Thursday, April 9, 2020

Sudut Pandang Budaya - The Law of Terminal


The Law of Terminal
“Perjuangan hidup dan persaingan para buruh angkutan”
Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto

*** 

Suatu ketika, aku sedang dalam perjalanan menuju Yogyakarta. Saat itu aku sedang naik bis jurusan Semarang-Yogya yang malang-melintang di jalan Magelang. Perjalanan kunikmati di bis, sembari menikmati alunan musik dangdut pengamen jalanan.
Setengah jam berlalu tanpa pamit, aku pun tiba di terminal Jombor di Yogyakarta. Langkah kaki pertamaku di sana disambut oleh seruan penuh harap para kernet bis yang ada di sana.
“Arep nang ngendi, Mas?”
“Malioboro, Mas! Malioboro!”
“Kotagede, Mas?”
Seruan-seruan itu hanya kujawab dengan senyum simpul. Aku pun berlalu, pergi ke rumah orangtuaku, naik busway. Saat itu seruan-seruan itu masih terngiang-ngiang di benakku. Bagaimana bisa mereka berseru-seru sampai seperti itu? Terekonstruksilah dalam benakku bis-bis kota yang penuh sesak akan penumpang, perkelahian antar kernet yang dulu pernah kusaksikan di Ambarawa, dan berbagai fenomena lain seputar kehidupan para penunggang “banteng besi” di terminal. Kok isa ngono, lho. Keheranan dan rasa penasaran pun menyerbuku seketika, menenggelamkanku dalam kebundetan filosofi dalam benakku atas berbagai fenomena itu.
Ada apa, gerangan?
Memikirkan hal ini, aku pun teringat akan temanku, Agus, seorang gentho angkot di terminal Muntilan. Kami sering bertukar cerita kehidupan kami masing-masing, dan dari sanalah aku mulai mengenal kehidupan para penunggang “banteng besi”. Mereka hidup dalam sistem buruh, di mana bos mereka mempercayakan angkotnya pada mereka untuk dipakai; dipakai cari uang, tentunya. Tak jarang pula Agus mengeluhkan berbagai perihal hidupnya; istrinya yang hamil tua, keinginannya hidup kaya, teman kerjanya yang korup, dsb. Dari dialah aku tahu, beratnya kompetisi di antara para “penunggang”.
Di sinilah kebundetan filosofiku semakin bundet. Aku mulai meraba-raba alasan dari terjadinya pelbagai kompetisi yang bahkan bisa berujung pada perkelahian antar sopir itu. Sebenarnya semua ini tak ada hubungannya denganku, namun apa boleh buat, aku terlanjur penasaran.

Meraba
Mungkin semua itu terjadi karena para sopir dan kernet itu mempunyai anak dan istri yang menanti sesendok nasi di rumah. Mungkin juga karena sopir-sopir itu masih berpikir, “duit akeh, urip leyeh-leyeh”. Mungkin saja karena mereka harus nyetor uang ke bos mereka. Ya, mungkin saja.
 Tapi, masa aku hanya meraba-raba saja? Tidak, aku tidak boleh hanya meraba-raba saja. Saru, ora ilok. Aku harus melihat, apa yang kuraba. Benar, atau tidak? Untuk itulah aku memutuskan untuk ngobrol dengan lebih banyak penghuni terminal mengenai hal ini. Maka berangkatlah aku ke terminal, nggambleh dengan banyak orang.
Aku ngobrol dengan sopir, kernet, mandor, penumpang, ibu-ibu penjual salak, loper koran, bakul es, bakul duren, calo, penjual rokok, dan tak lupa, Agus. Hampir semua orang itu memberi jawaban yang sama kepadaku, setoran.
“Ya ngono kuwi, Mas. Setoran.”
“Kejar setoran, kang.”
“Setoran, Bung.”
Meski begitu ada pula hal-hal lain yang diceritakan kepadaku, seperti si “banteng besi” yang sepenuhnya ditanggungkan pada sang penunggang, sopir-sopir yang emosian, sopir-sopir yang korupsi setoran, bahkan adanya toleransi antar sopir. Ada pula hal lain, yaitu jumlah penumpang yang semakin hari semakin sedikit saja. Dulu orang-orang masih minat naik angkot, tapi sekarang orang-orang lebih suka naik mio, avanza, jazz, dsb. Apalagi kendaraan-kendaraan itu sekarang lebih mudah didapat dengan kreditan. Alhasil tengsinlah para sopir angkot, kehabisan penumpang yang dulunya sempat dan “bisa”  diperebutkan. Jadi, sekarang perebutan pun berkurang. Lha sing direbutake apa, jal?
Demikianlah, aku ngobrol siang-malam dengan para kawula alit itu. Asyik, lho, beneran. Aku pun semakin puas dengan semua obrolan yang aku lalui, sebab dengan demikian kebundetan yang nangkring di benak aku ini pun semakin bundet sekaligus lurus (lho?), sedikit demi sedikit. Bundet karena tambah kebak, lurus karena tambah cetha.

