Tuhan Pilih Kasih (?)
Sebuah
makalah atas perikop “Anak yang Hilang” (Luk. 15:11-32)
PENGANTAR
Ada satu perumpaan yang sangat
populer dari Injil Lukas: perumpamaan anak yang hilang. Perikop dari Injil
Lukas itu identik dengan makna pertobatan dan nilai kasih sejati antara si
bungsu dengan ayahnya, hingga saat ini.
Meski begitu, ada satu bagian di
akhir kisah yang kerap kali terlewatkan oleh perhatian umat kristiani. Bagian
itu mengisahkan sikap iri hati dari si sulung yang tidak terima atas sikap sang
ayah
terhadap adik lelakinya itu. Menanggapi sikap si sulung, sang ayah hanya mencoba
menghiburnya dengan sejumlah nasihat.[1] Tanggapan itu
begitu singkat, berbeda dengan perhatian sang ayah yang sedemikian besar kepada
si bungsu. Ada apa di balik semua itu? Sedemikian besarkah kasih sang ayah
kepada si bungsu? Apakah sang ayah pilih kasih? Lebih jauh lagi, apakah Tuhan
sendiri pilih kasih?
Itulah yang
hendak kami jawab melalui makalah ini. Pada makalah ini, kami akan mencoba
mengulas serta menafsirkan perikop “Anak yang Hilang” dari Injil Lukas dari
sudut pandang yang berbeda; sudut pandang anak sulung yang iri hati terhadap
adiknya dan tidak menerima sikap sang ayah yang “pilih kasih”. Berikut adalah
pembahasannya.
ISI
A.
Anak Sulung dalam Kitab Suci
B.
Pergulatan si Sulung
Anak
sulung di dalam perumpamaan itu memang memiliki tantangan yang tidak biasa.
Terlebih lagi ketika dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
Menjadi
sangat jelas bahwa kepulangan adiknya yang merupakan anak bungsu cukup
mengejutkan dirinya. Anak bungsu sudah cukup lancang mengambil harta ayahnya
yang menjadi bagian warisannya. Hal ini secara tidak langsung juga melecehkan
ayahnya yang masih hidup. Pemberian warisan biasa dilakukan ketika bapa
keluarga sudah meninggal. Sementara itu, anak bungsu itu pulang kembali kepada
bapanya. Padahal dengan mengambil harta warisannya, anak bungsu dianggap sudah
dapat hidup mandiri dan bisa tinggal terpisah dari ayahnya.
Sebagai
anak sulung yang ‘disulungkan’, hal ini tentu memicu kemarahannya. Harga
dirinya sebagai perpanjangan tangan ayahnya seakan diinjak-injak. Terutama
dengan kedatangan anak bungsu yang banyak menyita perhatian ayahnya. Kemarahan
itu semakin memuncak di dalam kata-katanya[2]. Bahkan, anak sulung
dengan kasar menyebut anak bungsu dengan istilah ‘anakmu’ (berdasarkan
terjemahan asli dari Injil Lukas)[3]. Anak sulung tidak lagi
mengakui anak bungsu sebagai adiknya. Begitu pula ia tidak mengakui ayahnya
lagi.
Kemarahan
ini memang merupakan suatu hal yang sangat wajar sebagai seorang manusia.
Terutama dengan melihat latar belakang anak sulung ketika dihadapkan kepada
sikap Bapa kepada anak bungsu. Bisa dikatakan pula bahwa sikap ini menyatakan
sifat kedagingan anak sulung. Manusia sangat lemah dengan godaan. Kedatangan
anak bungsu dan perilaku Bapa sangat jelas memunculkan rasa iri di dalam diri
anak sulung. Iri hati inilah yang sangat mudah masuk ke dalam kehidupan
manusia. Hal ini termasuk di dalam salah satu dari tujuh dosa pokok yang
senantiasa mengiringi langkah hidup manusia[4] . Menjadi jelas bahwa di
balik perumpamaan anak yang hilang ada pula sosok anak sulung yang iri hati.
Akan
tetapi, Yesus mengajak para pengikutnya untuk menjadi manusia yang berbeda.
Sikap Bapa kepada anak sulung dengan sangat jelas menggambarkan hal ini.
