Thursday, April 9, 2020

Makalah - Tuhan Pilih Kasih (?)


Tuhan Pilih Kasih (?)
Sebuah makalah atas perikop “Anak yang Hilang” (Luk. 15:11-32)
 Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto
 ***
PENGANTAR
Ada satu perumpaan yang sangat populer dari Injil Lukas: perumpamaan anak yang hilang. Perikop dari Injil Lukas itu identik dengan makna pertobatan dan nilai kasih sejati antara si bungsu dengan ayahnya, hingga saat ini.
Meski begitu, ada satu bagian di akhir kisah yang kerap kali terlewatkan oleh perhatian umat kristiani. Bagian itu mengisahkan sikap iri hati dari si sulung yang tidak terima atas sikap sang ayah terhadap adik lelakinya itu. Menanggapi sikap si sulung, sang ayah hanya mencoba menghiburnya dengan sejumlah nasihat.[1] Tanggapan itu begitu singkat, berbeda dengan perhatian sang ayah yang sedemikian besar kepada si bungsu. Ada apa di balik semua itu? Sedemikian besarkah kasih sang ayah kepada si bungsu? Apakah sang ayah pilih kasih? Lebih jauh lagi, apakah Tuhan sendiri pilih kasih?
Itulah yang hendak kami jawab melalui makalah ini. Pada makalah ini, kami akan mencoba mengulas serta menafsirkan perikop “Anak yang Hilang” dari Injil Lukas dari sudut pandang yang berbeda; sudut pandang anak sulung yang iri hati terhadap adiknya dan tidak menerima sikap sang ayah yang “pilih kasih”. Berikut adalah pembahasannya.

ISI
A.    Anak Sulung dalam Kitab Suci
B.    Pergulatan si Sulung
Anak sulung di dalam perumpamaan itu memang memiliki tantangan yang tidak biasa. Terlebih lagi ketika dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
Menjadi sangat jelas bahwa kepulangan adiknya yang merupakan anak bungsu cukup mengejutkan dirinya. Anak bungsu sudah cukup lancang mengambil harta ayahnya yang menjadi bagian warisannya. Hal ini secara tidak langsung juga melecehkan ayahnya yang masih hidup. Pemberian warisan biasa dilakukan ketika bapa keluarga sudah meninggal. Sementara itu, anak bungsu itu pulang kembali kepada bapanya. Padahal dengan mengambil harta warisannya, anak bungsu dianggap sudah dapat hidup mandiri dan bisa tinggal terpisah dari ayahnya.
Sebagai anak sulung yang ‘disulungkan’, hal ini tentu memicu kemarahannya. Harga dirinya sebagai perpanjangan tangan ayahnya seakan diinjak-injak. Terutama dengan kedatangan anak bungsu yang banyak menyita perhatian ayahnya. Kemarahan itu semakin memuncak di dalam kata-katanya[2]. Bahkan, anak sulung dengan kasar menyebut anak bungsu dengan istilah ‘anakmu’ (berdasarkan terjemahan asli dari Injil Lukas)[3]. Anak sulung tidak lagi mengakui anak bungsu sebagai adiknya. Begitu pula ia tidak mengakui ayahnya lagi.
Kemarahan ini memang merupakan suatu hal yang sangat wajar sebagai seorang manusia. Terutama dengan melihat latar belakang anak sulung ketika dihadapkan kepada sikap Bapa kepada anak bungsu. Bisa dikatakan pula bahwa sikap ini menyatakan sifat kedagingan anak sulung. Manusia sangat lemah dengan godaan. Kedatangan anak bungsu dan perilaku Bapa sangat jelas memunculkan rasa iri di dalam diri anak sulung. Iri hati inilah yang sangat mudah masuk ke dalam kehidupan manusia. Hal ini termasuk di dalam salah satu dari tujuh dosa pokok yang senantiasa mengiringi langkah hidup manusia[4] . Menjadi jelas bahwa di balik perumpamaan anak yang hilang ada pula sosok anak sulung yang iri hati.
Akan tetapi, Yesus mengajak para pengikutnya untuk menjadi manusia yang berbeda. Sikap Bapa kepada anak sulung dengan sangat jelas menggambarkan hal ini. Beberapa tafsir kitab suci menganggap bahwa perumpamaan ini ditujukan kepada para Ahli Taurat dan Farisi. Namun, perumpamaan ini ternyata juga bisa menjadi sangat relevan bagi semua pengikut Yesus. Dengan penuh kasih, Bapa berpesan kepada anak sulung, “Anakku… segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.”[5] Anak sulung sudah tidak lagi menganggap keberadaan ayahnya. Tetapi Bapa masih menganggap anak sulung sebagai anaknya. Bapa mengajak anak sulung untuk menjadi saleh dan baik hati. Ia ditantang untuk tidak memandang suatu peristiwa dengan melihat ganjarannya.[6] Hal ini juga sejalan dengan ajaran Kristiani yang tidak mempercayai adanya karma[7]. Sikap Bapa menunjukkan sikap Allah Bapa sendiri yang maha pengasih. Ia menerima semua anaknya apa adanya. Ia juga peka terhadap kondisi dan pergulatan anak-anaknya. Akan tetapi, apakah berarti perbedaan perilaku yang ditunjukkan Bapa kepada kedua anaknya ini menunjukkan sikap Allah Bapa yang pilih kasih kepada manusia?

