The
Law of Terminal
“Perjuangan
hidup dan persaingan para buruh angkutan”
Suatu
ketika, aku sedang dalam perjalanan menuju Yogyakarta. Saat itu aku sedang naik
bis jurusan Semarang-Yogya yang malang-melintang di jalan Magelang. Perjalanan kunikmati
di bis, sembari menikmati alunan musik dangdut pengamen jalanan.
Setengah
jam berlalu tanpa pamit, aku pun tiba di terminal Jombor di Yogyakarta. Langkah
kaki pertamaku di sana disambut oleh seruan penuh harap para kernet bis yang
ada di sana.
“Arep nang
ngendi, Mas?”
“Malioboro, Mas!
Malioboro!”
“Kotagede, Mas?”
Seruan-seruan
itu hanya kujawab dengan senyum simpul. Aku pun berlalu, pergi ke rumah
orangtuaku, naik busway. Saat itu
seruan-seruan itu masih terngiang-ngiang di benakku. Bagaimana bisa mereka
berseru-seru sampai seperti itu? Terekonstruksilah dalam benakku bis-bis kota
yang penuh sesak akan penumpang, perkelahian antar kernet yang dulu pernah
kusaksikan di Ambarawa, dan berbagai fenomena lain seputar kehidupan para
penunggang “banteng besi” di terminal. Kok
isa ngono, lho. Keheranan dan rasa penasaran pun menyerbuku seketika,
menenggelamkanku dalam kebundetan filosofi dalam benakku atas berbagai fenomena
itu.
Ada
apa, gerangan?
Memikirkan
hal ini, aku pun teringat akan temanku, Agus, seorang gentho angkot di terminal Muntilan. Kami sering bertukar cerita
kehidupan kami masing-masing, dan dari sanalah aku mulai mengenal kehidupan
para penunggang “banteng besi”. Mereka hidup dalam sistem buruh, di mana bos
mereka mempercayakan angkotnya pada mereka untuk dipakai; dipakai cari uang,
tentunya. Tak jarang pula Agus mengeluhkan berbagai perihal hidupnya; istrinya
yang hamil tua, keinginannya hidup kaya, teman kerjanya yang korup, dsb. Dari
dialah aku tahu, beratnya kompetisi di antara para “penunggang”.
Di
sinilah kebundetan filosofiku semakin bundet. Aku mulai meraba-raba alasan dari
terjadinya pelbagai kompetisi yang bahkan bisa berujung pada perkelahian antar
sopir itu. Sebenarnya semua ini tak ada hubungannya denganku, namun apa boleh
buat, aku terlanjur penasaran.
Meraba
Mungkin
semua itu terjadi karena para sopir dan kernet itu mempunyai anak dan istri
yang menanti sesendok nasi di rumah. Mungkin juga karena sopir-sopir itu masih
berpikir, “duit akeh, urip leyeh-leyeh”. Mungkin
saja karena mereka harus nyetor uang ke bos mereka. Ya, mungkin saja.
Tapi, masa aku hanya meraba-raba saja? Tidak,
aku tidak boleh hanya meraba-raba saja. Saru,
ora ilok. Aku harus melihat, apa yang kuraba. Benar, atau tidak? Untuk
itulah aku memutuskan untuk ngobrol dengan lebih banyak penghuni terminal
mengenai hal ini. Maka berangkatlah aku ke terminal, nggambleh dengan banyak orang.
Aku
ngobrol dengan sopir, kernet, mandor, penumpang, ibu-ibu penjual salak, loper
koran, bakul es, bakul duren, calo, penjual rokok, dan tak lupa, Agus. Hampir
semua orang itu memberi jawaban yang sama kepadaku, setoran.
“Ya ngono kuwi,
Mas. Setoran.”
“Kejar setoran,
kang.”
“Setoran, Bung.”
Meski
begitu ada pula hal-hal lain yang diceritakan kepadaku, seperti si “banteng
besi” yang sepenuhnya ditanggungkan pada sang penunggang, sopir-sopir yang
emosian, sopir-sopir yang korupsi setoran, bahkan adanya toleransi antar sopir.