Beberapa tafsir kitab suci menganggap bahwa perumpamaan ini ditujukan kepada
para Ahli Taurat dan Farisi. Namun, perumpamaan ini ternyata juga bisa menjadi
sangat relevan bagi semua pengikut Yesus. Dengan penuh kasih, Bapa berpesan
kepada anak sulung, “Anakku… segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.”[5] Anak sulung sudah tidak
lagi menganggap keberadaan ayahnya. Tetapi Bapa masih menganggap anak sulung
sebagai anaknya. Bapa mengajak anak sulung untuk menjadi saleh dan baik hati.
Ia ditantang untuk tidak memandang suatu peristiwa dengan melihat ganjarannya.[6] Hal ini juga sejalan
dengan ajaran Kristiani yang tidak mempercayai adanya karma[7]. Sikap Bapa menunjukkan
sikap Allah Bapa sendiri yang maha pengasih. Ia menerima semua anaknya apa
adanya. Ia juga peka terhadap kondisi dan pergulatan anak-anaknya. Akan tetapi,
apakah berarti perbedaan perilaku yang ditunjukkan Bapa kepada kedua anaknya
ini menunjukkan sikap Allah Bapa yang pilih kasih kepada manusia?
C.
Amanat Lukas
Melihat
konteks zaman, banyak hal yang ingin disampaikan Lukas pada jemaat zaman itu.
Telah diketahui bahwa secara garis besar, jemaat zaman itu adlaah jemaat yang
sedang kehilangan pegangan iman akan
Yesus Kristus. Bisa dikatakan bahwa jemaat jauh dan kurang percaya akan adanya
Yesus Kristus. Oleh karena itu, ada saru tugas pokok yang ingin diembang oleh
Lukas, yakni meyakinkan dan mengembalikan iman jemaat akan Yesus Kristus.
Perumpamaan
tentang anak yang hilang juga menjadi sarana Lukas untuk mengembalikan iman
jemaat akan Yesus. Sebenarnya perumpamaan tentang anak yang hilang dapat
dilihat dari dua sisi, yakni anak sulung dan anak bungsu. Karakter anak bungsu
menggambarakan sebagian besar jemaat zaman itu, yakni yang kehilangan pegangan.
Dapat dilihat bahwa anak bungsu meninggalkan bapanya yang menggambarkan Yesus untuk
berfoya-foya dan memuja barang duniawi. Pada saat itu, jemaat jauh dari Yesus
sendiri. Lukas begitu cerdas karena memberikan gambaran kesengsaraan anak
bungsu yang berfoya-foya dan meninggalkan bapa. Gambaran kesengsaraan ini
diharapkan mampu menggabarkan bagaimana kondisi jemat kelak seandainya jauh
dari Yesus. Lebih tegas lagi bahwa Lukas ingin menunjukkan bahwa jemaat yang
jauh dari Yesus berada dalam jalur yang salah.
Perspektif
kedua dapat dilihat dari sudut pandang anak sulung yang sudah dekat dengan
Bapa. Karakter anak sulung menggambarkan sebagian kecil jemaat yang sudah
percaya akan adanya sang juru selamat, yakni Yesus sendiri. Kisah anak sulung
mampu menggambarkan sifat bangsa yang iri hati pada bangsa yang bertobat
(digambarkan dengan anak bungsu yang kembali kepada Bapa). Lukas ingin
menyampaikan bahwa tidak selayaknya
bangsa yang percaya mempunyai rasa benci dan iri pada jemaat yang bertobat, melainkan
menerima sebagai saudara yang percaya pada Allah.
Di
lain sisi perumpamaan tentang anak yang hilang ingin menyampaikan sosok Yesus
sendiri yang Maha Pengampun. Kisah Bapa yang mau menerima kembali anak bungsu,
ingin mengungkapkan kepada jemaat ketidakpercayaan akan Yesus bukan akhir dari
segalanya, melainkan ada kesempatan untuk bertobat dan kembali pada Yesus yang
pasti akan menerima dengan baik. Bagi anak bungsu, Yesus Maha Pengampun, tapi
bagi anak sulung, sungguh kan Yesus Maha
Adil?
D.
Tuhan Pilih Kasih ?
Kisah tentang anak yang hilang ada
dalam injil Lukas bab 15. Kisah itu termasuk dalam rangkaian kisah yang hendak
menggambarkan sosok Allah sebagai Bapa pada Lukas bab 15, yang dalam arti
tertentu dapat disebut pusat injil Lukas.[8] Allah adalah Bapa Yang
Mahabaik, yang mencari domba-domba-Nya, yang menunggu dengan setia setiap orang
yang kembali ke pangkuan-Nya.[9] Maka dapat disimpulkan
pula bahwa Allah digambarkan sebagai Bapa yang Mahapengasih dan Penyayang.
