Saturday, May 1, 2021

Cerpen - Caraka

 

CARAKA

Oleh : Paulus Eko Harsanto

 

Hana caraka, data sawala

Padha jayanya, maga bathanga

***

Engkau percaya dengan berbagai berita yang kau santap setiap hari? Bual-bual indah nan sistematis, kata demi kata membentuk frasa, frasa demi frasa saling berangkulan membentuk badan bernama kalimat yang saling bertumpuk dan melilit, memikul paragraf, memanggul wacana, dalam berita? Sulit rasanya untuk berkata tidak, meskipun aku dipaksa untuk mempercayainya. Namun iya. Aku percaya.

Ayahku seorang wartawan. Mengejar berita, membawa kamera, merekam kisah, dan bergulat setiap hari menyusun kata demi kata, kalimat demi kalimat dalam susunan yang utuh, teratur dan sistematis, membentuknya menjadi berita, menyerahkannya kepada redaksi dan editor, hingga akhirnya berita itu masuk dalam salah satu kolom Harian Rakyat untuk dibaca oleh khalayak umum yang tak berada di lokasi di mana berita itu lahir dengan sendirinya, atau lahir dengan bantuan tangan-tangan bidan wartawan. Pernah suatu ketika aku bertanya, mana yang lebih dulu lahir: wacana, atau berita? Wacana melahirkan berita, ataukah berita yang melahirkan wacana? “Jangan memperdebatkan ayam dan telur. Tidak ada habisnya,” ujar Ayahku. Pada akhirnya aku mengerti, bahwa siapapun yang lahir lebih dahulu, Ayahkulah yang melahirkan mereka. Dia Ayah dari ratusan berita di kolom-kolom Harian Rakyat.

Ayahku penggemar berita. Hidupnya dihabiskan untuk membaca berita-berita di berbagai koran setiap pagi. Tak tanggung-tanggung, Ayahku berlangganan lima koran yang berbeda: Harian Rakyat, Suara Baru, Media Rakyat, Indo Pos, dan Antara. “Langganan koran itu harus lebih dari satu, minimal dua. Penting membaca berita dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Setiap koran punya kaca-mata mereka masing-masing,” ujarnya.

“Tapi ini lebih dari dua, Pak. Bapak langganan lima.”

“Ya, lebih banyak lebih baik.”

Ayah betah membaca berlembar-lembar berita di sana setiap paginya. Koran-koran itu merupakan saran pagi di samping soto masakan Ibu. Malah, Ayah sering kali lupa sarapan hanya untuk membaca berita di koran sepanjang pagi di akhir pekan. Wajahnya selalu tertutup koran setiap pagi, bahkan di meja makan.

“Pak, sotonya.”

“Iya.”

Selak dingin lho, Pak.

“Iya.”

Uwis le, Bapakmu ra doyan soto. Ben sarapan koran wae ben dina.”

Percakapan itu seolah menjadi percakapan rutin kami setiap pagi di akhir pekan. Maklum, Ayah sibuk bekerja dari pagi hingga malam setiap harinya. Hanya di akhir pekanlah Ayah dapat menghabiskan waktunya untuk bersantai dan beristirahat…

…dengan koran.

Tidak bosan apa Ayah dengan berita?

“Warta, pacar pertama Bapakmu itu koran. Yen koran ki wedok, bapakmu mesti wis rabi karo koran.” Begitulah sambat Ibu setiap hari. Padahal Ibu juga wartawan, sama seperti Ayah. Mereka bertemu di Poso ketika Ayah meliput kerusuhan yang terjadi di sana. Dua jurnalis dari dua koran yang berbeda, jatuh cinta di tengah kerusuhan. Mereka pun pulang ke Jawa, dan tanpa basa-basi menikah dalam tempo sesingkat-singkatnya. Mungkin mereka takut dipisahkan oleh berita.

Begitulah aku lahir di tengah keluarga jurnalis. Ayah dan ibuku sibuk meliput berita setiap harinya, sementara aku alergi dengan berita. Tidak mudah bagiku untuk begitu saja mempercayai semua berita yang ada di berbagai media massa, bahkan liputan ayahku di Harian Rakyat. Butuh waktu yang panjang hingga akhirnya aku memutuskan untuk mengerti dan memahami, bahwa sesungguhnya semua berita itu menyimpan kebenaran yang patut untuk dibaca.

Hingga kebenaran merubah wajah hidup keluargaku.

***

Pagi itu tidak ada koran.

Hari itu hari Senin. Ayah tidak berangkat kerja. Dia hanya duduk di depan TV, menonton berita pagi. Dia tidak bergegas mandi, sarapan, memakai kemeja, menyeruput sedikit kopi dan berangkat begitu cepat seolah hendak kehilangan berita yang melulu dikejarnya setiap hari. Ayah terlihat sakit, bukan karena dia sakit. Dia terlihat pucat.

Ibu sudah berangkat kerja. Hari itu sekolah libur.

“Pak.”

“Ya.”

“Bapak tidak berangkat kerja?”

Ayah terdiam. Kedua matanya menatap kosong layar di hadapannya.

“Pak?”

Malino… Helsinki…[1] semua terliput dengan baik. Tak ada masalah. Kenapa.. kenapa sekarang…”

“Kenapa, Pak? Ada apa?”

Ayah masih terdiam. Tak seperti biasanya ayahku terperangkap dalam pikirannya sendiri. Kedua matanya menatap jauh ke depan, seolah melemparkan beban yang jauh dan berat di satu titik di mana tatapannya jatuh tepat di depan layar. Dia memejamkan matanya, menarik nafas yang berat dan panjang, hingga dia mengangkat tatapannya kepadaku.

“Bapak dipecat, Ta.”

“Dipecat?”

“Iya. Semalam Bapak ditelepon oleh atasan. Bapak dipecat.”

