Thursday, April 16, 2020

Beriman Katolik - Belajar dari Oscar Romero

BERIMAN KATOLIK: BELAJAR DARI OSCAR ROMERO 
Oleh : Paulus Eko Harsanto


1.1. Pengantar 
Membaca riwayat hidup seseorang merupakan cara paling mudah dan sederhana untuk dapat memahami kehidupan ini dengan lebih baik dan mengambil hikmahnya. Demikian juga untuk berbicara tentang bagaimana orang beriman di abad modern ini. Banyak pilihan tokoh dari Gereja Katolik (untungnya). Ada Mother Teressa, ada Mangunwijaya, ada Soegija yang sudah difilmkan. Tokoh-tokoh pahlawan nasional Indonesia yang lain juga ada. Sebut saja misalnya Suprijadi, Komodor Yos Soedarso, dan I.J. Kasimo. Yang terakhir ini mungkin bagi anda terasa asing. Tapi, kalau anda mencermati, salah satu penghargaan yang diberikan SBY adalah dengan mengangkat tokoh awam katolik ini menjadi pahlawan nasional. Nah, karena tokoh-tokoh itu mungkin sudah biasa, sudah sangat populer untuk kita orang Indonesia, saya mau mengangkat tokoh lain yang sebenarnya tak kalah populer. Namanya Romero, seorang Uskup dari wilayah Amerika Latin. Membaca riwayat Romero memang merupakan rahmat tersendiri bagi kita. Di sana kita bisa menemukan suatu makna mendalam. Ada secuil santapan rohani yang dapat kita gali dan dijadikan pedoman dalam meretas kehidupan iman kita di kemudian hari. Apalagi, di tengah kehidupan dunia yang menurut saya semakin hari semakin kering akan kesaksian iman. Semoga dengan membaca riwayat Romero, pergulatan imannya, kita bisa semakin diperteguh untuk terus bisa beriman di arus jaman ini. 

1.2. Sekilas tentang Oscar Romero 
1.2.1. Profil 
Oscar Arnulfo Romero y Galdamez dilahirkan di Ciudad Barrios pada 15 Agustus 1917. Ia adalah anak dari pasangan Santos Romero dan Guadalupe de Jesus Galdamez. Ketika Romero masih kanak-kanak, ia dikenal sebagai seorang anak yang serius, rajin, dan saleh. Bakatnya untuk menjadi seorang Romo memang terlihat. Setelah cukup berumur, Oscar Romero masuk sekolah umum setempat. Romero kemudian belajar pada seorang guru yang bernama Anita Iglesias sampai berumur dua belas tahun. Setelah itu, oramg tuanya menyuruh Romero untuk magang pada seorang tukang kayu. Dia belajar membuat meja, kursi, pintu, dan juga pelbagai peti kayu. Setelah berusia tiga belas tahun, pada tahun 1930, ia mempunyai keinginan untuk masuk ke seminari, tempat pendidikan calon pastor. Oscar Romero segera meninggalkan Ciudad Barrios untuk masuk ke seminari di San Miguel. Kemudian, beliau ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1942. Setahun kemudian Oscar Romero belajar teologi di Roma. Pada tahun 1970, ia diangkat sebagai pembantu uskup agung San Salvador dan pada tahun 1977, Oscar Romero diangkat menjadi uskup agung di San Salvador. 

1.2.2. Konteks 
El Salvador  merupakan sebuah negara yang mengandalkan produksi pertanian dengan komoditi utama kopi. Sejak abad 16, negeri ini menjadi wilayah koloni Spanyol. Setelah abad 19, secara berturut-turut El Salvador menjadi bagian dari negara Guatemala dan Meksiko, hingga akhirnya memperoleh kemerdekaan penuh pada tahun 1839. Ternyata, kemerdekaan yang diperoleh El Salvador tidak membuat sistem ekonomi kolonial menghilang. Memasuki dekade 1970-an, Elsalvador justru dicengkram oleh kekuasaan pemerintahan kanan yang militeristik dan berperan sebagai ‘centeng’ tuan tanah dan pemilik modal. Negeri setengah feodal dan setengah kapitalis ini dikendalikan oleh pemerintahan militer yang berfungsi mengunci sistem yang timpang dan menindas. Ketimpangan itu bisa dilihat dengan dikuasainya 95% dari pendapatan negara (terutama dari perdagangan kopi) oleh  hanya 2% dari keseluruhan masyarakat. 5% dari keseluruhan komoditas diperebutkan oleh mayoritas rakyat miskin Elsalvador yang hampir semuanya adalah kaum buruh dan tani.  Situasi ini menimbulkan kemarahan kaum petani yang kemudian berhimpun dalam wadah organisasi gerilya Farabundo Marti Front Pembebasan Nasional  atau FMLN yang berhaluan Marxis. Keberhasilan revolusi Kuba dan Sandinista di Nikaragua menambah rasa militansi bagi para gerilyawan FMLN untuk meletuskan Revolusi di El Salvador. Namun, rezim militer merespon gejolak ini dengan brutal. Ratusan rakyat tak berdosa dibantai oleh militer dan pasukan para-militer (mirip pam-swakarsa perusahaan dalam konflik agraria Indonesia).  