Ada pula hal lain, yaitu jumlah penumpang yang semakin hari semakin sedikit
saja. Dulu orang-orang masih minat naik angkot, tapi sekarang orang-orang lebih
suka naik mio, avanza, jazz, dsb. Apalagi kendaraan-kendaraan itu sekarang
lebih mudah didapat dengan kreditan. Alhasil tengsinlah para sopir angkot, kehabisan penumpang yang dulunya
sempat dan “bisa” diperebutkan. Jadi,
sekarang perebutan pun berkurang. Lha
sing direbutake apa, jal?
Demikianlah,
aku ngobrol siang-malam dengan para kawula
alit itu. Asyik, lho, beneran. Aku pun semakin puas dengan semua obrolan
yang aku lalui, sebab dengan demikian kebundetan yang nangkring di benak aku ini pun semakin bundet sekaligus lurus
(lho?), sedikit demi sedikit. Bundet karena tambah
kebak, lurus karena tambah cetha.
Antara
ada dan tiada
Sepulangnya
di rumah, aku pun tersenyum puas. Aku sudah dapat menarik ujung filosofiku,
sedikit demi sedikit! Dari berbagai kesaksian sekaligus curhatan yang telah
kulahap sebelumnya, aku semakin memahami problem persaingan yang tengah kumumeti ini. Ternyata, usut punya usut,
persaingan itu ada, sekialigus tiada! Nah, lo. Piye, maksud’e?
Persaingan
antar sopir dan kernet itu masih eksis hingga sekarang karena adanya beberapa
hal, yaitu sistem setoran dari “si bos”, sopir-sopir sendiri yang umumnya
emosian, korupsi para sopir berkenaan dengan uang setoran mereka (jadi jangan
bayangkan korupsi itu hanya semata-mata kejahatan kaum berdasi saja), kendaraan
yang menjadi tanggungan pribadi masing-masing sopir, dan penumpang yang dulunya masih banyak. Masih ingat’kan,
budaya kendaraan umum yang masih ngetrend, yang baru saja aku ceritakan? Tak
jarang pula sopir-sopir itu sudah emosi sejak berangkat kerja dari rumah. Jadi,
emosi itu terbawa dah ke pekerjaan. Makanya, kalau mereka senggel sedikit saja, bisa saja terjadi perkelahian yang seru.
Sistem setoran sendiri memacu mereka untuk mencari setoran yang lebih, begitu
juga dengan tangggungan kendaraan yang membuat mereka terpacu pula untuk
mencari setoran lebih agar tidak tekor. Trus, soal korupsi? Kalau yang itu sih
tak jauh-jauh amat dengan budaya dan temperamen rakyat Indonesia yang rakus
(umumnya, lho. Ngga semuanya… Istilah kerennya, generalisasi). Makanya lagi-lagi terjadilah yang namanya
persaingan, dan oleh karena itulah persaingan masih eksis sampai sekarang.
Nah,
di satu sisi, persaingan itu ternyata telah terminimalisir. Kok bisa? Ya bisa
saja. Hal ini terjadi karena sekarang penumpang sudah jauh berkurang dengan
merebaknya budaya kendaraan pribadi dan semakin majunya kendaraan-kendaraan
pribadi saat ini. Lha kalau penumpangnya minim, yang mau direbutkan apa, coba?
Hal ini ternyata tak lepas pula dari kebijakan kredit yang diselenggarakan oleh
pihak produsen kendaraan-kendaraan tersebut. Dengan kebijakan itu, orang pun
semakin dimudahkan untuk memperoleh kendaraan pribadi. Tekor’kan jadinya,
mereka? Maka dari itulah toleransi antar sopir dan kernet pun semakin menebal
sekarang. Rasa senasib-sepenanggungan tertanam dalam diri mereka saat ini.
Makanya, persaingan itu sudah mulai tidak Nampak sekarang.
Lha njuk piye
sing bener?