Ada momen kosong yang tidak menyenangkan.

“…kenapa? Kenapa dipecat? Bapak sudah puluhan tahun menjadi wartawan. Bapak wartawan senior Harian Rakyat.”

“Sudah, le. Bapak dipecat.”

“Tapi kenapa, Pak? Kenapa Bapak dipecat?”

Lagi, Ayah menjatuhkan tatapannya yang berat ke depan layar televisi. Liputan Pagi menyiarkan berita hasil pemilu Presiden beberapa hari yang lalu. Animo masyarakat begitu tinggi menyongsong kepemimpinan Presiden yang baru. Namun Ayahku tidak.

“Liputan Bapak ditolak oleh redaksi.”

“Liputan? Liputan apa?”

“Korupsi, Nak.”

Kata itu terdengar lugas dari mulut Ayah. Untuk pertama kalinya mata Ayah kembali menyala.

“Ada Korupsi di keluarga presiden kita.”

“Korupsi?”

“Ya. Korupsi. Trilyunan uang disalah-gunakan dari anggaran negara untuk pemilu tahun ini. Bapak punya sahabat dekat, intel pemerintah. Begitu mendapat kabar itu, Bapak langsung menyeledikinya. Bapak mendapat beberapa bukti penting penyalah-gunaan anggaran itu.”

“Tapi kenapa redaksi menolak liputan Bapak? Bukannya selama ini liputan Bapak selalu diterima?”

“Tidak kali ini, Nak. Harian Rakyat aktif dalam kampanye presiden kita tahun ini. Teman-teman Bapak semua dapat jatah. Pencitraan dibangun oleh jurnalis-jurnalis palsu, dan sayangnya, mereka semua teman-teman Bapak sendiri. Semua berita itu palsu.”

Lagi, mata Ayah kembali meredup. Siaran pemilu presiden pagi itu tidak lebih dari sekedar sampah di matanya. Rasa jijik dan enggan menguar di kedua matanya. Ayah mematikan televisi, lalu merenung seorang diri.

Namun itu tidak bertahan lama. Pelan tapi pasti, mata Ayah menyala kembali.

“Bapak tidak mau seperti mereka. Mereka semua wartawan palsu. Bekerja tanpa mendengarkan hati nurani. Kita, manusia, dikaruniai Allah hati dan budi. Kita berpikir dengan kepala kita, dan saat itulah budi kita bekerja. Kita merasa dengan hati kita, dan saat itulah hati nurani kita berkata. Hati nurani itu pintu suara-Nya. Tak semestinya kita melawan kehendak Allah dalam hati kita.”

“Tapi Pak, itu hidup Bapak. Bapak wartawan. Bapak tidak bisa tidak meliput berita.”

“Warta, kamu tahu kisah Hana Caraka?”

“Ada di sekolah, diajarkan di pelajaran Bahasa Jawa.”

“Ada seorang raja bernama Ajisaka. Dia memimpin rakyatnya dengan arif dan bijaksana. Sebagai seorang raja, dia memiliki sebuah keris pusaka. Keris ini sakti mandraguna, tak seorang pun boleh memilikinya kecuali dirinya. Hingga suatu ketika dia merasa, dia harus menyimpan kerisnya di suatu tempat yang jauh, aman dan terjaga. Ajisaka pun memanggil seorang abdi kepercayaannya. Dia bernama Sembada.

‘Sembada.’

Sendika Dalem, ingkang sinuhun Gusti Pangeran Ajisaka.’

‘Sembada, aku memiliki sebuah keris pusaka yang sangat sakti. Kesaktiannya begitu kuat, sangat kuat, dan aku merasa khawatir apabila kesaktiannya yang tak terbendung itu mengundang tangan-tangan jahat untuk datang ke negeri ini dan merebutnya dari tanganku. Oleh karena itu pergilah, Sembada. Bawa keris ini bersamamu. Simpanlah di sebuah gua yang gelap dan tersembunyi, di mana tak seekor ulat pun hidup menggemburkan tanahnya. Jangan biarkan seorang pun datang mengambil keris ini dari tanganmu, kecuali tanganku sendiri.’

‘Baik, baginda. Sahaya mengerti.’

‘Berjanjilah Sembada, untuk menjaga keris ini dengan segenap hidupmu, dan segenap jiwamu.’

‘Sahaya bersumpah untuk menjaga keris pusaka Baginda Raja Ajisaka dengan segenap jiwa dan raga sahaya, hingga sahaya menghembuskan nafas pamungkasaning gesang sahaya, hingga Baginda datang untuk mengambil keris pusaka Baginda Raja Ajisaka.’

Maka pergilah Sembada, jauh ke gua di mana tak seorang pun datang memasukinya bahkan untuk melihatnya saja sekalipun, sebab gua itu begitu gelap, segelap-gelapnya gelap, lebih dari gelap. Keris situ disimpannya dalam selembar kain putih bertuliskan mantra dan doa sang Baginda untuk meredam kesaktian sang Keris Pusaka. Keris itu kemudian disimpan di belakang pinggang kirinya, dalam bebat kain cokelat bermotif parang rusak membalut pinggangnya. Di sana Sembada duduk bersila, diam dalam tapa dan samadi.

Waktu terus berlalu. Tahun demi tahun datang dan pergi, seiring dengan memutihnya helai-helai rambut raja Ajisaka. Segenap negeri dan rakyatnya hidup aman dan sejahtera, hingga suatu ketika baginda raja teringat akan satu hal: keris pusaka. Ketenangan dan kedamaian pun terusik dalam benaknya, tercemar oleh bayang-bayang buruk akan sang keris pusaka. Bagaimanakah keris itu sekarang? Bagaimana kabar Sembada? Masih hidupkah ia? Bagaimana jika keris itu berhasil direbut oleh tangan-tangan jahat untuk mengusik kedamaian negeri ini? Tenggelam dalam kekalutannya, Ajisaka memanggil seorang utusan kepercayaannya. Utusan itu bernama Dora.

