CARAKA
Oleh : Paulus Eko Harsanto
Hana caraka, data sawala
Padha
jayanya, maga bathanga
***
Engkau percaya dengan berbagai berita yang kau santap setiap
hari? Bual-bual indah nan sistematis, kata demi kata membentuk frasa, frasa
demi frasa saling berangkulan membentuk badan bernama kalimat yang saling
bertumpuk dan melilit, memikul paragraf, memanggul wacana, dalam berita? Sulit
rasanya untuk berkata tidak, meskipun aku dipaksa untuk mempercayainya. Namun
iya. Aku percaya.
Ayahku seorang wartawan. Mengejar berita, membawa kamera,
merekam kisah, dan bergulat setiap hari menyusun kata demi kata, kalimat demi
kalimat dalam susunan yang utuh, teratur dan sistematis, membentuknya menjadi
berita, menyerahkannya kepada redaksi dan editor, hingga akhirnya berita itu
masuk dalam salah satu kolom Harian Rakyat untuk dibaca
oleh khalayak umum yang tak berada di lokasi di mana berita itu lahir dengan
sendirinya, atau lahir dengan bantuan tangan-tangan bidan wartawan. Pernah
suatu ketika aku bertanya, mana yang lebih dulu lahir: wacana, atau berita?
Wacana melahirkan berita, ataukah berita yang melahirkan wacana? “Jangan
memperdebatkan ayam dan telur. Tidak ada habisnya,” ujar Ayahku. Pada akhirnya
aku mengerti, bahwa siapapun yang lahir lebih dahulu, Ayahkulah yang melahirkan
mereka. Dia Ayah dari ratusan berita di kolom-kolom Harian Rakyat.
Ayahku penggemar berita. Hidupnya dihabiskan untuk membaca
berita-berita di berbagai koran setiap pagi. Tak tanggung-tanggung, Ayahku
berlangganan lima koran yang berbeda: Harian Rakyat, Suara Baru,
Media Rakyat, Indo Pos, dan Antara. “Langganan
koran itu harus lebih dari satu, minimal dua. Penting membaca berita dari
berbagai sudut pandang yang berbeda. Setiap koran punya kaca-mata mereka
masing-masing,” ujarnya.
“Tapi
ini lebih dari dua, Pak. Bapak langganan lima.”
“Ya,
lebih banyak lebih baik.”
Ayah
betah membaca berlembar-lembar berita di sana setiap paginya. Koran-koran itu
merupakan saran pagi di samping soto masakan Ibu. Malah, Ayah sering kali lupa
sarapan hanya untuk membaca berita di koran sepanjang pagi di akhir pekan.
Wajahnya selalu tertutup koran setiap pagi, bahkan di meja makan.
“Pak,
sotonya.”
“Iya.”
“Selak
dingin lho, Pak.”
“Iya.”
“Uwis
le, Bapakmu ra doyan soto. Ben sarapan koran wae ben dina.”
Percakapan
itu seolah menjadi percakapan rutin kami setiap pagi di akhir pekan. Maklum,
Ayah sibuk bekerja dari pagi hingga malam setiap harinya. Hanya di akhir
pekanlah Ayah dapat menghabiskan waktunya untuk bersantai dan beristirahat…
…dengan
koran.
Tidak
bosan apa Ayah dengan berita?
“Warta,
pacar pertama Bapakmu itu koran. Yen koran ki wedok, bapakmu
mesti wis rabi karo koran.” Begitulah sambat Ibu
setiap hari. Padahal Ibu juga wartawan, sama seperti Ayah. Mereka bertemu di
Poso ketika Ayah meliput kerusuhan yang terjadi di sana. Dua jurnalis dari dua
koran yang berbeda, jatuh cinta di tengah kerusuhan. Mereka pun pulang ke Jawa,
dan tanpa basa-basi menikah dalam tempo sesingkat-singkatnya. Mungkin mereka
takut dipisahkan oleh berita.
Begitulah
aku lahir di tengah keluarga jurnalis. Ayah dan ibuku sibuk meliput berita
setiap harinya, sementara aku alergi dengan berita. Tidak mudah bagiku untuk
begitu saja mempercayai semua berita yang ada di berbagai media massa, bahkan
liputan ayahku di Harian Rakyat. Butuh waktu
yang panjang hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengerti dan memahami, bahwa
sesungguhnya semua berita itu menyimpan kebenaran yang patut untuk dibaca.