Di antara korban kekejian itu, banyak juga para Romo yang jadi korban. Kebrutalan rezim sayap kanan El Salvador ketika perang saudara mendapat sokongan keuangan dan militer dari AS. Dukungan AS terhadap rezim militer Ekuador ini semakin besar pada masa Presiden Ronald Reagen. Selain untuk melindungi kepentingan ekonominya, dukungan ini diberikan Washington dengan tujuan membendung pengaruh kekuatan kiri di Amerika Latin setelah kemenangan revolusi Kuba dan Sandinista. Konon, AS mengirimkan bantuan 1,5 juta dolar per hari bagi pemerintah dan militer El Salvador selama perang saudara.  Dalam situasi seperti inilah Mgr Óscar Romero y Arnulfo Galdámez (15 Agustus 1917 – 24 Maret 1980) diangkat menjadi uskup keempat dari Gereja Katolik El Salvador. Keberpihakannya pada rakyat miskin El Salvador yang tertindas muncul setelah pembunuhan sahabatnya,  Pater Rutilio Grande, yang tewas ditangan para-militer. Rezim sayap kanan,  partai ARENA (Aliansi Nasionalis Republikan), yang didirikan oleh seorang militer bernama mayor tentara Roberto D’Aubuisson,  menuding Pater Grande membela kaum komunis. Namun Uskup Oscar Romero meyakini bila perjuangan yang dilakukan oleh Pater Grande  berbasiskan  ajaran dan praksis pembebasan yang berakar dari iman kepada  Yesus Kristus. Oscar Romero pernah berkata: “Kristus sedang ‘tersalib’ bersama-sama rakyat El Savador yang menderita dan tertindas. Maka bagi siapapun yang mengimani Kristus, seharusnya merasa terpanggil untuk  membasuh peluh dan darah yang mengucur dari luka rakyat El Salvador, bagaikan usapan seorang wanita Yerusalem terhadap wajah Yesus yang penuh dengan luka ketika memanggul salib menuju Golgota.” 