‘Dora.’

Sendika Dalem, ingkang sinuhun Gusti Pangeran Ajisaka.’

‘Bertahun-tahun sudah aku memimpin negeri ini. Rakyat hidup tenang dan damai dalam kesejahteraaan yang tak terperi. Tak satu pun penjahat berani mengusik kedamaian negeri kita, dengan kesaktianku yang mengatasi langit dan bumi.

‘Namun Dora, betapa resah hatiku mengingat satu pusaka yang telah lama kusimpan nun jauh di sana. Pusaka itu adalah keris yang sangat sakti mandraguna, kesaktiannya melebihi pusaka manapun yang ada di muka bumi ini. Aku menitipkannya pada Sembada, abdi kepercayaanku bertahun-tahun yang lalu, untuk dijaga dan di simpan di sebuah gua nan gelap nun jauh di sana, yang tak terjamahkan sinar Matari, supaya tak seorang pun datang untuk mengambilnya. Aku percaya, Sembada menjaga keris pusaka itu dengan segenap jiwa dan raganya, mengingat dia merupakan abdiku yang paling setia. Namun kini, resah dan gelisah menggantung di dalam batinku. Aku khawatir keris itu telah direbut oleh tangan-tangan jahat nan sakti dari tangan Sembada.’

‘Pergilah, Dora. Datanglah kepada Sembada. Kabarkanlah padanya bahwa aku, baginda Raja Ajisaka, mengutusmu untuk mengambil keris itu dari padanya. Ajaklah dia untuk turut serta pulang bersamamu. Sudah tiba saatnya Sembada mengakhiri tugasnya dan pulang kembali ke tanah kelahirannya.’

Sendika dhawuh, Sinuhun.’

Maka pergilah Dora ke tempat di mana Sembada berada, diam dalam tapa dan semadi di dalam gelap gua terpencil nun jauh di sana. Tak butuh waktu lama bagi Dora untuk menemukannya, segelap apapun gua itu. Dora menyelinap masuk ke dalam gua, tanpa suara, menjumpai Sembada dalam tapa semadinya di jantung gua yang begitu dalam. Sembada membuka matanya.

“Dora bertemu dengan Sembada, menyampaikan pesan raja Ajisaka untuk mengambil keris pusaka, tapi Sembada menolak dan berkata, ‘Hanya baginda Raja Ajisaka yang boleh mengambil keris ini dari tanganku,’ lalu mereka bertarung sampai mati. Begitu kan, Pak?”

“Persis. Kesaktian Dora dan Sembada setara hingga tak satupun dari mereka memenangkan pertarungan itu. Keduanya mati dalam tugas mereka sebagai utusan.”

Kali ini aku terdiam, mencerna kisah yang diceritakan oleh Ayahku. Apa hubungannya semua itu dengan pekerjaan Ayah?

Melihat kerut wajahku, Ayah tersenyum.

“Dora dan Sembada menjalankan tugas mereka dengan penuh pengabdian. Mereka menyampaikan pesan sang Raja dengan jujur, apa adanya, dan dengan setia menjalankannya hingga akhir hayatnya. Mereka Caraka yang baik, utusan yang jujur dan bermartabat. Begitulah semestinya seorang wartawan. Lebih baik Papa dipecat daripada hidup sebagai wartawan palsu.”

Papa tersenyum hangat. Dia tidak lagi terlihat sakit. Dia bangkit, memakai jaketnya, dan pergi membeli beberapa koran untuk dibaca. Satu minggu sesudah itu, Ayah melamar kerja di Indo Pos. Dia diterima di sana, mengangkat berita korupsi yang ditemukannya, dan berita itu diterima oleh redaksi. Berita itu dengan cepat tersebar ke berbagai media, lebih dari berita apapun. Namun pemerintah menyangkal berita tersebut, dan berbagai media berbalik melawan ayahku. Meski begitu, Ayah terus berjuang. Merangkai jalinan kata, demi kebenaran.

Dan kebenaran pun mengubah hidup Ayahku.

***

Pagi itu tak ada Ayah.

Rumah kami begitu ramai dikerumuni warga. Ayahku tergeletak di teras. Koran-koran basah menutupi sekujur tubuhnya. Merah dan basah.

Ibu menangis, melolong dan meringis. Menangisi dia yang mendengarkan hati nurani. Memperjuangkan kebenaran. Melawan caraka-caraka palsu.

Untuk wartawan Udin, dan mereka yang memperjuangkan kebenaran dalam kejujuran, hingga titik darah penghabisan.

[1] Perjanjian perdamaian konflik Maluku dan Aceh.

Monday, May 25, 2020

Resensi Buku - 99 Cara Untuk Makin Bahagia Setiap Hari


Secercah Matahari Ketika Mendung
Oleh : Paulus Eko Harsanto

Judul buku                  : 99 Cara untuk Makin Bahagia Setiap Hari
Pengarang                   : Terry Hampton dan Ronnie Harper
Jumlah halaman          : 225 halaman
Penerbit                       : Kanisius
Tahun terbit                 : 2004

“I can” vs  “IQ” (Saya Bisa Versus Intelegensi)

