending gamelan dan tabuhan kendang. Dadanya yang
ranum berbalut sehelai kemben hijau, lentik jemarinya ditemani sehelai sampur
berwarna kuning keemasan. Tak ada mata teralih darinya; saat ibu berpacak-gulu,
saat pinggul ibu mengayun, sembari menembangkan sebuah lagu yang dengan seksama
dinyanyikan seluruh penghuni balai desa.
“Genjer-genjer neng
ledokan pating keleler...
emake tole teka-teka
mbubuti genjer...”
Merinding
aku mendengar alunan tembang itu. Begitu sendu, pilu. Tapi aku menikmatinya.
Aku menikmati sendu dan pilu yang mengambang bersama alunan tembang itu. Aku
pun belajar tarian itu dari ibuku. Lambat laun aku menjadi seorang penari yang
molek dan gemulai. Beberapa tahun kemudian, menginjak usiaku yang kesepuluh, aku
menari bersama ibuku. Menemaninya menari dalam pertemuan rutin yang dilakukan
setiap bulan di balai desa, bersaing membakar setiap pasang mata yang ada di
balai desa.
25 September ’65. Semua begitu indah saat itu. Tak ada yang harus
kukuatirkan, kecuali masalah mulut dan perut. Ibuku masih sering memelukku
setiap malam, menghangatkanku dalam pelukannya yang menentramkan hatiku. Hampir setiap hari
kami menari di balai desa. Sayang, ibu tak diundang lagi untuk menari di penghujung
bulan. Ada yang hilang, entah apa; pasar begitu sepi, jalanan begitu lengang.
“Kok sepi ya, Bu?”
“Iya, nak. Ibu pun tak tahu mengapa.”
“Yah?”
“Sudah, tetaplah bersama ibumu. Jangan sekali-kali
keluar rumah sendirian.”
Aku mengangguk. Kurangkul erat perut ibuku, mencari kehangatan
dalam dekap peluknya. Ayah masih sering pergi ke balai desa, berbekal sebilah
arit di pinggang.
Hingga
suatu malam gedoran di muka pintu merebut pelukan ibu dari hadapanku.
***
“Buka!
BUKA!”
“HOI,
BUKAA!!!”
Tergopoh
ibu membuka pintu. Ayah belum pulang dari balai desa. Aku panik.
“Kamu!
Kamu Lastri, ya?!”
Tiga
orang lelaki berbadan besar merangsek dalam rumah kami, paksa.
“Inggih, kula Lastri.
Wonten punapa, den, menawi kula...”
Plak!
Tak ada jawaban.
PLAK!
Tak ada senyuman.
Darah
mengalir dari ujung bibir ibuku. Aku menangis.
“Berdiri
kamu di atas meja!”
Ibuku
menolak, namun mereka memaksanya naik ke atas meja dengan pukulan dan jambakan.
Dilucutinya pakaian ibu, hingga tak sehelai pun melekat padanya. Aku menangis.
Seorang lelaki menamparku.
“Diam
kau, bocah!”
“Dan
kau! Sulastri! Kau yang kerap menari di balai desa, bukan?!”
“I,
i, iya mas... tolong, mas, apa salah saya...”
“DIAM
KAU, BIADAB! DASAR GERWANI!”
Seorang
lelaki berkumis klimis mengambil korek api dari sakunya. Dua orang temannya
membekap kaki ibu, menariknya dari dua arah yang berlawanan. Selangkangan ibu
terbuka lebar di hadapannya. Di depan mataku, kulihat lelaki itu membakar liang
rahim ibuku...
“Ampun, Gusti! Punapa
lepat kawula, duh Gusti... AAH, UAAHH....”
“Cuih! Rasakna kuwi,
lonthe!”
Tangisku
semakin menjadi. Tak tahan mendengar jerit tangis ibuku, aku jatuh tak sadarkan
diri. Keesokan harinya, aku tak menjumpai ibu di rumah. Ibu lenyap, tanpa
jejak. Hanya cahaya mentari, yang lembut menyapaku dalam hangat pelukannya.
***
Ayah
menemukanku tergeletak di dipan pagi
itu. Selangkanganku sakit, perih. Ternyata aku telah diperkosa. Sejak saat itu,
tak ada lagi hangat peluk ibu. Hanya ayah, dan cahaya mentari.
Sejak
saat itu kami kerap berpindah tempat tinggal. Kadang di desa, kadang di hutan.
Ayah selalu mencarikanku singkong untuk kumakan. Entah bagaimana dia
memasaknya.
Cahaya
mentari menjadi satu-satunya pengganti pelukan ibuku. Pagi selalu menjadi momen
terindah bagiku, saat sinarnya menembus celah-celah dedaunan pohon jati di
tengah hutan, saat cahayanya memberiku kehangatan yang kurindukan,
sehangat-hangatnya hangat, bahkan yang terhangat dari yang paling hangat. Aku
takut saat malam tiba, saat senja menyingsing, menculik hangat sang mentari
dari pelukanku. Gelapnya sang malam hanya mengingatkanku pada jerit tangis ibu.