C.      Amanat Lukas
Melihat konteks zaman, banyak hal yang ingin disampaikan Lukas pada jemaat zaman itu. Telah diketahui bahwa secara garis besar, jemaat zaman itu adlaah jemaat yang sedang kehilangan pegangan  iman akan Yesus Kristus. Bisa dikatakan bahwa jemaat jauh dan kurang percaya akan adanya Yesus Kristus. Oleh karena itu, ada saru tugas pokok yang ingin diembang oleh Lukas, yakni meyakinkan dan mengembalikan iman jemaat akan Yesus Kristus.
Perumpamaan tentang anak yang hilang juga menjadi sarana Lukas untuk mengembalikan iman jemaat akan Yesus. Sebenarnya perumpamaan tentang anak yang hilang dapat dilihat dari dua sisi, yakni anak sulung dan anak bungsu. Karakter anak bungsu menggambarakan sebagian besar jemaat zaman itu, yakni yang kehilangan pegangan. Dapat dilihat bahwa anak bungsu meninggalkan bapanya yang menggambarkan Yesus untuk berfoya-foya dan memuja barang duniawi. Pada saat itu, jemaat jauh dari Yesus sendiri. Lukas begitu cerdas karena memberikan gambaran kesengsaraan anak bungsu yang berfoya-foya dan meninggalkan bapa. Gambaran kesengsaraan ini diharapkan mampu menggabarkan bagaimana kondisi jemat kelak seandainya jauh dari Yesus. Lebih tegas lagi bahwa Lukas ingin menunjukkan bahwa jemaat yang jauh dari Yesus berada dalam jalur yang salah.
Perspektif kedua dapat dilihat dari sudut pandang anak sulung yang sudah dekat dengan Bapa. Karakter anak sulung menggambarkan sebagian kecil jemaat yang sudah percaya akan adanya sang juru selamat, yakni Yesus sendiri. Kisah anak sulung mampu menggambarkan sifat bangsa yang iri hati pada bangsa yang bertobat (digambarkan dengan anak bungsu yang kembali kepada Bapa). Lukas ingin menyampaikan bahwa tidak selayaknya  bangsa yang percaya mempunyai rasa benci dan  iri pada jemaat yang bertobat, melainkan menerima sebagai saudara yang percaya pada Allah.
Di lain sisi perumpamaan tentang anak yang hilang ingin menyampaikan sosok Yesus sendiri yang Maha Pengampun. Kisah Bapa yang mau menerima kembali anak bungsu, ingin mengungkapkan kepada jemaat ketidakpercayaan akan Yesus bukan akhir dari segalanya, melainkan ada kesempatan untuk bertobat dan kembali pada Yesus yang pasti akan menerima dengan baik. Bagi anak bungsu, Yesus Maha Pengampun, tapi bagi anak sulung, sungguh kan  Yesus Maha Adil?