Hingga kebenaran merubah wajah hidup keluargaku.
***
Pagi
itu tidak ada koran.
Hari
itu hari Senin. Ayah tidak berangkat kerja. Dia hanya duduk di depan TV,
menonton berita pagi. Dia tidak bergegas mandi, sarapan, memakai kemeja,
menyeruput sedikit kopi dan berangkat begitu cepat seolah hendak kehilangan
berita yang melulu dikejarnya setiap hari. Ayah terlihat sakit, bukan karena
dia sakit. Dia terlihat pucat.
Ibu
sudah berangkat kerja. Hari itu sekolah libur.
“Pak.”
“Ya.”
“Bapak
tidak berangkat kerja?”
Ayah
terdiam. Kedua matanya menatap kosong layar di hadapannya.
“Pak?”
“Malino…
Helsinki…[1] semua terliput dengan
baik. Tak ada masalah. Kenapa.. kenapa sekarang…”
“Kenapa,
Pak? Ada apa?”
Ayah
masih terdiam. Tak seperti biasanya ayahku terperangkap dalam pikirannya
sendiri. Kedua matanya menatap jauh ke depan, seolah melemparkan beban yang
jauh dan berat di satu titik di mana tatapannya jatuh tepat di depan layar. Dia
memejamkan matanya, menarik nafas yang berat dan panjang, hingga dia mengangkat
tatapannya kepadaku.
“Bapak
dipecat, Ta.”
“Dipecat?”
“Iya.
Semalam Bapak ditelepon oleh atasan. Bapak dipecat.”
Ada
momen kosong yang tidak menyenangkan.
“…kenapa?
Kenapa dipecat? Bapak sudah puluhan tahun menjadi wartawan. Bapak wartawan
senior Harian Rakyat.”
“Sudah,
le. Bapak dipecat.”
“Tapi
kenapa, Pak? Kenapa Bapak dipecat?”
Lagi,
Ayah menjatuhkan tatapannya yang berat ke depan layar televisi. Liputan
Pagi menyiarkan berita hasil pemilu Presiden beberapa hari
yang lalu. Animo masyarakat begitu tinggi menyongsong kepemimpinan Presiden
yang baru. Namun Ayahku tidak.
“Liputan
Bapak ditolak oleh redaksi.”
“Liputan?
Liputan apa?”
“Korupsi,
Nak.”
Kata
itu terdengar lugas dari mulut Ayah. Untuk pertama kalinya mata Ayah kembali
menyala.
“Ada
Korupsi di keluarga presiden kita.”
“Korupsi?”
“Ya.
Korupsi. Trilyunan uang disalah-gunakan dari anggaran negara untuk pemilu tahun
ini. Bapak punya sahabat dekat, intel pemerintah. Begitu mendapat kabar itu,
Bapak langsung menyeledikinya. Bapak mendapat beberapa bukti penting
penyalah-gunaan anggaran itu.”
“Tapi
kenapa redaksi menolak liputan Bapak? Bukannya selama ini liputan Bapak selalu
diterima?”
“Tidak
kali ini, Nak. Harian Rakyat aktif dalam
kampanye presiden kita tahun ini. Teman-teman Bapak semua dapat jatah.
Pencitraan dibangun oleh jurnalis-jurnalis palsu, dan sayangnya, mereka semua
teman-teman Bapak sendiri. Semua berita itu palsu.”
Lagi,
mata Ayah kembali meredup. Siaran pemilu presiden pagi itu tidak lebih dari
sekedar sampah di matanya. Rasa jijik dan enggan menguar di kedua matanya. Ayah
mematikan televisi, lalu merenung seorang diri.
Namun
itu tidak bertahan lama. Pelan tapi pasti, mata Ayah menyala kembali.
“Bapak
tidak mau seperti mereka. Mereka semua wartawan palsu. Bekerja tanpa
mendengarkan hati nurani. Kita, manusia, dikaruniai Allah hati dan budi. Kita
berpikir dengan kepala kita, dan saat itulah budi kita bekerja. Kita merasa
dengan hati kita, dan saat itulah hati nurani kita berkata. Hati nurani itu
pintu suara-Nya. Tak semestinya kita melawan kehendak Allah dalam hati kita.”