1.2.3. Sebuah Titik Balik 
Ketidakadilan, kemiskinan rakyat dan politik kekerasan di El Salvador ini dilawan oleh para imam, biarawan, dan biarawati. Perlawanan mulai dari lingkup grass root (akar rumput) sampai lingkup akademis. Para imam dan biarawan-biarawati membentuk komunitaskomunitas basis dan memberi pencerahan kepada rakyat agar melawan rezim penyebab ketidakadilan. Para imam yang mengajar di Universitas Amerika Tengah menggagas teologi pembebasan yang berorientasi keberpihakkan kepada rakyat yang tertindas. Dimotori Ignacio Ellacuria dan Jon Sobrino, teologi politik yang memihak kaum miskin bergema dan menghantam rezim militer dan para konglomerat kopi. Pada awalnya, Romero mengambil sikap yang salah. Ia tidak mendukung gerakan perlawanan pada pemerintah. Ia ingin mengambil jalan damai.  Di sinilah, Romero sebagai seorang pastor hanya berkutat di altar dan mimbar. Ia melayani umat dengan pelayanan sakramental dan ibadat-ibadat seputar altar. Ia mencambuki dirinya sebagai silih atas dosadosa yang dilakukannya. Ia mengembangkan pelayanan cinta kasih seperti Santa Claus: meminta uang dari orang kaya dan diberikan kepada orang-orang miskin. Ia tidak masuk dalam kenyataan hidup yang berupa kemiskinan dan penderitaan mayoritas rakyat El Salvador. Sebaliknya, ia bersahabat karib dengan para juragan dan konglomerat kopi. Ia bahkan mengkritik para imam yang terlibat dalam gerakan perlawanan sebagai Neo-Marxis. Teologi pembebasan yang dikembangkan Ellacuria dan Sobrino dituduhnya sebagai Kristologi baru yang bersifat komunis. Tetapi sikap itu berubah total, setelah beberapa waktu Romero diangkat sebagai Uskup Agung San Salvador. Perubahan itu terjadi setelah melihat kenyataan banyak sahabatnya para pastor yang terbunuh. Sahabat para imam, biasanya memang para imam sendiri yang saling menguatkan satu sama lain. Ketika Pater Grande dan kawan-kawannya terbunuh, Romero seperti menyadari kekeliruannya. Ia kemudian mendukung gerakan-gerakan perlawanan yang sudah dibangun para imam sebelumnya. Ia menantang dan menentang rezim yang berkuasa secara terang-terangan. Namun demikian, kita harus melihat lebih mendasar. Titik balik cara berfikir Romero pertama-tama bukan terletak pada pembaruan hidupnya sesudah pembunuhan Rutilio Grande, tetapi terutama kesadaran akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang abdi Allah. Ia sendiri mengungkapkan, “Mungkinkah saya sungguh bertobat? Bertobat berarti kembali ke Tuhan yang benar, dan dalam artian ini, saya maksudkan, bahwa kontak saya dengan kaum miskin dan papa, lama-kelamaan menunjukkan permintaan Tuhan.”  Di situ tampak jelas bahwa ada hubungan yang erat antara relasi Romero dengan Tuhan dan kaum miskin. Dari orang-orang sederhana, ia belajar menyerahkan seluruh kepercayaannya pada Tuhan, mengharapkan segalanya dari Dia. Dalam kepercayaan mereka akan Tuhan, kaum miskin menunjukkan kepada Romero bagaimana ia sendiri tergantung pada Tuhan. Baginya, kaum miskin menjadi perantara perjumpaan dengan Yesus. Di dalam perubahan pribadinya, terungkap keinginannya untuk setia pada apa yang dikehendaki Allah darinya. Cukup lama Romero memang telah melihat kemiskinan dan kemelaratan di El Salvador, tetapi ‘tidak melihat’ (secara jelas). Untuk itu, matanya masih harus terbuka. Ia mesti keluar dari situasi ‘tidak melihat’ itu untuk dapat “melihat secara baru” sesuai dengan konteks sosial yang dialaminya. “Melihat secara baru” merupakan lukisan mata baru yang terbuka untuk mengamati adanya keterpurukan hidup masyarakat dan menanggapinya dengan cara yang ‘pas’. Romero berubah berdasarkan dorongan batinnya untuk mencari kejelasan dengan dayanya sendiri, sembari melihat segala sesuatu secara lebih jernih. Ia berulang kali menggunakan kata-kata “mata baru” dan “melihat secara baru” untuk menggambarkan perubahan yang terjadi dalam Gereja El Salvador. Ia menggarisbawahi satu aspek penting untuk mengubah cara pandang yang salah dalam melihat dunia dan manusia. Cara melihat secara baru baginya juga merupakan persyaratan bahwa pertobatan juga membantu perubahan sosial. 

 Mata Romero telah terbuka untuk melihat kemiskinan sebagaimana adanya. Ia belajar untuk melihat kehadiran Tuhan, rencana dan tindakan-Nya dalam sejarah. Ia telah belajar untuk melihat kehadiran Yesus dalam diri orang-orang miskin, dalam umatnya. Ia telah melihat keterkaitan yang sebelumnya tidak dilihatnya, seperti yang telah diungkapkannya, “Katakata Kitab Suci telah membuka mata kami, sehingga kami kini mengenal, apa selama ini selalu terjadi, tetapi sering tersembunyi bagi kami, bahkan bagi pandangan Gereja sendiri. Kami telah belajar untuk melihat terutama ketidakadilan fundamental dalam dunia kita, dan kami sebagai pastor mengecamnya di Mendellin: ‘Kemelaratan sebagai gejala massal merupakan suatu ketidakadilan yang berteriak ke langit’.” 