        Suatu ketika Henry Ford pernah mengatakan bahwa entah kita berpikir bahwa apa yang kita pikir dapat kita lakukan atau apa yang kita pikir tidak dapat kita lakukan, keduannya adalah benar. Sikap kita lebih penting daripada tingkat kemampuan berpikir atau IQ kita. Semuannya  berujung pada mentalitas “I can” (saya bisa) versus mentalitas “IQ” (kemampuan intelegensi).
Ada begitu bayak orang yang tidak mauberusaha dalam hidup ini, yakni orang-orang berbakat yang tidak melakukan apa-apa selain duduk-duduk di rumah sambil menghabiskan waktu di depan layar televisi. Ronnie menceritakan sebuah kisah tentang seorang mantan muridnya.  
“Dulu Ronnie mempunyai seorang siswa yang intelegensinya (IQ) di atas rata-rata. Ia tahu banyak kosa kata dan paham arti dari hampir setiap kata. Ia memiliki kemampuan untuk menjadi seseorang yang diinginkannya. Akan tetapi, ia mengidap sebuah persoalan serius (selain sombong), yakni ia kurang mempunyai disiplin diri untuk bangun pada waktunya dan berangkat ke sekolah. Ia berjaga hingga larut tiap malam, menonton televisi atau bermain dengan komputernya. Ia ketinggalan banyak pelajaran yang sialnya tidak mungkin lagi terkejar, dan akhirnya ia keluar. Ia menyia-nyiakan kemampuan intelektual dan bakat-bakat yang telah dianugerahkan kepadanya. Ia mungkin bisa menyembuhkan penyakit kanker atau AIDS. Dengan kemampuannya itu, ia bisa saja menjadi William Shakespeare atau Ernest Hemingaaway yang lain.
Di sisi lain, ada juga orang-orang yang berusaha keras, yakni sekalangan orang yang memiliki IQ dan kemampuan rata-rata yang bisa menjadi dokter, ilmuwan, dan pengusaha. Salah seorang pengajar musik terbaik yang pernah  Ronnie jumpai tidak dapat memainkan piano “sebagaimana para guru musik lainnya”. Ia selalu menceritakan kisah tahun terakhirnya di perguruan tinggi dan ujian akhir pianonya. Setelah ia menempuh ujian akhir piano di depan pengujinya, sang penguji berujar, “Saya akan meluluskan kamu dengan satu syarat : kamu harus berjanji kepada saya bahwa kamu tidak akan pernah meminta bayaran untuk kursus-kursus piano yang kamu adakan.“ Karena khawatir tidak bisa lulus, maka ia menyetujui janji itu dan melanjutkan mengajar pelajaran music di beberapa sekolah umum.
Hingga saat ini ia telah mengajar lebih dari 20 tahun dan kelompok kornya sudah begitu terkenal karena kemampuan mereka membaca not dengan cepat. Hal ini menggantikan kemampuannya yang sangat memprihatinkan dalam hal memainkan piano. Ia tidak dapat memainkan bagian-bagian sebagaimana para guru musik lain, sehingga para muridnya harus mampu membaca not musik dan tetap dalam bidang tersebut. Kelompok kornya menempati nomor satu selama lebih dari 20 tahun dalam kompetisai musik di wilayah mereka. Mereka sudah tampil di pelbagai negara.
Ada yang mengatakan  bahwa talenta yang kita miliki ini adalah hutang kita kepada diri kita dan orang yang ada di sekitar kita untuk memberikan yang terbaik dari yang telah dianugerahkan kepada kita .

Mengakui keterbatasan diri dan tetap melanjutkan hidup ini

Kita tahu bahwa kita tidak semua sama. Kita dianugerahi bakat dan kemampuan yang berbeda-beda. Demikian pula, kita memiliki perbedaan dalam hal kelemahan dan keterbatasan. Seharusnya, kita tidak membuat diri kita tidak bahagia karena kita selalu membandingkan diri kita dengan orang lain di sekitar kita dan berharap kita dapat menjadi seperti mereka. Menemukan diri kita yang sejati dan mencari tahu apa yang seharusnya kita lakukan dalam hidup ini, tanpa terus menerus membandingkan diri dengan orang lain, merupakan tantangan yang cukup besar untuk meraih kebahagiaan.      
      Kebanyakan dari kita tidak akan pernah menjadi seorang yang sangat istimewa. Kita barangkali berkeinginan menjadi seorang  bintang model  tetapi jika kita tidak langsing atau kekar dan tidak memiliki kecantikan atau ketampanan yang lain daripada yang lain, hal itu tidak  akan terjadi. Akan tetapi, itu itu tidak berarti bahwa kita kurang penting daripada yang lain, dan tidak berarti juga bahwa kita tidak boleh menikmati gaya para bintang model di atas panggung, di layar kaca, atau di layar lebar. Hal itu berarti bahwa bila kita sungguh ingin menjadi terkenal, kita harus mencari cara lain untuk mewujudkannya.
      Kita mestinya tidak membenci diri kita dan berkutat dengan perasaan menyesal akan diri kita serta berfokus pada keterbatasan-keterbatasan kita. Sikap ini tentu saja tidak akan membantu kita menjadi seorang yang makin bahagia. Jika kita tidak suka pada beberapa kebiasaan kita dan cara kita berperilaku, maka kita mesti berperilaku untuk mengubahnya. Akan tetapi, ada beberapa hal dalam diri kita yang memang tidak dapat dimodifikasi, maka hendaknya kita menerima  hal yang tidak dapat kita ubah.
      Yang perlu kita katakan adalah , “Saya sadar bahwa saya tidak akan pernah menjadi Einstein yang lain, namun saya juga memiliki otak dan saya akan menggunakan kemampuan yang saya miliki sebaik mungkin.” Hal terbaik yang dapat kita perbuat adalah bertanya pada diri kita sendiri. Pusatkan perhatian pada hal – hal yang bisa kita perbuat, kemudian melakukannya dengan baik. Dan kita hanya perlu belajar bagaimana menerapkannya dalam hidup kita.  