Kembali pada kisah anak yang
hilang. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sang ayah dalam kisah itu mengasihi
kedua anaknya, namun memberikan perhatian yang berbeda kepada masing-masing
dari mereka. Sang ayah seolah lebih mengasihi si bungsu daripada si sulung yang
tekun dan setia dalam pekerjaannya. Diadakannya pesta bagi si bungsu yang
bertobat dan kembali padanya, sementara si sulung tidak pernah mengalami
perlakuan yang serupa dengan segala jerih payah yang ada padanya. Dengan
demikian, apakah sang ayah pilih kasih? Lebih dalam lagi, apakah Lukas juga
menggambarkan sosok Tuhan yang sedemikian rupa? Bapa yang pilih kasih, itukah
sosok Allah yang dimaksud oleh Lukas?
Sebagai anak sulung yang
‘disulungkan’, si sulung dipandang sebagai sosok anak yang tekun, dewasa dan
setia dalam tanggung-jawab. Dengan pandangan itu, sang ayah berusaha meyakinkan
si sulung bahwa dia pun mengasihinya.[10] Dia melakukannya dengan
cara yang tidak bertele-tele; singkat, padat dan jelas, dengan keyakinan bahwa
si sulung tidak memerlukan perhatian dan pendampingan yang sedemikian besar
layaknya yang diberikan sang ayah kepada si bungsu. Di sanalah tersirat sebuah
pesan yang hendak disampaikan oleh sang ayah kepada si sulung, ”Adikmu sedang
membutuhkan perhatian yang lebih daripada dirimu.” Tentu perhatian yang
dimaksud tidak bisa disamakan dengan kasih sayang yang berbeda ukuran. Kasih
memang tertuang dalam wujud perhatian, namun hal itu tidak memutlakkan subyek alias
pelaku dari kasih itu sendiri untuk memberikan perhatian yang sama kepada
setiap orang di sekitarnya.
Sang ayah tidak menyangkal
kesetiaan si sulung. Sesuatu yang lebih penting terjadi di sini: seorang anak
dan saudara telah kembali dari kematian.[11] Sang ayah tidak pilih
kasih, sebaliknya, dia mengasihi semua anaknya dan dengan demikian mengajak si
sulung untuk ikut merayakan kepulangan si bungsu bertolak dari kasihnya itu.
Namun bagaimana hal itu menunjukkan kasih yang “sama” kepada kedua anak, baik
sulung maupun bungsu?
Si sulung terbutakan oleh harta
milik dan rasa benar sendiri.[12] Dia jatuh dalam rasa
pamrih yang diperolehnya dari rasa irinya pada si bungsu yang memperoleh
perlakuan yang begitu istimewa dari sang ayah, sementara dia tidak memperoleh
hal serupa dengan segala kesetiaan dan kerja kerasnya selama itu. Inilah yang
hendak diluruskan oleh sang ayah. Dia ingin membuka mata si sulung dari
keterbutaannya itu, menyelamatkannya dari roh jahat yang menjeratnya dalam rasa
iri hati dan pamrih diri. Sekali lagi,
sang ayah tahu bahwa si sulung sudah cukup dewasa untuk memahami apa yang dia
maksud. Maka dia tidak bertele-tele dalam mendampinginya sebagaimana dia
mendampingi si bungsu (meski tidak berarti bahwa sang ayah lantas bertele-tele
dengan si bungsu. Yang ditekankan di sini adalah intensitas perhatian yang
nyata dan memang berbeda kepada diri mereka masing-masing. Meski begitu,
perbedaan itu tidak lantas menunjukkan intensitas kasih yang berbeda kepada masing-masing
anak). Dengan demikian, sang ayah telah menunjukkan kasih yang tidak kalah
besar daripada kasihnya kepada si bungsu. Dia telah menunjukkan kasih seorang
ayah yang tidak ingin anaknya jatuh dalam jerat tipu roh jahat apapun
bentuknya, baik itu materialisme (si bungsu) maupun egosentrisme yang mewujud
dalam rupa iri hati dan pamrih diri (si sulung). Dia ingin semua anaknya
bersuka-cita bersamanya, dalam rangka kepulangan si bungsu dari kematian. Maka
jelaslah bahwa sang ayah bukanlah bapa yang pilih kasih, demikian juga dengan
sosok Allah Bapa yang dimaksud oleh Lukas.