“Tapi
Pak, itu hidup Bapak. Bapak wartawan. Bapak tidak bisa tidak meliput berita.”
“Warta,
kamu tahu kisah Hana Caraka?”
“Ada
di sekolah, diajarkan di pelajaran Bahasa Jawa.”
“Ada
seorang raja bernama Ajisaka. Dia memimpin rakyatnya dengan arif dan bijaksana.
Sebagai seorang raja, dia memiliki sebuah keris pusaka. Keris ini sakti
mandraguna, tak seorang pun boleh memilikinya kecuali dirinya. Hingga suatu
ketika dia merasa, dia harus menyimpan kerisnya di suatu tempat yang jauh, aman
dan terjaga. Ajisaka pun memanggil seorang abdi kepercayaannya. Dia bernama
Sembada.
‘Sembada.’
‘Sendika
Dalem, ingkang sinuhun Gusti Pangeran Ajisaka.’
‘Sembada,
aku memiliki sebuah keris pusaka yang sangat sakti. Kesaktiannya begitu kuat,
sangat kuat, dan aku merasa khawatir apabila kesaktiannya yang tak terbendung
itu mengundang tangan-tangan jahat untuk datang ke negeri ini dan merebutnya
dari tanganku. Oleh karena itu pergilah, Sembada. Bawa keris ini bersamamu.
Simpanlah di sebuah gua yang gelap dan tersembunyi, di mana tak seekor ulat pun
hidup menggemburkan tanahnya. Jangan biarkan seorang pun datang mengambil keris
ini dari tanganmu, kecuali tanganku sendiri.’
‘Baik,
baginda. Sahaya mengerti.’
‘Berjanjilah
Sembada, untuk menjaga keris ini dengan segenap hidupmu, dan segenap jiwamu.’
‘Sahaya
bersumpah untuk menjaga keris pusaka Baginda Raja Ajisaka dengan segenap jiwa
dan raga sahaya, hingga sahaya menghembuskan nafas pamungkasaning gesang sahaya,
hingga Baginda datang untuk mengambil keris pusaka Baginda Raja Ajisaka.’
Maka
pergilah Sembada, jauh ke gua di mana tak seorang pun datang memasukinya bahkan
untuk melihatnya saja sekalipun, sebab gua itu begitu gelap, segelap-gelapnya
gelap, lebih dari gelap. Keris situ disimpannya dalam selembar kain putih
bertuliskan mantra dan doa sang Baginda untuk meredam kesaktian sang Keris
Pusaka. Keris itu kemudian disimpan di belakang pinggang kirinya, dalam bebat
kain cokelat bermotif parang rusak membalut pinggangnya. Di sana Sembada duduk
bersila, diam dalam tapa dan samadi.
Waktu
terus berlalu. Tahun demi tahun datang dan pergi, seiring dengan memutihnya
helai-helai rambut raja Ajisaka. Segenap negeri dan rakyatnya hidup aman dan
sejahtera, hingga suatu ketika baginda raja teringat akan satu hal: keris
pusaka. Ketenangan dan kedamaian pun terusik dalam benaknya, tercemar oleh
bayang-bayang buruk akan sang keris pusaka. Bagaimanakah keris itu sekarang?
Bagaimana kabar Sembada? Masih hidupkah ia? Bagaimana jika keris itu berhasil
direbut oleh tangan-tangan jahat untuk mengusik kedamaian negeri ini? Tenggelam
dalam kekalutannya, Ajisaka memanggil seorang utusan kepercayaannya. Utusan itu
bernama Dora.
‘Dora.’
‘Sendika
Dalem, ingkang sinuhun Gusti Pangeran Ajisaka.’
‘Bertahun-tahun
sudah aku memimpin negeri ini. Rakyat hidup tenang dan damai dalam
kesejahteraaan yang tak terperi. Tak satu pun penjahat berani mengusik
kedamaian negeri kita, dengan kesaktianku yang mengatasi langit dan bumi.