Bundet ndasku. Sejenak
kuberpikir, berfilosofi mengenai hal ini. Kuseruput kopiku di teras depan
rumahku, hingga kebundetan yang ada di kepalaku ini kembali terbredeli; persaingan itu masih ada,
meskipun sudah terminimalisir! Ya, telah kutemukan sintesis dari tesis dan
antitesis yang telah kujumpai dan kupertemukan sebelumnya. Persaingan itu
ternyata masih ada, hanya saja hal itu terjadi di luar terminal! Kok bisa?
Law
of Terminal
Agus
pernah bercerita padaku.
“Di
terminal, semuanya telah diatur dan diawasi. Ada mandor yang mengatur semuanya,
ada pula Dinas Lalu-Lintas, DLL. Makanya, di terminal sopir-sopir itu tidak
bersaing dan rebutan penumpang. Mereka rebutannya di jalanan, street fighter’lah.” Sore itu aku teringat
akan ucapan Agus ini. Nah, dari situlah aku melihat adanya sebuah law, law yang membuat sopir-sopir itu
bersaing di luar terminal, di jalanan. Law
ini tidak berlaku di jalanan, maka dari itulah mereka bersaing di jalanan.
Nah,
sekarang sudah jelaslah masalah yang ada. Kuseruput lagi kopiku, kutarik
akar-akar masalah dari problem persaingan yang tengah kugeluti. Setelah
kutelisiki lebih lanjut, ternyata akarnya itu ada dua: sistem dan
budaya-mentalitas. Coba saja bayangkan; dari segi sistem, bukankah tidak akan
terjadi persaingan semacam itu apabila sistem setoran tidak seketat yang
seharusnya? Juga apabila tanggung jawab atas kendaraan dibagi antara “si bos”
dengan si sopir? Sementara itu, perihal mentalitas “ego” yang emosional dan
budaya kendaraan pribadi mengambil peran dalam segi budaya-mentalitas. Coba
kalau para sopir tidak emosian, tentu perkelahian akan terminimalisir. Makanya,
toleransi yang semakin berkembang sebenarnya merupakan progress yang
benar-benar baik dalam hal ini. Ya, sebenarnya… Bayangkan juga kalau masyarakat
mulai kembali pada budaya kendaraan umum dan melepas secara perlahan budaya
kendaraan pribadi, bukankah penumpang akan kembali meningkat seperti sedia
kala? Dengan demikian semakin sejahteralah kehidupan mereka, dan semua ini
tentu tak lepas dari peran penting dinas perhubungan dan transportasi dalam
upaya revitalisasi budaya kendaraan umum itu.
Eh,
ternyata aku sudah membayangkan sebuah penyelesaian atas problem yang dengan
iseng kupikirkan ini. Akhirnya, jelaslah semua! Yah, seandainya saja semua ini
terealisasi. Atau, tak usah jauh-jauh’lah, seandainya saja ada yang bisa kuajak
berbagai kebundetanku ini. Mungkin kemudian akan ada seseorang yang tertarik
dengan filosofiku ini, dan kemudian menawarkan sebuah tawaran padaku untuk
merealisasikan semua pemikiranku ini. Tapi, ya sudahlah. Biarlah harapan itu
tetap menjadi sebuah harapan semata. Yang penting rasa penasaranku sekarang
sudah terpenuhi, dan seruan-seruan para kernet itu pun tidak lagi
terngiang-ngiang dalam benakku sembari menghantuiku sepanjang waktu. Biar
bagaimanapun juga, para kernet itu tetap akan berseru-seru mencari penumpang
selama mereka masih merangkul pekerjaan mereka itu. Jadi, ya mau bagaimana
lagi. Kuhabiskan kopiku, kulangkahkan kakiku ke kamar tidur untuk beristirahat
di petang yang telah menjelma menjadi malam. Semoga malam ini aku bermimpi,
memimpikan Agus, sopir-sopir, para kernet, juga segenap penghuni terminal
lainnya, tertawa bersama-sama dalam suasana yang guyub rukun, aman sentosa.
No comments:
Post a Comment