Refleksi :
Melalui buku ini, saya semakin dimampukan untuk berpikir secara lebih dewasa dan mengerti hal-hal yang semestinya saya lakukan dalam menghadapi hidup ini. Meskipun saya belum melahap seluruh isi buku ini, namun saya telah memetik banyak hal untuk bekal hidup saya. Ada beberapa hal yang dapat saya lakukan untuk saat ini, yaitu : Sikap kita lebih penting daripada tingkat kemampuan berpikir atau IQ kita Sikap kita lebih penting daripada tingkat kemampuan berpikir atau IQ kita, kita mestinya tidak membenci diri kita dan berkutat dengan perasaan menyesal akan diri kita serta berfokus pada keterbatasan-keterbatasan kita Kita mestinya tidak membenci diri kita dan berkutat dengan perasaan menyesal akan diri kita serta berfokus pada keterbatasan-keterbatasan kita. Dengan ini bertambahlah input dalam diri saya untuk bekal masa depan yang lebih menantang.
-Push  Your  Self  to  the  Limit-

Saturday, May 16, 2020

Artikel - Covid-19 Mereset Tatanan Dunia


COVID-19 "MERESET TATANAN DUNIA"
Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto

Bagi banyak pengamat intelijen pertahanan, dunia saat ini sedang direset. Geo ekonomi sedang ditata ulang, peristiwa corona mereset pasar uang dan pasar saham juga mereset semua papers. Setelah ini tata dunia baru muncul, setelah ini apa yang dilakukan di masa lalu seakan decoupling atau keterlepasan. Keterlepasan ini membuat  dunia ekonomi, dunia Kesehatan, dunia pertahanan apapun itu semuanya menjadi baru, menjadi serba cepat, super canggih dan sangat powerful. Terlambat kita antisipasi, bubrah ekonomi mikro UKM sampai pengusaha besar sekalipun di mana sederajat Unilever bisa pulang kampung angkat koper keluar dari Indonesia kalua Indonesia UKM nya didukung kebijakan decoupling keterlepasan dengan masa lalu. Kebijakan negara harus kelas dunia, kebijakan negara harus No Box tanpa bergantung IMF, World Bank dan OBOR. Bahkan kebijakan negara bukan bergantung pada APBN dan Pajak, semua harus baru, harus berani Indonesia lakukan.
Di masa Corona ini kaum UKM terpukul berkali-kali, pinjaman KUR misalnya bisa tidak terbayar karena income omset UKM adalah harian, jualan Mie Ayam harian, jualan di pasar basah harian atau jualan Warteg semuanya pendapatan harian dari aktif income, kalau nggak aktif ya nggak kerja hari itu ya nggak dapat income. Di saat Corona kalau Warteg tersebut tidak nyambung dengan dunia online, maka tidak ada pembeli yang dating, dan ada jutaan pengusaha ukm yang belum tersambung dengan online tersebut sementara yang paling parah ke depan adalah bagaimana menaikkan atau scale up UKM kalua tidak ada modalnya ? Ada dua solusinya versi si Sontoloyo ini, satu kalau diberi mandat maka si Sontoloyo ini akan Printing Money dengan berbasis proyek. Apa itu perlu dijelaskan ? Bagaimana kalua saya sedikit menceritakan tentang Bernie Sanders yaitu MMT Ketika akhir tahun lalu Stephani Kelton penasehat ekonomi Bernie Sanders bicara di CNN akan strategi Green New Deal bukan hanya Amerika terkejut saya dan beberapa rekan terkejut. Angkatan muda milenial Gen Z di Amerika terpesona. Respon mereka sangat positif Stephani Kelton mengangkat sebuah buku klasik “How to pay for the war” kalua buku itu di zaman ini tulisannya judulnya adalah “How to finance the war”, itu tulisan adalah gaya lama, gaya tahun 40-an. Buku itu langsung kami baca dan terjadi diskusi singkat dan kami menyutujui apa isi buku tersebut dan menambah kuat dukungan kami terhadap Bernie untuk melawan Trump. Buku ini menjelaskan Ketika sebelum perang dunia ke-II, si penulis diminta menghitung berapa biaya untuk memenangkan perang dunia tersebut, waktu itu tahun 1939 Perang Dunia ke-II sedang dimulai. Maka dengan perhitungan teliti, berapa jumlah besi dibutuhkan, berapa jumlah benang dibutuhkan, kain, jarum suntik, obat-obatan, makanan yang di medan perang nantinya dan juga yang ditinggalkan dengan telliti hasilnya dilaporkan. Sejak saat itu Churchil Inggris di negaranya dan FDR Franklin Delano Roselvelt mencetak uang dari angin. Dia cetak uang diberikan ke Departemen of Defence atau Mentri Pertahanan. Boing buat pesawat, bayar. GM buat mobil, bayar. Pabrik makanan, peluru senjata apapun dibuat hingga puncaknya di tahun 1942 Bilion Dollar nilainya waktu itu atau Triliun Dollar nilainya saat ini. Singkat cerita kita tahu akhirnya, Amerika dan Inggris menang Perang Dunia ke-II. Setelah Perang Dunia usai maka di bawah FDR membuat program yang namanya New Deal, membuat jalan Criss Cross. Amerika dan industry kendaraan menggunakan printing money senilai 100 Billion Dollar. Kita lanjut apa janji Bernie Sanders, kalau dia jadi Presiden Amerika, maka dia akan menyudahi perang apa yang dilakukan oleh Trump. Dan dia akan membuat yang namanya Green New Deal, yaitu musuh bersamanya menjadi Climate Change. Program-programnya akan membuat dunia berperang melawan perubahan iklim uang printing money out of thin air, dia sudah hitung berapa biaya untuk Climate Change War ini. Stephani Kelton yang memimpin perhitungan kalkulasi tersebut, 3 Triliun Dollar pertahun, industry batre, energi tenaga surya, tenaga matahari, makanan organic dan banyak lagi yang akan dibangun. Ide inilah yang menarik Angkatan muda Amerika saat ini yang muak dengan perang ala Trump. Ide inilah yang membuat dunia tersentak dengan ide lama printing money menjadi kekuatan baru, bukan penakluk tetapi kolaborasi.