1.2.4. Kematiannya Sebagai Martir Melalui khotbah-khotbahnya yang disiarkan secara langsung saat memimpin Misa di Gereja Katedral San Salvador, ia menyerukan perlawanan atas penindasan yang terjadi. Tafsirantafsiran Kitab Suci bercorak pembebasan dikhotbahkan dengan tegas: tremens et fascinats, menggetarkan tapi sekaligus membahagiakan. Romero tampil sebagai uskup yang gigih membela kaum miskin, berhadapan dengan para penindas di negerinya, yang juga orang kristiani seperti dia. “Seorang gembala tak boleh mencari keamanan di saat umatnya diancam ketakutan,” kata Romero di saat ia diteror habis-habisan.  Akhirnya, perlawanan dan pembelaannya terhadap kaum miskin-tertindas berbuah darah. Ia mati ditembak pasukan bersenjata ketika sedang memimpin misa di kapel susteran pada tanggal 24 Maret 1980. Kesaksian hidup Uskup Romero sedemikian mengesankan sampai seorang pastor Jesuit, Ellacuria, mengatakan bahwa melalui Mgr. Oscar Romero, Allah lewat sekali lagi di tengah umat-Nya. Kini, uskup Oscar Romero dianggap oleh umat Katolik dan warga El Salvador sebagai santo pelindung  kaum miskin Amerika Latin dan El Salvador, atau sering disebut juga “San Romero”. Secara politis, pengakuan akan perjuangan uskup Romero pun semakin kuat tatkala Mauricio Funes, seorang anggota FMLN, terpilih sebagai Presiden El Salvador pada tahun 2009 lalu. “Martir kita Uskup Romero telah mengatakan bahwa Gereja di El Salvador hanya mempunyai satu pilihan, yaitu keberpihakan kepada kaum miskin. Selama masa pemerintahan saya, orang-orang yang menderita dan terbuang akan menjadi prioritas”, demikian dikatakan sang Presiden dalam peringatan 29 tahun kematian uskup Oscar Romero pada tahun 2009 lalu.  Atas nama negara, Presiden Salvador Mauricio Funes telah meminta maaf secara terbuka atas pembunuhan Uskup Romero. Presiden Funes meminta pengampunan dan kemudian membuka lukisan dinding yang menghormati Uskup Agung Oscar Romero di bandar udara internasional tidak jauh dari ibukota San Salvador.  Presiden Funes mengatakan Romero dibunuh oleh regu pembunuh sayap-kanan yang bertindak dengan mendapat perlindungan, kerjasama atau keikutsertaan petugas negara.   

1.3. Beberapa Point Pembelajaran 
1.3.1. Beriman Berarti Menyerupai Kristus 
Bahwa Yesus dan Romero sama-sama dibesarkan sebagai tukang kayu di masa mudanya, tentu saja ini kebetulan. Tapi kebetulannya tentu saja kebetulan yang menarik. Yusuf, orang tua Yesus adalah seorang tukang kayu. Bahkan sampai pada masa kenabiannya, Yesus tetap dikenal sebagai anak tukang kayu. Agak berbeda dengan Yesus, Romero memiliki waktu yang relatif sebentar sebagai tukang kayu. Apalagi setelah masuk Seminari. Keseriusan seorang Romero dalam hal belajar dan mencapai cita-citanya, tentu saja menjadi point pembelajaran tersendiri. Romero ingin menjadi imam, tentu ia harus belajar dengan tekun dan setia. Berkaitan dengan hal ini, bahkan secara ekstrim Yesus mengatakan agar kita meninggalkan orang tua, saudara, dan kawan-kawan untuk mengikuti dia. Tentu Yesus tidak serta merta menginginkan para pengikut-Nya melupakan keluarga, namun mereka harus fokus dengan apa yang diimpikannya, apa yang dicitacitakannya. Masa muda Oscar Romero menggambarkan keseriusannya untuk semakin dekat dengan Tuhan. Maka, menyerupai Kristus berarti juga kita harus punya komitmen yang kuat atas apa yang kita cita-citakan. Ini tentu bukan hal yang mudah. Bukan hanya di jaman sekarang, di jaman hidup Romero juga banyak tantangan untuk setia dalam menghidupi komitmen semacam ini.  Arti istilah menyerupai Kristus adalah bagaimana orang berpola pikir seperti Kristus yang kita imani. Yesus adalah sosok yang punya komitmen. Demi komitmen itu, bahkan Dia bukan hanya merelakan dan meninggalkan orang-orang yang dicintaiNya, tapi bahkan Dia menyerahkan diri untuk mati di kayu salib. Padahal, bahkan sampai sekarang tidak banyak yang bisa memastikan apakah alasan utamanya sehingga Dia harus dihukum sedemikian keji. Pilatus yang mengadili Yesus telah berusaha agar Yesus tidak dihukum mati. Namun, tekanan dari banyak pihak memaksa Pilatus untuk menyalibkannya. Romero juga menghadapi permasalahan yang sama. Dia harus berkomitmen dan demi komitmennya banyak hal harus direlakan.  Yesus mengatakan bahwa tidak mungkin seorang hamba mengabdi pada dua tuan. Di sini Dia ingin mengatakan bahwa seseorang harus berani untuk fokus terhadap pilihan hidupnya. 

