Sebilah Kaki Keparat
“Isih kuat ora, Ko?”
Aku terhenyak. Nyeri
membelit kaki kananku.
“…ora.”
Peregrinasi. Tak satupun persiapan kulakukan menjelang
peziarahan itu, dan dengan congkaknya aku memulai langkah awalku bersama
rekan-rekan John De Britto. Ego
menyelinap dalam hening perjalananku, mulai dari gerbang seminari.
Ego itu menjelma dalam langkah yang terlampau cepat. Satu
hal berkelebat memenuhi benakku, aku
harus segera sampai ke Girisonta. Langkahku mewarnai irama langkah
teman-temanku, membuat kami berjalan dengan begitu cepatnya, sedemikian cepat,
hingga dalam kurun waktu kurang dari tiga jam kami sudah tiba di perbatasan Secang.
Kami pun beristirahat.
“Wah,
edan! Mlakune kaya setan, cah!”
“Iya,
ora dinikmati. Bar iki alon wae, piye?”
Kudengar pembicaraan teman-temanku. Aku berbaring di atas
balok beton pendek di pinggir jalan, diam tak berkomentar. Sesekali saja aku
turut berbincang dengan mereka. Aku lebih sibuk berkubang dalam benakku. Aku harus segera sampai ke Girisonta.
Kami melanjutkan perjalanan. Sesekali kami berhenti untuk
beristirahat dan meminta minum pada warga. Tak ada kendala, dan kami terus
berjalan. Namun sayang, ego masih memenuhi benakku, merusak irama langkah kami
hampir sepanjang jalan. Aku bahkan sempat berkata pada Oki dan Nando saat kami
beristirahat di sebuah angkringan, “Gimana kalau kita terus berjalan sampai
Ambarawa, tanpa istirahat?” Saat itu sudah pukul tujuh malam, dan dengan kesal Nando menjawab, “Edan pa, kowe!” Keegoisanku pun berbuah
beberapa jam kemudian.
***
“Nah,
kuwi perbatasane!”
Kami terhenyak. Seruan Oki memecah hening langkah kami. Hari
sudah malam, sekitar pukul setengah sebelas.
“Perbatasan apa, Ki?”
“Perbatasan Ambarawa.”
Aku diam seribu bahasa. Nyeri berdenyut di telapak kaki
kiriku jauh sebelum kami tiba di perbatasan. Aku memaki dalam batin. Sial, aku harus sampai Girisonta.
Kusiasati dengan memusatkan berat badan pada kaki kananku.
Kami terus melangkah, melangkah dan melangkah. Tipisnya sandal mengizinkan
bebatuan memijit keras kedua telapak kakiku. Lambat laun nyeri hilang dari kaki
kiriku, namun sayang, nyeri itu tak mau pergi begitu saja dari kakiku.
Langkahku memincang. Kami sudah tiba di Bedono saat itu.
Danang memperhatikan langkahku yang janggal.
“Isih
kuat ora, Ko?”
Aku terhenyak. Nyeri membelit tumit kananku. Engkel.
“Masih, nang.”
Kami terus berjalan. Perlahan nyeri itu menguat, meremukkan
tumit kananku. Langkahku semakin pincang. Aku memaki dalam batin. Aku harus sampai Girisonta.
Kulihat jamku. Pukul sebelas malam. Biasanya kami
beristirahat sekitar sepuluh menit setiap satu jam, dan aku benar-benar
kecanduan istirahat. Aku harus istirahat,
batinku. Dan benar, kami beristirahat di dekat sebuah swalayan kecil. Damas
dan Oki membeli makanan. Kusantap sekeping gula
kacang sembari mengurut tumit kananku. Teman-temanku kembali bertanya, “Piye Ko, isih kuat?” Aku pun menjawab, “Isa tak peksa nganti Ambarawa.”
Kami kembali berjalan. Langkahku semakin memincang. Kembali
kumaki diriku sendiri. Piye iki?
Tiba-tiba langkahku terhenti.
Uahh…
Sial…
Kami berhenti di pinggir jalan. Oki bertanya padaku,
“Ko?
Piye?”
Aku terhenyak. Dalam diam kurasakan nyeri yang begitu hebat.
Cepatnya langkahku mengacaukan seluruh anggota bawilku, juga diriku sendiri.
Egoku merusak segalanya.
Dengan putus asa, kugelengkan kepalaku.
“Ora.”
Kami sempat kembali beristirahat, dan kembali melanjutkan
perjalanan. Damas dan Manggala bahkan sempat memapahku, namun aku pun tetap
memaksakan diri untuk melangkah seorang diri. Aku tak mau menjadi beban bagi teman-temanku. Bertongkatkan
sebatang kayu aku melangkah pincang, hingga akhirnya aku tak sanggup lagi untuk
melangkah. Seluruh anggota bawilku kecewa. Haruskah
kami gagal?
Hanya ada dua pilihan: tetap meneruskan perjalanan dengan
meninggalkanku bersama salah seorang dari kami, atau berhenti dan mencegat bis
atau pick up untuk kami naiki menuju
Ambarawa. Akhirnya Oki mengambil keputusan yang jauh dari rencana kami
sebelumnya:
Menghentikan peregrinasi kami di Ambarawa.
Kami pun beristirahat di teras sebuah rumah di pinggir jalan
Bedono. Berselimutkan selembar handuk, kami tidur berdesak-desakan. Esoknya
kami tiba di Ambarawa dengan sebuah bis, beristirahat di rumah Oki, dan
mengikuti ekaristi di gereja Jago, Ambarawa. Siangnya kami kembali ke Mertoyudan.
***
Hatiku remuk, seremuk kaki kananku. Aku down, benar-benar down. Aku tahu teman-temanku kecewa, dan
semua itu terjadi oleh karena egoku. Di seminari aku pun menutup diri. Namun
teman-temanku tidak menyalahkanku. Mereka tetap menerimaku, bahkan berkata
padaku, “Itu bukan salahmu. Itu hasil diskresi kita bersama.” Aku terharu.
Egoku dibalas dengan altruisme yang begitu dalam, sebuah kekeluargaan yang
sangat berharga. Di sinilah aku sadar, tak hanya aku yang mengalami pergulatan batin.
Mereka pun mengalami hal itu, terlebih saat harus memutuskan untuk menghentikan
perjalanan kami saat itu. Mereka rela melepas ego, demi diriku.
Kami memang tidak sampai ke Girisonta. Kami “gagal”, namun
dalam kegagalan itu kami justru memperoleh rahmat yang berlimpah, rahmat
kekeluargaan dan kerendahan hati. Aku pun belajar untuk lebih menyamakan
“langkah”ku dengan “langkah” teman-temanku berpedomankan altruisme dalam hati.
Sebilah kaki keparat telah menjegal langkah kami menuju
Girisonta, sebilah kaki keparat dengan ego yang pekat mencekat. Namun,
jegalannya justru mengantar kami menuju rahmat yang jauh lebih berlimpah. Mungkin
inilah jalan yang Tuhan tunjukkan, untuk mengantar kami pada limpahan
rahmat-Nya. Kutemukan rahmat kerendahan hati, melalui sebilah kaki keparat ini.
No comments:
Post a Comment