Friday, May 8, 2020

Cerpen - Korban Ketidak-adilan Orde Baru


Korban Ketidak-adilan Orde Baru
Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto

I love sunshine. Cahayanya menghangatkanku, mengingatkanku pada hangat peluk ibuku di masa kecilku. Aku ingat, dulu ibuku memelukku saat aku kedinginan di kala malam menabrak kami tiba-tiba dengan dinginnya yang begitu menusuk. Omah gedhek nan tua itu seperti terkena cacar, bolong di sana-sini, tak sanggup menahan derai angin kering yang kuat menghembus bumi Madiun. Hanya peluk ibulah yang dapat menjagaku dalam lelap mimpiku saat itu.
Kini, tak ada lagi peluk itu. Hanya cahaya mentari, yang selalu kurindukan setiap saat dan setiap waktu.
***
“Ndhuk, ayo maem!”
“Inggih, mbok...”
Aku masih ingat saat itu. Kami hanya makan nasi jagung berlauk sejumput garam. Setiap pagi ayah selalu pergi ke sawah, sibuk mencangkul. Ibu tinggal di rumah, mengasuhku.
Kadang aku diajak ibuku pergi ke ladang, menemani ayahku. Di sana ayah bekerja bersama beberapa temannya, menanam palawija. Aku yang seorang perempuan tak bisa membantu ayah mencangkul di ladang. “Saru,” kata ayahku.
Sebagai gantinya, aku diajari ibuku menari. Ibuku pandai menari. Dia sering menari di acara-acara besar di desa, terlebih saat adanya kunjungan dari pegawai pemerintahan. Saat itulah ibu diundang untuk menari di balai desa.
“Di balai desalah ibu bertemu dengan ayahmu, nduk.”
“Kapan?”
“Saat ibu menari. Di antara puluhan pasang mata yang ada di sana, hanya ayahmulah yang tidak menelanjangi ibu dengan pandangan matanya. Tidak seperti lelaki lain, rakus menelanjangi tubuh ibu dengan mata mereka.
“Saat itulah ibu tahu, ibu jatuh cinta. Mendadak ayahmu menemui ibu di teras balai desa seusai pertemuan. Ibu sungguh terkejut.
“Terus?”
Ibu tersipu malu. Baru kali itu ibu didekati oleh seorang lelaki. Didekati dalam arti yang baik, lho. Ayahmu pun gaguk di depan ibu. Terang saja begitu, lha wong ibu penari paling ayu nang desa. Malu-malu mau, ayahmu mengajak ibu jalan bersama.”
“Maksud ibu?”
“Ayah dan ibu pacaran. Tidak lama sesudah itu, ayahmu melamar ibu.”
“Cepat sekali?”
“Ayahmu takut, keduluan orang lain. Banyak lho, yang naksir sama ibu.”
“Ah, ibu...”
“Hihi, seneng toh, duwe simbok ayu...”
Tarian ibu begitu indah. Lekuk tubuhnya membakar setiap pasang mata yang ada di balai desa saat ia menari, diiringi tembang yang mengalun lembut bersama gending gamelan dan tabuhan kendang. Dadanya yang ranum berbalut sehelai kemben hijau, lentik jemarinya ditemani sehelai sampur berwarna kuning keemasan. Tak ada mata teralih darinya; saat ibu berpacak-gulu, saat pinggul ibu mengayun, sembari menembangkan sebuah lagu yang dengan seksama dinyanyikan seluruh penghuni balai desa.
“Genjer-genjer neng ledokan pating keleler...
emake tole teka-teka mbubuti genjer...”
Merinding aku mendengar alunan tembang itu. Begitu sendu, pilu. Tapi aku menikmatinya. Aku menikmati sendu dan pilu yang mengambang bersama alunan tembang itu. Aku pun belajar tarian itu dari ibuku. Lambat laun aku menjadi seorang penari yang molek dan gemulai. Beberapa tahun kemudian, menginjak usiaku yang kesepuluh, aku menari bersama ibuku. Menemaninya menari dalam pertemuan rutin yang dilakukan setiap bulan di balai desa, bersaing membakar setiap pasang mata yang ada di balai desa.
25 September ’65. Semua begitu indah saat itu. Tak ada yang harus kukuatirkan, kecuali masalah mulut dan perut. Ibuku masih sering memelukku setiap malam, menghangatkanku dalam pelukannya yang menentramkan hatiku. Hampir setiap hari kami menari di balai desa. Sayang, ibu tak diundang lagi untuk menari di penghujung bulan. Ada yang hilang, entah apa; pasar begitu sepi, jalanan begitu lengang.
“Kok sepi ya, Bu?”
“Iya, nak. Ibu pun tak tahu mengapa.”
“Yah?”
“Sudah, tetaplah bersama ibumu. Jangan sekali-kali keluar rumah sendirian.”
Aku mengangguk. Kurangkul erat perut ibuku, mencari kehangatan dalam dekap peluknya. Ayah masih sering pergi ke balai desa, berbekal sebilah arit di pinggang.
Hingga suatu malam gedoran di muka pintu merebut pelukan ibu dari hadapanku.
***
“Buka! BUKA!”
“HOI, BUKAA!!!”
Tergopoh ibu membuka pintu. Ayah belum pulang dari balai desa. Aku panik.
“Kamu! Kamu Lastri, ya?!”
Tiga orang lelaki berbadan besar merangsek dalam rumah kami, paksa.
“Inggih, kula Lastri. Wonten punapa, den, menawi kula...”
Plak! Tak ada jawaban.
PLAK! Tak ada senyuman.
Darah mengalir dari ujung bibir ibuku. Aku menangis.
“Berdiri kamu di atas meja!”
Ibuku menolak, namun mereka memaksanya naik ke atas meja dengan pukulan dan jambakan. Dilucutinya pakaian ibu, hingga tak sehelai pun melekat padanya. Aku menangis. Seorang lelaki menamparku.
“Diam kau, bocah!”
“Dan kau! Sulastri! Kau yang kerap menari di balai desa, bukan?!”
“I, i, iya mas... tolong, mas, apa salah saya...”
“DIAM KAU, BIADAB! DASAR GERWANI!”
Seorang lelaki berkumis klimis mengambil korek api dari sakunya. Dua orang temannya membekap kaki ibu, menariknya dari dua arah yang berlawanan. Selangkangan ibu terbuka lebar di hadapannya. Di depan mataku, kulihat lelaki itu membakar liang rahim ibuku...
“Ampun, Gusti! Punapa lepat kawula, duh Gusti... AAH, UAAHH....”
“Cuih! Rasakna kuwi, lonthe!”
Tangisku semakin menjadi. Tak tahan mendengar jerit tangis ibuku, aku jatuh tak sadarkan diri. Keesokan harinya, aku tak menjumpai ibu di rumah. Ibu lenyap, tanpa jejak. Hanya cahaya mentari, yang lembut menyapaku dalam hangat pelukannya.
***
Ayah menemukanku tergeletak di dipan pagi itu. Selangkanganku sakit, perih. Ternyata aku telah diperkosa. Sejak saat itu, tak ada lagi hangat peluk ibu. Hanya ayah, dan cahaya mentari.
Sejak saat itu kami kerap berpindah tempat tinggal. Kadang di desa, kadang di hutan. Ayah selalu mencarikanku singkong untuk kumakan. Entah bagaimana dia memasaknya.