Semua itu menggambarkan pula
gambaran kasih Tuhan. Layaknya orangtua yang mengasihi anak-anaknya, tak
mungkin orangtua memberikan perhatian kepada anak mereka yang sudah kuliah sebagaimana
mereka memberi perhatian kepada anak mereka yang masih bayi. Orangtua tetap
mengasihi mereka masing-masing, meski dengan bentuk dan intensitas perhatian
yang berbeda satu sama lain. Begitu pula dengan Allah pada diri kita, umat
manusia. Bagi kita yang “sudah menjadi sulung”, Allah berkenan agar kita
bertekun setia dalam pekerjaan dan tugas-tanggung jawab kita masing-masing bagi
Tuhan dan sesama secara rendah hati dan tanpa pamrih, sembari bersadar diri
bahwa kita bukanlah lagi bayi yang harus “ditimang dan disusui”.
Hal lain yang tak kalah pentingnya
adalah bahwa Gereja tidak identik dengan komunisme; sama rasa, sama rata. Wujud
kasih sayang sang ayah dalam kisah anak yang hilang dengan tegas menunjukkan
hal itu. Kasih diungkapkan-Nya dengan intensitas yang sama kepada semua orang,
namun dalam wujud serta intensitas perhatian yang berbeda satu-sama lain. Sebab
jika iya, maka tidak akan ada perbedaan tingkat kesejahteraan hidup di dunia
ini. Semua orang akan hidup dalam kemakmuran yang begitu berlimpah. Namun,
justru dalam perbedaan itulah Allah hadir bagi umat-Nya. Dia mengasihi semua
umat-Nya dengan cara yang unik dan berbeda bagi masing-masing orang.
Bertolak dari hal itulah muncul
sebuah pegangan dalam Gereja itu sendiri, khususnya dalam kalangan hirarki: nemo dat quod non habet, sebuah pegangan
yang mendorong Gereja untuk bekerja dalam kesetiaan dan ketekunan layaknya si
sulung guna memperoleh apa yang mereka butuhkan untuk kemudian diberikan bagi
Tuhan dan sesama. Hanya saja dalam ketekunan dan kesetiaan macam itulah lahir
godaan seperti kesombongan, iri hati dan pamrih diri (layaknya yang dialami
oleh si sulung). Hal ini telah dijumpai oleh banyak orang dewasa ini dalam
gempuran arus globalisasi yang begitu erat dengan arus kompetisi dan menuntut ketekunan
diri. Dalam situasi itu, kita semestinya sadar diri dan sadar posisi. Apakah
kita tergolong sebagai si bungsu, atau si sulung? Apabila kita tergolong
sebagai si sulung, maka dalam kekayaan akan keutamaan yang ada pada diri kita
sudah semestinyalah kita berbagi pada sesama; bukannya begitu saja menuntut
upah yang setimpal atas apa yang telah kita perbuat. Perumpamaan kasar dari
kalangan orang jawa sangat mewakili hal ini: wong tumindak becik kuwi kudune kaya wong ngising nang kali, yen wis
ceblok, yo keli nang kali. Dengan demikian, kita sadar pula akan kasih
Allah yang sejati dan sesungguhnya tidak pilih kasih; sebuah teladan yang
semestinya pula kita teladani.
[1] ”Anakku, engkau
selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita
patut bersuka-cita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup
kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”(Luk. 15:31-32)
[2] Lih. Luk 15, 29-30
[3] Lembaga Biblika Indonesia.Tafsir Perjajian Baru 3 : Injil
Lukas.Penerbitan Yayasan Kanisius.Yogyakarta:1981. hlm. 176
[4] Refrensi roh baik dan
roh jahat?
[5] Lih. Luk 15, 31
[6] Dister. Dr. Nico Syukur OFM.Kristologi, Sebuah Sketsa.Penerbit
Yayasan Kanisius.Yogyakarta:1978.hlm. 77
[7] Refrensi arti karma.
[8] Ig. Soeharyo, Pengantar Injil Sinoptik, …, Hal. 122.
[9] Ig. Soeharyo, Pengantar Injil Sinoptik, …, Hal. 122.
[10] ”Anakku, engkau
selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu… (Luk. 15:31)
[11] Tafsir Alkitab PB, hal.
143
[12] Bdk. Tafsir Alkitab PB,
hal. 143
No comments:
Post a Comment