Kesenian Wayang Kulit
yang
Mulai Tidak Tampak Eksistensinya
Oleh
: Paulus Eko Harsanto
Salah
satu seni-budaya warisan nenek moyang kita yang dulu sangat populer dan
dinanti-nanti kehadirannya oleh masyarakat baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan:
kesenian Wayang Kulit kini tampak berjuang keras mempertahankan eksistensinya.
Lambat laun jumlah penggemarnya pun mulai berkurang-tak sebanyak dulu lagi. Memang
ada banyak faktor penyebab berkurangnya animo masyarakat terhadap seni Wayang
Kulit ini, salah satunya adalah munculnya dunia hiburan produk asing yang telah
menjarah seluruh pelosok wilayah di Indonesia ini. Tidak hanya di kota-kota
metropolitan bahkan di dusun-dusun terpencil pun sudah bisa kita rasakan
pengaruh Terminator, Spiderman, Superman, Batman, pelbagai sinetron Indonesia dan sebagainya,
menggantikan kehadiran tokoh-tokoh pewayangan seperti Puntadewa, Werkudoro,
Janaka, Sri Raja Kresna, Sang Panakawan-Semar, Gareng, Petruk dan Bagong, dan
seterusnya. Anak-anak kita kini tampaknya lebih familiar dengan nama-nama
super-hero asing, games di Warnet-warnet dan tempat permainan terdekat dan Handphone
itu daripada nama-nama tokoh pewayangan atau cerita rakyat negeri sendiri. Anak-anak kita itu (juga sebagian dari kita)
kelihatannya merasa lebih sreg, modern dan bonafide bila bisa
mengikuti perkembangan dunia super-hero produk asing itu. Mereka pun tampaknya
bangga sekali kalau memiliki nama dan atribut yang digunakan oleh super-hero
asing itu. Sebaliknya mereka akan berkerut tidak mengerti atau malah mungkin
menolak mentah-mentah ketika diperkenalkan dan diajak rembugan atau nonton
sajian Seni Wayang Kulit yang notabene produk negeri sendiri dengan segala
keindahannya itu. Sungguh
amat disayangkan bila anak-anak kita, generasi penerus seni-budaya dan tradisi kita sudah
mulai tidak mengenal dan tidak peduli lagi pada seni budaya dan tradisi luhur nenek moyang
yang tercipta,
tumbuh dan
berkembang melalui sebuah proses panjang dan tak mudah itu. Sepertinya sinyalemen
adanya sikap-sikap ketidakpedulian dan ketidakmauan anak-anak kita untuk
mengenal, menggali, dan mempelajari seni budaya dan tradisi luhur itu bukanlah
sesuatu sikap yang mengada-ada atau ketakutan yang tidak beralasan. Di saat
yang seperti ini usaha dan karya nyata para pecinta dan aktivis (baca: seniman/seniwati)
seni-budaya dan tradisi luhur yang mengakar di Bumi Pertiwi sungguhlah amat
kita butuhkan. Bukan hanya untuk tujuan 'ngleluri' (melestarikan) tapi
sekaligus 'menggethok-tularkan' (mengajarsampaikan, menyebarluaskan, membimbing)
anak-anak kita yang sudah sedemikian 'kepincut' dan 'kedanan' dengan
tokoh-tokoh super-hero produk asing yang tampil silih-berganti di layar TV setiap
hari di tengah ruang keluarga kita. Akan lebih menggila lagi pengaruh
super-hero asing itu bila ada fasilitas unit komputer beserta aneka variasi
video games dan permainan animasi di rumah, sehingga tidak pelak lagi semakin
bertubi-tubi pula pengaruh kuat super hero asing yang seringkali diwarnai
dengan adegan brutal, ceceran darah, dan bisingnya suara tembakan itu kepada
anak-anak kita itu. Lalu apakah kita harus menolak dan membuang semua yang
berbau teknologi mutakhir dan produk asing? Tentu saja tidak demikian. Hasil
karya manusia yang berupa kreasi teknologi mutakhir (baik itu kreasi domestik
ataupun asing) ini malah sepatutnyalah kita syukuri dan nikmati. Kita
pergunakan dengan sebuah kesadaran penuh bahwa itu semua hanyalah untuk
kebaikan dan kesejahteraan kita semua, terutama anak-anak—generasi penerus kita
di masa mendatang. Bila penggunaan kreasi teknologi mutakhir itu sudah mulai
melenceng dari kesadaran diri itu, maka saatnya ada upaya tegas untuk
menyetopnya. Sebab bila tidak kerusakan dan kehancuran saja yang akan menemani
kita semua. Semoga anak-anak kita nantinya mau menengok, menggali, dan
mempelajari kembali warisan seni budaya dan tradisi luhur nenek moyang kita,
baik itu yang berupa seni Tari, seni pagelaran Wayang Kulit, maupun seni sastra.
Sehingga nantinya gejolak sikap dan praktek brutal, tawuran, balang-balangan
yang menggerogoti mental dan pola pikir anak-anak kita itu bisa terkikis
bersih, digantikan oleh sebuah budaya seni edi peni yang halus dan luhur
yang mampu mengasah budi pekerti dan mempertajam rasa kemanusiaan serta mengembalikan
kemanusiaan anak-anak kita (juga kita) demi kebaikan dan kesejahteraan kita
semua.
Terinspirasi ketika mengikuti perayaan
Puncak Petrus Canisius yang mengambil sebuah tema yang cukup menarik : BERBAGI
BUDAYA BERBAGI BAHAGIA
No comments:
Post a Comment