Antara ada dan tiada
Sepulangnya di rumah, aku pun tersenyum puas. Aku sudah dapat menarik ujung filosofiku, sedikit demi sedikit! Dari berbagai kesaksian sekaligus curhatan yang telah kulahap sebelumnya, aku semakin memahami problem persaingan yang tengah kumumeti ini. Ternyata, usut punya usut, persaingan itu ada, sekialigus tiada! Nah, lo. Piye, maksud’e?
Persaingan antar sopir dan kernet itu masih eksis hingga sekarang karena adanya beberapa hal, yaitu sistem setoran dari “si bos”, sopir-sopir sendiri yang umumnya emosian, korupsi para sopir berkenaan dengan uang setoran mereka (jadi jangan bayangkan korupsi itu hanya semata-mata kejahatan kaum berdasi saja), kendaraan yang menjadi tanggungan pribadi masing-masing sopir, dan penumpang yang dulunya masih banyak. Masih ingat’kan, budaya kendaraan umum yang masih ngetrend, yang baru saja aku ceritakan? Tak jarang pula sopir-sopir itu sudah emosi sejak berangkat kerja dari rumah. Jadi, emosi itu terbawa dah ke pekerjaan. Makanya, kalau mereka senggel sedikit saja, bisa saja terjadi perkelahian yang seru. Sistem setoran sendiri memacu mereka untuk mencari setoran yang lebih, begitu juga dengan tangggungan kendaraan yang membuat mereka terpacu pula untuk mencari setoran lebih agar tidak tekor. Trus, soal korupsi? Kalau yang itu sih tak jauh-jauh amat dengan budaya dan temperamen rakyat Indonesia yang rakus (umumnya, lho. Ngga semuanya… Istilah kerennya, generalisasi). Makanya lagi-lagi terjadilah yang namanya persaingan, dan oleh karena itulah persaingan masih eksis sampai sekarang.
Nah, di satu sisi, persaingan itu ternyata telah terminimalisir. Kok bisa? Ya bisa saja. Hal ini terjadi karena sekarang penumpang sudah jauh berkurang dengan merebaknya budaya kendaraan pribadi dan semakin majunya kendaraan-kendaraan pribadi saat ini. Lha kalau penumpangnya minim, yang mau direbutkan apa, coba? Hal ini ternyata tak lepas pula dari kebijakan kredit yang diselenggarakan oleh pihak produsen kendaraan-kendaraan tersebut. Dengan kebijakan itu, orang pun semakin dimudahkan untuk memperoleh kendaraan pribadi. Tekor’kan jadinya, mereka? Maka dari itulah toleransi antar sopir dan kernet pun semakin menebal sekarang. Rasa senasib-sepenanggungan tertanam dalam diri mereka saat ini. Makanya, persaingan itu sudah mulai tidak Nampak sekarang.
Lha njuk piye sing bener?
Bundet ndasku. Sejenak kuberpikir, berfilosofi mengenai hal ini. Kuseruput kopiku di teras depan rumahku, hingga kebundetan yang ada di kepalaku ini kembali terbredeli; persaingan itu masih ada, meskipun sudah terminimalisir! Ya, telah kutemukan sintesis dari tesis dan antitesis yang telah kujumpai dan kupertemukan sebelumnya. Persaingan itu ternyata masih ada, hanya saja hal itu terjadi di luar terminal! Kok bisa?