1.3.2. Berubah Untuk Berbuah 
Kalau melihat bagaimana kisah hidup Romero, tentu saja kita tidak bisa melepaskan diri dari pembelajaran yang terus menerus. Seperti Romero yang mengalami perubahan dalam hidupnya, mengalami sebuah titik balik yang biasanya dialami oleh hampir setiap orang, demikian halnya dengan kita. Kita harus berani untuk berubah. Berubah ke arah yang lebih baik. Bagaimana orang bisa berubah ke arah yang lebih baik? jawabannya adalah dengan menyadari kesalahan yang telah dia tempuh. Bagaimana seseorang bisa sadar bahwa yang dia jalani selama ini salah? Paling tidak ada dua macam jawaban yang bisa kita jadikan metode pembelajaran yang terus menerus. Pertama, adalah dengan mengambil jarak. Istilahnya adalah distansiasi. Mungkin kesulitan untuk mengartikan apa itu mengambil jarak. Anda bisa membayangkan seseorang yang sedang membaca. Mungkin tidak seseorang membaca dengan mata yang menempel pada kertas-kertasnya? Tentu ini merupakan pertanyaan yang tidak membutuhkan jawaban atau pertanyaan retoris. Kita tidak bisa membaca tanpa ada jarak yang jelas dengan tulisan yang kita baca. Demikian juga kita diharapkan mampu untuk membaca pengalaman hidup kita. kita harus diam sejenak, memikirkannya dan melihat kembali, apakah perjalanan hidup yang kita tempuh itu memang menuju ke arah yang benar atau sebaliknya. Bagaimana bisa tahu perjalanan hidup kita mengarah ke mana, caranya adalah dengan sedikit membayangkan akibatnya. Kalau akibatnya bisa membawa kemungkinan pada sebuah penyesalan, barangkali itu petunjuk yang secara samar sudah bisa kita lihat. Sebaliknya, kalau akibat yang kemungkinan timbul itu sesuai dengan yang kita harapkan secara jujur, maka ini petunjuk ke arah kebaikan dan ada baiknya kita meneruskan langkah. Ini artinya pembelajaran. Banyak yang melihat bahwa pada awal-awal pengabdian Romero hanya sekedar mencari jalan aman, tidak berani mengambil resiko. Kalau dilihat dalam pola pikir Romero di awal memang benar. Saya pun meyakini hal ini. Romero tidak sepenuhnya salah dengan cara dia berfikir bahwa Gereja harus netral dari kehidupan politik. Tugas Gereja adalah menyerukan pertobatan untuk semua, tidak memihak kaya atau miskin. Kalau ada yang tertindas, Gereja kemudian tampil sebagai seorang nabi yang membawa kesembuhan. Apa yang dilakukan oleh Romero saat-saat itu, mirip dengan yang dilakukan oleh banyak pemimpin Gereja dewasa ini. Mengumpulkan dana dari yang mampu, kemudian membagibagikannya kepada yang membutuhkan. Di sini tampak bahwa orang-orang Katolik juga punya perhatian terhadap mereka yang lemah dan tersingkir. Dengan memegang prinsip semacam ini, kiranya dapat dipahami kalau kemudian Oscar Romero banyak berseberangan dengan Pastor-pastor yang tidak membawa warta kenabian, menyampaikan kebaikan dengan cara-cara yang damai. Tapi, apakah yang semacam itu kemudian cukup? Saya ingin mengutip apa yang dipikirkan oleh Gutierez, seorang pastor yang berfikiran bahwa Gereja harus bersikap tegas dan membela mereka yang tertindas, yaitu bahwa kalau Gereja bersikap netral, para romo dan rohaniwan bersikap netral, itu berarti membiarkan keadaan terjadi seperti itu. Dengan kata lain, Gereja seakan-akan merestui keadaan semacam itu. Mungkin, pemikiran yang semacam inilah yang terus menerus menggugat Romero ketika berhadapan dengan banyak kejadian yang bertentangan dengan kasih Tuhan. Di sekitarnya, banyak kejadian yang tidak berperi kemanusiaan. Ada sebagian orang yang kaya dan mempekerjakan orang-orang di tanah yang sebenarnya milik para pekerja itu. Mungkin anda sulit membayangkan, kok bisa? Orang menjadi buruh di tanah miliknya sendiri. Bayangkan begini: anda punya tanah. Tapi tidak punya uang untuk beaya tanam di tanah anda. Kalaupun kemudian bisa menanami, hasilnya tidak mencukupi untuk hidup anda sekeluarga. Satu-satunya cara agar bisa hidup adalah dengan menyewakan lahan. Lahan anda anda sewakan, kemudian orang yang menyewa mempercayakan anda untuk mengerjakan pertanian di lahan yang dulunya milik anda. Semakin lama, hidup anda tergantung pada pemilik uang yang menyewa itu. Ada sebagian orang yang akhirnya mengalihkan kepemilikan kepada orang yang dulunya menyewa, atau menjualnya. Jadilah anda pekerja atau buruh di lahan anda sendiri, bukan? Sebenarnya, hal yang sama banyak terjadi di desa-desa di Indonesia sekarang ini. Banyak orang yang menjadi buruh di lahannya sendiri. Dalam konteks Romero, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada warganya sendiri rupanya menyebabkan kemiskinan yang semakin akut. Masyarakat tidak lagi punya pilihan karena mereka memang mengandalkan sektor pertanian sebagai penggerak utama mesin perekonomian negara. Melihat itu, lama-lama hati Oscar Romero seperti digerakkan untuk mencintai mereka yang hidupnya tertekan oleh kemiskinan dan kehilangan hak-hak ekonominya sebagai warga negara. Peristiwa terbunuhnya rekan-rekan imamnya hanyalah salah satu faktor pendorong yang menjadi titik balik cara pandangnya terhadap keadaan sosial yang semacam itu. Pembelajaran semacam ini, baru bisa terjadi kalau orang berani ambil jarak, bertanya dan merenungkan hidup, sikap, dan arah tujuan yang dijalaninya akan membawanya ke mana. Cara kedua untuk belajar agar lebih baik adalah dengan mendengarkan suara hatinya. Apa itu suara hati? Suara hati atau biasa disebut dengan hati nurani merupakan rahmat Tuhan di dalam diri manusia yang memandu seseorang untuk melakukan suatu kebaikan. Cara kerjanya adalah dengan memberikan anda teguran bahwa yang anda lakukan salah, memberikan penyesalan kalau anda nekad melanggar teguran ini, dan memberikan rasa kebahagiaan kalau anda taat pada panduan suara hati itu. Mungkin anda kesulitan untuk membayangkan apa yang saya maksudkan. Contoh konkretnya, kalau anda melihat ada orang kecelakaan, biasanya ada sebuah bisikan yang lembut dari pikiran anda untuk menolongnya. Bisikan semacam itu, berasal dari suara hati. Minimal anda akan merasa kasihan. Kalau anda tidak melakukan apa yang dikatakan suara hati itu, kemudian sepanjang perjalanan anda akan merasa bersalah. Terbayang-bayang, kira-kira apa yang terjadi dengan orang-orang yang tadi kecelakaan ya. Setelah itu, anda akan merasa menyesal, kalau bisa saya ingin kembali ke waktu yang tadi dan menolongnya. Sayangnya penyesalan selalu datang terlambat. Dan satu-satunya hal yang bisa dilakukan kemudian berdoa, semoga saja ada orang yang menolong orang tersebut. Kalau keputusan-keputusan hidup yang melanggar suara hati semacam ini dilakukan terus menerus, lama-lama suara hati bisa tumpul. Tidak lagi merasa bersalah kalau seseorang melakukan suatu kesalahan. Mengutip apa yang dikatakan Plato bahwa kebaikan seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuannya, tetapi oleh kebiasaannya, kiranya dalam hal ini Plato sangat benar. Kebiasaan seseorang menentukan bagaimana seseorang. Maka, pembelajaran di sini adalah pelatihan yang terus menerus.   