Cahaya mentari menjadi satu-satunya pengganti pelukan ibuku. Pagi selalu menjadi momen terindah bagiku, saat sinarnya menembus celah-celah dedaunan pohon jati di tengah hutan, saat cahayanya memberiku kehangatan yang kurindukan, sehangat-hangatnya hangat, bahkan yang terhangat dari yang paling hangat. Aku takut saat malam tiba, saat senja menyingsing, menculik hangat sang mentari dari pelukanku. Gelapnya sang malam hanya mengingatkanku pada jerit tangis ibu.
Aku tak bisa melupakan peristiwa itu. Setiap detik terekam dalam benakku, membayangi mimpi-mimpiku setiap malam. Aku sering terjaga, takut mimpi-mimpi itu datang menghampiriku. Namun ayah selalu mendampingiku, menguatkanku.
“Ibumu kuat, Nak. Kamu pun begitu. Kamu kuat.”
“Ibu nang ngendi, pak? Nang ngendi? Aku kangen ibu, pak. Kangen...”
“Ibumu ora nang kene, nduk. Ibumu sudah hidup tentram di atas sana. Saat malam tiba, kamu tidak usah takut. Lihatlah, ibumu tersenyum dari atas sana, menyapamu dari langit malam bertabur bintang...”
Tapi semua itu tak mengurangi kepedihanku. Aku tetap tak menemukan senyum ibuku di antara kelap-kelip bintang yang menaburi setiap malamku di hutan jati. Hanyalah jerit-tangis ibuku, bergelantungan di dahan-dahan pohon jati setiap malam. Aku hanya menemukan kehangatan ibuku dalam hangat sinar mentari. Hanya itu.
Namun ternyata penderitaanku belumlah usai. Di suatu suatu pagi yang mendung, saat ayah turun dari hutan ke desa untuk mencari makan, ayahku ditangkap oleh dua Sakerah[1] desa. Dari hutan aku menjerit, namun jeritanku terlalu jauh untuk mereka dengar. Teringat pesannya padaku,
“Kalau ayah tertangkap, jangan sekali-kali keluar dan hutan. Mudeng?
Namun aku tak sanggup lagi kehilangan orangtuaku. Dalam ketakutanku kuikuti ayahku dari balik rerimbunan pohon dan semak belukar hutan jati.
Ayahku diam. Tak sepatah katapun terucap dari mulutnya.
Dia digiring ke halaman balai desa.
“PKI! Kamu PKI, kan?!”
Ayah membungkam.
“NGAKU! KAMU PKI, KAN?! AYO NGAKU!”
Sepakan di kepala. Cambukan di punggung. Ayah tetap membungkam.
“Heh, budheg kowe? BISU?!”
Jambakan di kepala. Mata ayah beradu tajam dengan mata kedua Sakerah. Orang-orang mulai berkumpul, mengerubungi halaman balai desa.
“Kula sanes PKI.”
Blak! Pukulan tepat di muka.
“DJANCUK! PENIPU!!”
“GANYANG PKI! GANYANG PKI!”
Teriakan orang-orang memenuhi seluruh penjuru desa. Kini ayahku menunduk, menatap lekat bumi tempat dia dilahirkan. Air mata menetes di pelupuk mataku.
“Di sinilah aku dilahirkan. Maka kalau harus mati, biarlah aku mati di sini.”
Kedua Sakerah itu semakin terbakar amarah. Salah seorang dari mereka mengikat kedua tangan ayahku dari belakang, menendang kedua lutut ayah hingga jatuh berlutut di tanah. Sebilah pedang terangkat ke atas.
Aku menatapnya. Waktu seolah melambat, membiarkan kedua mataku melihat sebilah pedang terayun begitu lambat, selambat-lambatnya lambat, menebas leher ayahku. Namun pedang itu gagal menebas habis leher ayah. Darah muncrat ke mana-mana, dengan kepala ayah melekat tak sempurna; layaknya seekor burung yang pincang, bertengger di sebuah dahan hanya pada satu kakinya.
Tiba-tiba ayah berdiri. Perlahan, dia melangkah. Parau, dia berkata,
“Kenek opo aku kok embok kenekno? Aku salah opo?”[2]
Semua orang terdiam. Ayah masih melangkah. Selangkah. Dua langkah. Lututnya bergetar, goyah. Ambruk di tanah.
Darah menggenangi sekujur tubuh ayah, membasahi kering tanah balai desa. Orang-orang bergidik melihatnya. Aku terhenyak. Cukup sudah...
“Kita buang mayatnya di sumur kering samping desa. Cukuplah darah orang kiri tumpah di desa ini.”
Aku berlari sekuat tenaga, jauh ke dalam hutan. Mendung menyelimuti bumi. Di mana sinar mentariku? Di mana? Duh, Gusti... Ibu... Ayah...
Tiba-tiba semua menggelap di pelupuk mataku. Aku ambruk di tengah hutan jati, ditelan kekalutan akan nasib yang tak pasti di depan mataku. Yang kutahu pasti, saat itu mendung terbelah, mengizinkan secercah cahaya mentari menembus celah dedaunan, merengkuhku dalam kehangatannya.
***
Tak ada lagi hangat peluk ibu. Tak ada lagi ayah di sisiku. Hanya aku, dan sinar mentari.
“Bu, apa ini?”
Polos ia bertanya padaku. Anakku.
“Itu KTP, Nak.”
“KTP?”
“Iya, KTP. Kartu Tanda Penduduk.”
“Buat apa, Bu?”
“Buat tanda.”
“Tanda?”
“Tanda, kalau kita orang Indonesia.”
“Ooh...”
Dua puluh tahun telah berlalu semenjak peristiwa itu, Gerakan 30 September ’65. Kata mereka, PKI’lah dalangnya. Aku tak tahu apa itu G30S PKI. Aku pernah dengar tentang PKI, namun aku tak tahu gerakan apa yang telah mereka lakukan. Yang kutahu, semua itu telah membunuh ayah dan ibuku. Ayah dan ibu, yang tidak terlibat apapun di dalamnya. Seorang ayah yang mencangkul di ladang, dan seorang ibu yang gemar menari. Itu saja.
“Ayah belum pulang, Bu?”
“Belum, Nak.”
“Kapan, Bu?”
“Ibu tak tahu.”
Karena ibu pun tak tahu, siapa ayahmu. Di penjara, ibu diperkosa oleh puluhan lelaki...
“Ini apa, Bu?”
“Yang mana?”
“Yang ini, tulisan di KTP Ibu. ‘ET’[3]. Apa itu, Bu?”
“Itu...”
Entah kapan aku bisa menceritakannya padamu, Nak. Entah kapan. Masa lalu ibu sangat gelap, terlalu gelap bagi cerahnya masa depanmu. Begitu sukar untuk mengatakannya padamu, namun ibu yakin, akan tiba saat bagi ibu untuk mengutarakan semuanya padamu. Menyampaikan segala kelam masa lalu ibu.
“Bu, kapan aku sekolah? Anak tetangga sudah pada sekolah, Bu.”
Kubalas pertanyaanmu dengan seulas senyum. Lidahku kelu, nak. Maaf. Maafkan ibu. Gara-gara ibu, kamu tidak bisa sekolah. Tak ada sekolah yang mau menerima anak dari seorang perempuan seperti ibu. Maafkan ibu, nak. Maaf.
Kuusap lembut rambutmu. Matamu mirip mata kakekmu, wajahmu serupa wajah nenekmu. Menghadirkan kembali mereka yang telah direbut dari peluk ibumu. Tak terasa, setetes air mata menitik dari ujung pelupuk mataku.
“Kenapa menangis, Bu? Ada apa?”
“Tak apa, Nak. Tak apa. Ibu baik-baik saja.”
Rumah kita bagai terkena cacar, omah gedhek yang bolong di sana-sini. Namun tak apa, nak. Biarlah cahaya mentari menyelinap masuk dari lubang-lubang itu, merembes masuk, mengobati kerinduan ibu akan hangat peluk nenekmu.