Aku
tak bisa melupakan peristiwa itu. Setiap detik terekam dalam benakku,
membayangi mimpi-mimpiku setiap malam. Aku sering terjaga, takut mimpi-mimpi
itu datang menghampiriku. Namun ayah selalu mendampingiku, menguatkanku.
“Ibumu
kuat, Nak. Kamu pun begitu. Kamu kuat.”
“Ibu nang ngendi, pak?
Nang ngendi? Aku kangen ibu, pak. Kangen...”
“Ibumu ora nang kene,
nduk. Ibumu sudah hidup tentram
di atas sana. Saat malam tiba, kamu tidak usah takut. Lihatlah, ibumu tersenyum
dari atas sana, menyapamu dari langit malam bertabur bintang...”
Tapi
semua itu tak mengurangi kepedihanku. Aku tetap tak menemukan senyum ibuku di
antara kelap-kelip bintang yang menaburi setiap malamku di hutan jati. Hanyalah
jerit-tangis ibuku, bergelantungan di dahan-dahan pohon jati setiap malam. Aku
hanya menemukan kehangatan ibuku dalam hangat sinar mentari. Hanya itu.
Namun
ternyata penderitaanku belumlah usai. Di suatu suatu pagi yang mendung, saat
ayah turun dari hutan ke desa untuk mencari makan, ayahku ditangkap oleh dua Sakerah[1]
desa. Dari hutan aku menjerit, namun jeritanku terlalu jauh untuk mereka
dengar. Teringat pesannya padaku,
“Kalau
ayah tertangkap, jangan sekali-kali keluar dan hutan. Mudeng?”
Namun
aku tak sanggup lagi kehilangan orangtuaku. Dalam ketakutanku kuikuti ayahku
dari balik rerimbunan pohon dan semak belukar hutan jati.
Ayahku
diam. Tak sepatah katapun terucap dari mulutnya.
Dia
digiring ke halaman balai desa.
“PKI!
Kamu PKI, kan?!”
Ayah
membungkam.
“NGAKU!
KAMU PKI, KAN?! AYO NGAKU!”
Sepakan
di kepala. Cambukan di punggung. Ayah tetap membungkam.
“Heh, budheg kowe?
BISU?!”
Jambakan
di kepala. Mata ayah beradu tajam dengan mata kedua Sakerah. Orang-orang mulai berkumpul, mengerubungi halaman balai
desa.
“Kula sanes PKI.”
Blak!
Pukulan tepat di muka.
“DJANCUK! PENIPU!!”
“GANYANG PKI! GANYANG
PKI!”
Teriakan
orang-orang memenuhi seluruh penjuru desa. Kini ayahku menunduk, menatap lekat
bumi tempat dia dilahirkan. Air mata menetes di pelupuk mataku.
“Di
sinilah aku dilahirkan. Maka kalau harus mati, biarlah aku mati di sini.”
Kedua
Sakerah itu semakin terbakar amarah.
Salah seorang dari mereka mengikat kedua tangan ayahku dari belakang, menendang
kedua lutut ayah hingga jatuh berlutut di tanah. Sebilah pedang terangkat ke
atas.
Aku
menatapnya. Waktu seolah melambat, membiarkan kedua mataku melihat sebilah
pedang terayun begitu lambat, selambat-lambatnya lambat, menebas leher ayahku.
Namun pedang itu gagal menebas habis leher ayah. Darah muncrat ke mana-mana,
dengan kepala ayah melekat tak sempurna; layaknya seekor burung yang pincang,
bertengger di sebuah dahan hanya pada satu kakinya.
Tiba-tiba
ayah berdiri. Perlahan, dia melangkah. Parau, dia berkata,
Semua
orang terdiam. Ayah masih melangkah. Selangkah. Dua langkah. Lututnya bergetar,
goyah. Ambruk di tanah.
Darah
menggenangi sekujur tubuh ayah, membasahi kering tanah balai desa. Orang-orang
bergidik melihatnya. Aku terhenyak. Cukup
sudah...
“Kita
buang mayatnya di sumur kering samping desa. Cukuplah darah orang kiri tumpah
di desa ini.”
Aku
berlari sekuat tenaga, jauh ke dalam hutan. Mendung menyelimuti bumi. Di mana sinar mentariku? Di mana? Duh,
Gusti... Ibu... Ayah...
Tiba-tiba
semua menggelap di pelupuk mataku. Aku ambruk di tengah hutan jati, ditelan
kekalutan akan nasib yang tak pasti di depan mataku. Yang kutahu pasti, saat
itu mendung terbelah, mengizinkan secercah cahaya mentari menembus celah
dedaunan, merengkuhku dalam kehangatannya.