D.      Tuhan Pilih Kasih ?
Kisah tentang anak yang hilang ada dalam injil Lukas bab 15. Kisah itu termasuk dalam rangkaian kisah yang hendak menggambarkan sosok Allah sebagai Bapa pada Lukas bab 15, yang dalam arti tertentu dapat disebut pusat injil Lukas.[8] Allah adalah Bapa Yang Mahabaik, yang mencari domba-domba-Nya, yang menunggu dengan setia setiap orang yang kembali ke pangkuan-Nya.[9] Maka dapat disimpulkan pula bahwa Allah digambarkan sebagai Bapa yang Mahapengasih dan Penyayang.
Kembali pada kisah anak yang hilang. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sang ayah dalam kisah itu mengasihi kedua anaknya, namun memberikan perhatian yang berbeda kepada masing-masing dari mereka. Sang ayah seolah lebih mengasihi si bungsu daripada si sulung yang tekun dan setia dalam pekerjaannya. Diadakannya pesta bagi si bungsu yang bertobat dan kembali padanya, sementara si sulung tidak pernah mengalami perlakuan yang serupa dengan segala jerih payah yang ada padanya. Dengan demikian, apakah sang ayah pilih kasih? Lebih dalam lagi, apakah Lukas juga menggambarkan sosok Tuhan yang sedemikian rupa? Bapa yang pilih kasih, itukah sosok Allah yang dimaksud oleh Lukas?
Sebagai anak sulung yang ‘disulungkan’, si sulung dipandang sebagai sosok anak yang tekun, dewasa dan setia dalam tanggung-jawab. Dengan pandangan itu, sang ayah berusaha meyakinkan si sulung bahwa dia pun mengasihinya.[10] Dia melakukannya dengan cara yang tidak bertele-tele; singkat, padat dan jelas, dengan keyakinan bahwa si sulung tidak memerlukan perhatian dan pendampingan yang sedemikian besar layaknya yang diberikan sang ayah kepada si bungsu. Di sanalah tersirat sebuah pesan yang hendak disampaikan oleh sang ayah kepada si sulung, ”Adikmu sedang membutuhkan perhatian yang lebih daripada dirimu.” Tentu perhatian yang dimaksud tidak bisa disamakan dengan kasih sayang yang berbeda ukuran. Kasih memang tertuang dalam wujud perhatian, namun hal itu tidak memutlakkan subyek alias pelaku dari kasih itu sendiri untuk memberikan perhatian yang sama kepada setiap orang di sekitarnya.
Sang ayah tidak menyangkal kesetiaan si sulung. Sesuatu yang lebih penting terjadi di sini: seorang anak dan saudara telah kembali dari kematian.[11] Sang ayah tidak pilih kasih, sebaliknya, dia mengasihi semua anaknya dan dengan demikian mengajak si sulung untuk ikut merayakan kepulangan si bungsu bertolak dari kasihnya itu. Namun bagaimana hal itu menunjukkan kasih yang “sama” kepada kedua anak, baik sulung maupun bungsu?
Si sulung terbutakan oleh harta milik dan rasa benar sendiri.[12] Dia jatuh dalam rasa pamrih yang diperolehnya dari rasa irinya pada si bungsu yang memperoleh perlakuan yang begitu istimewa dari sang ayah, sementara dia tidak memperoleh hal serupa dengan segala kesetiaan dan kerja kerasnya selama itu. Inilah yang hendak diluruskan oleh sang ayah. Dia ingin membuka mata si sulung dari keterbutaannya itu, menyelamatkannya dari roh jahat yang menjeratnya dalam rasa iri hati dan pamrih diri.  Sekali lagi, sang ayah tahu bahwa si sulung sudah cukup dewasa untuk memahami apa yang dia maksud. Maka dia tidak bertele-tele dalam mendampinginya sebagaimana dia mendampingi si bungsu (meski tidak berarti bahwa sang ayah lantas bertele-tele dengan si bungsu. Yang ditekankan di sini adalah intensitas perhatian yang nyata dan memang berbeda kepada diri mereka masing-masing. Meski begitu, perbedaan itu tidak lantas menunjukkan intensitas kasih yang berbeda kepada masing-masing anak). Dengan demikian, sang ayah telah menunjukkan kasih yang tidak kalah besar daripada kasihnya kepada si bungsu. Dia telah menunjukkan kasih seorang ayah yang tidak ingin anaknya jatuh dalam jerat tipu roh jahat apapun bentuknya, baik itu materialisme (si bungsu) maupun egosentrisme yang mewujud dalam rupa iri hati dan pamrih diri (si sulung). Dia ingin semua anaknya bersuka-cita bersamanya, dalam rangka kepulangan si bungsu dari kematian. Maka jelaslah bahwa sang ayah bukanlah bapa yang pilih kasih, demikian juga dengan sosok Allah Bapa yang dimaksud oleh Lukas.