Untuk para korban ketidak-adilan Orde Baru





[1] Algojo berkostum doreng-doreng atau hitam-hitam dengan pedang panjang di pinggang. Mereka menciduk siapa saja yang dianggap PKI dan membantainya tanpa ampun. (Bdk. Sumarwan, SJ, Antonius, Menyeberangi Sungai Air Mata, kisah tragis tapol ’65 dan upaya rekonsiliasi, Kanisius: Yogyakarta, 2007, hlm. 41)
[2] Ada kisah mengerikan seputar peristiwa pembantaian, sebagaimana termuat dalam kolom “Ngaji Budaya” Surat Kabar Harian Surya, 3 Mei 2003, yang bertopik “Mengak Tragedi 1965, Salahkah?” “Saat para algojo menebaskan pedangnya, ternyata kepala korban tak putus dengan sempurna. Sehingga, korban sempat berjalan di tepi sungai sambil berkata, ‘Kenek opo aku kok embok kenekno? Aku salah opo? (Kenapa aku kamu perlakukan begini? Salahku apa?)’. Tak berapa lama, ia pun menemui ajalnya.” (Sumarwan, SJ, Antonius, Menyeberangi Sungai Air Mata, kisah tragis tapol ’65 dan upaya rekonsiliasi, Kanisius: Yogyakarta, 2007, hlm.383.)
[3] Singkatan dari Eks-Tapol, alias Eks Tahanan Politik. Mereka yang menjadi bekas Tapol ’65 mendapat keterangan ET pada KTP’nya, membuatnya terdiskriminasi dari antara masyarakat. Keterangan ET pada KTP Eks Tapol baru dihilangkan semenjak keruntuhan Orde Baru, mulai dari pemerintahan Gus Dur.

Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...