Law of Terminal
Agus pernah bercerita padaku.
“Di terminal, semuanya telah diatur dan diawasi. Ada mandor yang mengatur semuanya, ada pula Dinas Lalu-Lintas, DLL. Makanya, di terminal sopir-sopir itu tidak bersaing dan rebutan penumpang. Mereka rebutannya di jalanan, street fighter’lah.” Sore itu aku teringat akan ucapan Agus ini. Nah, dari situlah aku melihat adanya sebuah law, law yang membuat sopir-sopir itu bersaing di luar terminal, di jalanan. Law ini tidak berlaku di jalanan, maka dari itulah mereka bersaing di jalanan.
Nah, sekarang sudah jelaslah masalah yang ada. Kuseruput lagi kopiku, kutarik akar-akar masalah dari problem persaingan yang tengah kugeluti. Setelah kutelisiki lebih lanjut, ternyata akarnya itu ada dua: sistem dan budaya-mentalitas. Coba saja bayangkan; dari segi sistem, bukankah tidak akan terjadi persaingan semacam itu apabila sistem setoran tidak seketat yang seharusnya? Juga apabila tanggung jawab atas kendaraan dibagi antara “si bos” dengan si sopir? Sementara itu, perihal mentalitas “ego” yang emosional dan budaya kendaraan pribadi mengambil peran dalam segi budaya-mentalitas. Coba kalau para sopir tidak emosian, tentu perkelahian akan terminimalisir. Makanya, toleransi yang semakin berkembang sebenarnya merupakan progress yang benar-benar baik dalam hal ini. Ya, sebenarnya… Bayangkan juga kalau masyarakat mulai kembali pada budaya kendaraan umum dan melepas secara perlahan budaya kendaraan pribadi, bukankah penumpang akan kembali meningkat seperti sedia kala? Dengan demikian semakin sejahteralah kehidupan mereka, dan semua ini tentu tak lepas dari peran penting dinas perhubungan dan transportasi dalam upaya revitalisasi budaya kendaraan umum itu.
Eh, ternyata aku sudah membayangkan sebuah penyelesaian atas problem yang dengan iseng kupikirkan ini. Akhirnya, jelaslah semua! Yah, seandainya saja semua ini terealisasi. Atau, tak usah jauh-jauh’lah, seandainya saja ada yang bisa kuajak berbagai kebundetanku ini. Mungkin kemudian akan ada seseorang yang tertarik dengan filosofiku ini, dan kemudian menawarkan sebuah tawaran padaku untuk merealisasikan semua pemikiranku ini. Tapi, ya sudahlah. Biarlah harapan itu tetap menjadi sebuah harapan semata. Yang penting rasa penasaranku sekarang sudah terpenuhi, dan seruan-seruan para kernet itu pun tidak lagi terngiang-ngiang dalam benakku sembari menghantuiku sepanjang waktu. Biar bagaimanapun juga, para kernet itu tetap akan berseru-seru mencari penumpang selama mereka masih merangkul pekerjaan mereka itu. Jadi, ya mau bagaimana lagi. Kuhabiskan kopiku, kulangkahkan kakiku ke kamar tidur untuk beristirahat di petang yang telah menjelma menjadi malam. Semoga malam ini aku bermimpi, memimpikan Agus, sopir-sopir, para kernet, juga segenap penghuni terminal lainnya, tertawa bersama-sama dalam suasana yang guyub rukun, aman sentosa.

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...