***
Tak
ada lagi hangat peluk ibu. Tak ada lagi ayah di sisiku. Hanya aku, dan sinar
mentari.
“Bu,
apa ini?”
Polos
ia bertanya padaku. Anakku.
“Itu
KTP, Nak.”
“KTP?”
“Iya,
KTP. Kartu Tanda Penduduk.”
“Buat
apa, Bu?”
“Buat
tanda.”
“Tanda?”
“Tanda,
kalau kita orang Indonesia.”
“Ooh...”
Dua
puluh tahun telah berlalu semenjak peristiwa itu, Gerakan 30 September ’65.
Kata mereka, PKI’lah dalangnya. Aku tak tahu apa itu G30S PKI. Aku pernah
dengar tentang PKI, namun aku tak tahu gerakan apa yang telah mereka lakukan.
Yang kutahu, semua itu telah membunuh ayah dan ibuku. Ayah dan ibu, yang tidak
terlibat apapun di dalamnya. Seorang ayah yang mencangkul di ladang, dan
seorang ibu yang gemar menari. Itu saja.
“Ayah
belum pulang, Bu?”
“Belum,
Nak.”
“Kapan,
Bu?”
“Ibu
tak tahu.”
Karena ibu pun tak tahu,
siapa ayahmu. Di penjara, ibu diperkosa oleh puluhan lelaki...
“Ini
apa, Bu?”
“Yang
mana?”
“Yang
ini, tulisan di KTP Ibu. ‘ET’[3].
Apa itu, Bu?”
“Itu...”
Entah
kapan aku bisa menceritakannya padamu, Nak. Entah kapan. Masa lalu ibu sangat
gelap, terlalu gelap bagi cerahnya masa depanmu. Begitu sukar untuk
mengatakannya padamu, namun ibu yakin, akan tiba saat bagi ibu untuk
mengutarakan semuanya padamu. Menyampaikan segala kelam masa lalu ibu.
“Bu, kapan aku sekolah? Anak tetangga sudah pada
sekolah, Bu.”
Kubalas pertanyaanmu dengan seulas senyum. Lidahku
kelu, nak. Maaf. Maafkan ibu. Gara-gara ibu, kamu tidak bisa sekolah. Tak ada
sekolah yang mau menerima anak dari seorang perempuan seperti ibu. Maafkan ibu,
nak. Maaf.
Kuusap
lembut rambutmu. Matamu mirip mata kakekmu, wajahmu serupa wajah nenekmu. Menghadirkan
kembali mereka yang telah direbut dari peluk ibumu. Tak terasa, setetes air
mata menitik dari ujung pelupuk mataku.
“Kenapa
menangis, Bu? Ada apa?”
“Tak
apa, Nak. Tak apa. Ibu baik-baik saja.”
Rumah kita bagai terkena cacar, omah gedhek yang bolong di sana-sini. Namun tak apa, nak. Biarlah
cahaya mentari menyelinap masuk dari lubang-lubang itu, merembes masuk,
mengobati kerinduan ibu akan hangat peluk nenekmu.
Untuk
para korban ketidak-adilan Orde Baru
[1] Algojo berkostum
doreng-doreng atau hitam-hitam dengan pedang panjang di pinggang. Mereka
menciduk siapa saja yang dianggap PKI dan membantainya tanpa ampun. (Bdk.
Sumarwan, SJ, Antonius, Menyeberangi
Sungai Air Mata, kisah tragis tapol ’65 dan upaya rekonsiliasi, Kanisius:
Yogyakarta, 2007, hlm. 41)
[2] Ada kisah mengerikan seputar peristiwa pembantaian, sebagaimana termuat
dalam kolom “Ngaji Budaya” Surat Kabar Harian Surya, 3 Mei 2003, yang bertopik
“Mengak Tragedi 1965, Salahkah?” “Saat para algojo menebaskan pedangnya,
ternyata kepala korban tak putus dengan sempurna. Sehingga, korban sempat
berjalan di tepi sungai sambil berkata, ‘Kenek opo aku kok embok kenekno? Aku
salah opo? (Kenapa aku kamu perlakukan begini? Salahku apa?)’. Tak berapa lama,
ia pun menemui ajalnya.” (Sumarwan, SJ, Antonius, Menyeberangi Sungai Air Mata, kisah tragis tapol ’65 dan upaya
rekonsiliasi, Kanisius: Yogyakarta, 2007, hlm.383.)
[3] Singkatan dari Eks-Tapol,
alias Eks Tahanan Politik. Mereka yang menjadi bekas Tapol ’65 mendapat
keterangan ET pada KTP’nya, membuatnya terdiskriminasi dari antara masyarakat.
Keterangan ET pada KTP Eks Tapol baru dihilangkan semenjak keruntuhan Orde
Baru, mulai dari pemerintahan Gus Dur.
No comments:
Post a Comment