1.3.3. Berani Ambil Resiko 
Berada di zona nyaman itu membosankan. Maka, orang yang berkembang dan maju adalah orang yang berani ambil resiko. Anda bayangkan kalau seorang bayi tidak mau melepaskan diri dari kebiasaannya menyusu dan tidak mau ambil resiko, bisa-bisa sampai besar dia tergantung pada ibunya. Atau seorang anak yang belajar jalan tidak berani ambil resiko untuk jatuh, besar kemungkinan dia tidak akan pernah bisa jalan. Kematian Romero, sama dengan kematian Yesus adalah resiko atas sikap hidupnya. Resiko itu berani diambil karena ada prinsip yang dipegang. Ada pepatah yang mengatakan bahwa gunung yang tinggi biasanya memiliki jurang yang dalam. Artinya, resiko adalah sebuah konsekwensi dari cita-cita. Nah di sinilah akhirnya kita mengerti, bahwa cita-cita besar biasanya memiliki resiko yang besar juga. Bahkan tidak menyesal seandainya resiko terburuk itulah yang kemudian diterima. Satu hal yang sangat berharga dari sikap semacam ini, pembelajaran. Anda tidak akan pernah belajar apa-apa kalau tidak pernah berani menerima resiko. Romeropun tidak menyesal seandainya dia harus mati demi mewartakan kebenaran dan memperjuangkan keyakinannya. Jauh hari sebelum kematiannya, Romero seperti sudah meramalkan kematian yang kemudian dia sambut ketika merayakan Ekaristi. 