Semua itu menggambarkan pula gambaran kasih Tuhan. Layaknya orangtua yang mengasihi anak-anaknya, tak mungkin orangtua memberikan perhatian kepada anak mereka yang sudah kuliah sebagaimana mereka memberi perhatian kepada anak mereka yang masih bayi. Orangtua tetap mengasihi mereka masing-masing, meski dengan bentuk dan intensitas perhatian yang berbeda satu sama lain. Begitu pula dengan Allah pada diri kita, umat manusia. Bagi kita yang “sudah menjadi sulung”, Allah berkenan agar kita bertekun setia dalam pekerjaan dan tugas-tanggung jawab kita masing-masing bagi Tuhan dan sesama secara rendah hati dan tanpa pamrih, sembari bersadar diri bahwa kita bukanlah lagi bayi yang harus “ditimang dan disusui”.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa Gereja tidak identik dengan komunisme; sama rasa, sama rata. Wujud kasih sayang sang ayah dalam kisah anak yang hilang dengan tegas menunjukkan hal itu. Kasih diungkapkan-Nya dengan intensitas yang sama kepada semua orang, namun dalam wujud serta intensitas perhatian yang berbeda satu-sama lain. Sebab jika iya, maka tidak akan ada perbedaan tingkat kesejahteraan hidup di dunia ini. Semua orang akan hidup dalam kemakmuran yang begitu berlimpah. Namun, justru dalam perbedaan itulah Allah hadir bagi umat-Nya. Dia mengasihi semua umat-Nya dengan cara yang unik dan berbeda bagi masing-masing orang.
Bertolak dari hal itulah muncul sebuah pegangan dalam Gereja itu sendiri, khususnya dalam kalangan hirarki: nemo dat quod non habet, sebuah pegangan yang mendorong Gereja untuk bekerja dalam kesetiaan dan ketekunan layaknya si sulung guna memperoleh apa yang mereka butuhkan untuk kemudian diberikan bagi Tuhan dan sesama. Hanya saja dalam ketekunan dan kesetiaan macam itulah lahir godaan seperti kesombongan, iri hati dan pamrih diri (layaknya yang dialami oleh si sulung). Hal ini telah dijumpai oleh banyak orang dewasa ini dalam gempuran arus globalisasi yang begitu erat dengan arus kompetisi dan menuntut ketekunan diri. Dalam situasi itu, kita semestinya sadar diri dan sadar posisi. Apakah kita tergolong sebagai si bungsu, atau si sulung? Apabila kita tergolong sebagai si sulung, maka dalam kekayaan akan keutamaan yang ada pada diri kita sudah semestinyalah kita berbagi pada sesama; bukannya begitu saja menuntut upah yang setimpal atas apa yang telah kita perbuat. Perumpamaan kasar dari kalangan orang jawa sangat mewakili hal ini: wong tumindak becik kuwi kudune kaya wong ngising nang kali, yen wis ceblok, yo keli nang kali. Dengan demikian, kita sadar pula akan kasih Allah yang sejati dan sesungguhnya tidak pilih kasih; sebuah teladan yang semestinya pula kita teladani.


[1]Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersuka-cita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”(Luk. 15:31-32)
[2] Lih. Luk 15, 29-30
[3] Lembaga Biblika Indonesia.Tafsir Perjajian Baru 3 : Injil Lukas.Penerbitan Yayasan Kanisius.Yogyakarta:1981. hlm. 176
[4] Refrensi roh baik dan roh jahat?
[5] Lih. Luk 15, 31
[6] Dister. Dr. Nico Syukur OFM.Kristologi, Sebuah Sketsa.Penerbit Yayasan Kanisius.Yogyakarta:1978.hlm. 77
[7] Refrensi arti karma.
[8] Ig. Soeharyo, Pengantar Injil Sinoptik, …, Hal. 122.
[9] Ig. Soeharyo, Pengantar Injil Sinoptik, …, Hal. 122.
[10]Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu… (Luk. 15:31)
[11] Tafsir Alkitab PB, hal. 143
[12] Bdk. Tafsir Alkitab PB, hal. 143

No comments:

Post a Comment

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...