‘Namun
Dora, betapa resah hatiku mengingat satu pusaka yang telah lama kusimpan nun
jauh di sana. Pusaka itu adalah keris yang sangat sakti mandraguna,
kesaktiannya melebihi pusaka manapun yang ada di muka bumi ini. Aku
menitipkannya pada Sembada, abdi kepercayaanku bertahun-tahun yang lalu, untuk
dijaga dan di simpan di sebuah gua nan gelap nun jauh di sana, yang tak
terjamahkan sinar Matari, supaya tak seorang pun datang untuk mengambilnya. Aku
percaya, Sembada menjaga keris pusaka itu dengan segenap jiwa dan raganya,
mengingat dia merupakan abdiku yang paling setia. Namun kini, resah dan gelisah
menggantung di dalam batinku. Aku khawatir keris itu telah direbut oleh
tangan-tangan jahat nan sakti dari tangan Sembada.’
‘Pergilah,
Dora. Datanglah kepada Sembada. Kabarkanlah padanya bahwa aku, baginda Raja
Ajisaka, mengutusmu untuk mengambil keris itu dari padanya. Ajaklah dia untuk
turut serta pulang bersamamu. Sudah tiba saatnya Sembada mengakhiri tugasnya
dan pulang kembali ke tanah kelahirannya.’
‘Sendika
dhawuh, Sinuhun.’
Maka pergilah
Dora ke tempat di mana Sembada berada, diam dalam tapa dan semadi di dalam
gelap gua terpencil nun jauh di sana. Tak butuh waktu lama bagi Dora untuk
menemukannya, segelap apapun gua itu. Dora menyelinap masuk ke dalam gua, tanpa
suara, menjumpai Sembada dalam tapa semadinya di jantung gua yang begitu dalam.
Sembada membuka matanya.
“Dora
bertemu dengan Sembada, menyampaikan pesan raja Ajisaka untuk mengambil keris
pusaka, tapi Sembada menolak dan berkata, ‘Hanya baginda Raja Ajisaka yang
boleh mengambil keris ini dari tanganku,’ lalu mereka bertarung sampai mati.
Begitu kan, Pak?”
“Persis.
Kesaktian Dora dan Sembada setara hingga tak satupun dari mereka memenangkan
pertarungan itu. Keduanya mati dalam tugas mereka sebagai utusan.”
Kali
ini aku terdiam, mencerna kisah yang diceritakan oleh Ayahku. Apa hubungannya
semua itu dengan pekerjaan Ayah?
Melihat
kerut wajahku, Ayah tersenyum.
“Dora
dan Sembada menjalankan tugas mereka dengan penuh pengabdian. Mereka
menyampaikan pesan sang Raja dengan jujur, apa adanya, dan dengan setia
menjalankannya hingga akhir hayatnya. Mereka Caraka yang
baik, utusan yang jujur dan bermartabat. Begitulah semestinya seorang wartawan.
Lebih baik Papa dipecat daripada hidup sebagai wartawan palsu.”
Papa
tersenyum hangat. Dia tidak lagi terlihat sakit. Dia bangkit, memakai jaketnya,
dan pergi membeli beberapa koran untuk dibaca. Satu minggu sesudah itu, Ayah
melamar kerja di Indo Pos. Dia diterima di sana,
mengangkat berita korupsi yang ditemukannya, dan berita itu diterima oleh
redaksi. Berita itu dengan cepat tersebar ke berbagai media, lebih dari berita
apapun. Namun pemerintah menyangkal berita tersebut, dan berbagai media
berbalik melawan ayahku. Meski begitu, Ayah terus berjuang. Merangkai jalinan
kata, demi kebenaran.
Dan
kebenaran pun mengubah hidup Ayahku.
***
Pagi
itu tak ada Ayah.
Rumah
kami begitu ramai dikerumuni warga. Ayahku tergeletak di teras. Koran-koran
basah menutupi sekujur tubuhnya. Merah dan basah.
Ibu
menangis, melolong dan meringis. Menangisi dia yang mendengarkan hati nurani.
Memperjuangkan kebenaran. Melawan caraka-caraka palsu.
Untuk wartawan Udin, dan mereka yang memperjuangkan kebenaran dalam kejujuran,
hingga titik darah penghabisan.
[1] Perjanjian perdamaian
konflik Maluku dan Aceh.