1.4. Penutup: Maknanya Bagi Para Mahasiswa 
Para mahasiswa adalah para pembelajar. Anda sudah berani mengambil jalan untuk keluar dari zona nyaman, belajar. Belajar adalah zona yang tidak nyaman karena di situ banyak tantangan yang tidak mudah untuk kita hadapi. Selain tentu saja harus mengorbankan uang untuk beaya kuliah, juga mengorbankan waktu tenaga, dan pikiran. Di sinilah kemudian anda dituntut untuk berani membuat sebuah cita-cita besar dalam hidup anda. Cita-cita besar itu tentu bukan hanya selembar ijazah yang anda terima ketika anda wisuda, tapi juga ilmu. 
Saya sendiri ingin menyebutnya bukan hanya ilmu, tapi pembelajaran. Pepatah bahasa Latin mengatakan non scholae sed vitae discimus, saya belajar bukan hanya untuk nilai tapi untuk hidup. Maka, meskipun ilmu itu penting untuk para mahasiswa, pembelajaran untuk terus memaknai hidup jauh lebih penting. Dan dengan itu, kita bisa menyatukannya dalam iman kita. kita berjuang bukan hanya untuk diri kita, tapi untuk bersyukur atas rahmat karunia Tuhan yang kita terima, kita mensyukurinya artinya kita juga mempersembahkan hidup kepada Tuhan. Semoga, persembahan hidup kita berkenan bagi Tuhan. Amin 

Daftar Pustaka 

Buku Acuan 

1. -, Kompendium Katekismus Gereja Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 2009 (sebuah dokumen) 
2. Greg Soetomo, Ekaristi dan pembebasan dalam konteks masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 2002 
3. María López Vigil, Oscar Romero: Memories in Mosaic, Darton, Longman & Todd, Texas, 2000 
4. Martasudjita, Misteri Kristus, Kanisius, Yogyakarta, 2010 
5. Martin Chen, Teologi Gustavo Guiterrez: refleksi dari praksis kaum miskin, Kanisius, Yogyakarta, 2002 
6. Óscar Arnulfo Romero dan James R. Brockman, The violence of love, Plough Pub. House, Michigan, 1988 
7. Óscar Arnulfo Romero, Archbishop Oscar Romero: A Shepherd's Diary, St. Anthony Messenger Press, Michigan, 1993 
8. Óscar Arnulfo Romero, Archbishop Oscar Romero: A Shepherd's Diary, St. Anthony Messenger Press, Michigan, 1993 
9. St. Eko Riyadi Pr., Yesus Kristus Tuhan Kita, Kanisius, Yogyakarta, 2011 
10. Thomas P. Rousch, Katolisisme, Kanisius, Yogyakarta, 2001 
11. Tom Jakob, dkk, Iman Katolik, Kanisius, Yogyakarta, 1996 

Thursday, April 9, 2020

Sudut Pandang Budaya - The Law of Terminal


The Law of Terminal
“Perjuangan hidup dan persaingan para buruh angkutan”
Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto

*** 

Suatu ketika, aku sedang dalam perjalanan menuju Yogyakarta. Saat itu aku sedang naik bis jurusan Semarang-Yogya yang malang-melintang di jalan Magelang. Perjalanan kunikmati di bis, sembari menikmati alunan musik dangdut pengamen jalanan.
Setengah jam berlalu tanpa pamit, aku pun tiba di terminal Jombor di Yogyakarta. Langkah kaki pertamaku di sana disambut oleh seruan penuh harap para kernet bis yang ada di sana.
“Arep nang ngendi, Mas?”
“Malioboro, Mas! Malioboro!”
“Kotagede, Mas?”
Seruan-seruan itu hanya kujawab dengan senyum simpul. Aku pun berlalu, pergi ke rumah orangtuaku, naik busway. Saat itu seruan-seruan itu masih terngiang-ngiang di benakku. Bagaimana bisa mereka berseru-seru sampai seperti itu? Terekonstruksilah dalam benakku bis-bis kota yang penuh sesak akan penumpang, perkelahian antar kernet yang dulu pernah kusaksikan di Ambarawa, dan berbagai fenomena lain seputar kehidupan para penunggang “banteng besi” di terminal. Kok isa ngono, lho. Keheranan dan rasa penasaran pun menyerbuku seketika, menenggelamkanku dalam kebundetan filosofi dalam benakku atas berbagai fenomena itu.
Ada apa, gerangan?
Memikirkan hal ini, aku pun teringat akan temanku, Agus, seorang gentho angkot di terminal Muntilan. Kami sering bertukar cerita kehidupan kami masing-masing, dan dari sanalah aku mulai mengenal kehidupan para penunggang “banteng besi”. Mereka hidup dalam sistem buruh, di mana bos mereka mempercayakan angkotnya pada mereka untuk dipakai; dipakai cari uang, tentunya. Tak jarang pula Agus mengeluhkan berbagai perihal hidupnya; istrinya yang hamil tua, keinginannya hidup kaya, teman kerjanya yang korup, dsb. Dari dialah aku tahu, beratnya kompetisi di antara para “penunggang”.
Di sinilah kebundetan filosofiku semakin bundet. Aku mulai meraba-raba alasan dari terjadinya pelbagai kompetisi yang bahkan bisa berujung pada perkelahian antar sopir itu. Sebenarnya semua ini tak ada hubungannya denganku, namun apa boleh buat, aku terlanjur penasaran.

Meraba
Mungkin semua itu terjadi karena para sopir dan kernet itu mempunyai anak dan istri yang menanti sesendok nasi di rumah. Mungkin juga karena sopir-sopir itu masih berpikir, “duit akeh, urip leyeh-leyeh”. Mungkin saja karena mereka harus nyetor uang ke bos mereka. Ya, mungkin saja.
 Tapi, masa aku hanya meraba-raba saja? Tidak, aku tidak boleh hanya meraba-raba saja. Saru, ora ilok. Aku harus melihat, apa yang kuraba. Benar, atau tidak? Untuk itulah aku memutuskan untuk ngobrol dengan lebih banyak penghuni terminal mengenai hal ini. Maka berangkatlah aku ke terminal, nggambleh dengan banyak orang.
Aku ngobrol dengan sopir, kernet, mandor, penumpang, ibu-ibu penjual salak, loper koran, bakul es, bakul duren, calo, penjual rokok, dan tak lupa, Agus. Hampir semua orang itu memberi jawaban yang sama kepadaku, setoran.
“Ya ngono kuwi, Mas. Setoran.”
“Kejar setoran, kang.”
“Setoran, Bung.”
Meski begitu ada pula hal-hal lain yang diceritakan kepadaku, seperti si “banteng besi” yang sepenuhnya ditanggungkan pada sang penunggang, sopir-sopir yang emosian, sopir-sopir yang korupsi setoran, bahkan adanya toleransi antar sopir. Ada pula hal lain, yaitu jumlah penumpang yang semakin hari semakin sedikit saja. Dulu orang-orang masih minat naik angkot, tapi sekarang orang-orang lebih suka naik mio, avanza, jazz, dsb. Apalagi kendaraan-kendaraan itu sekarang lebih mudah didapat dengan kreditan. Alhasil tengsinlah para sopir angkot, kehabisan penumpang yang dulunya sempat dan “bisa”  diperebutkan. Jadi, sekarang perebutan pun berkurang. Lha sing direbutake apa, jal?
Demikianlah, aku ngobrol siang-malam dengan para kawula alit itu. Asyik, lho, beneran. Aku pun semakin puas dengan semua obrolan yang aku lalui, sebab dengan demikian kebundetan yang nangkring di benak aku ini pun semakin bundet sekaligus lurus (lho?), sedikit demi sedikit. Bundet karena tambah kebak, lurus karena tambah cetha.

Antara ada dan tiada
Sepulangnya di rumah, aku pun tersenyum puas. Aku sudah dapat menarik ujung filosofiku, sedikit demi sedikit! Dari berbagai kesaksian sekaligus curhatan yang telah kulahap sebelumnya, aku semakin memahami problem persaingan yang tengah kumumeti ini. Ternyata, usut punya usut, persaingan itu ada, sekialigus tiada! Nah, lo. Piye, maksud’e?
Persaingan antar sopir dan kernet itu masih eksis hingga sekarang karena adanya beberapa hal, yaitu sistem setoran dari “si bos”, sopir-sopir sendiri yang umumnya emosian, korupsi para sopir berkenaan dengan uang setoran mereka (jadi jangan bayangkan korupsi itu hanya semata-mata kejahatan kaum berdasi saja), kendaraan yang menjadi tanggungan pribadi masing-masing sopir, dan penumpang yang dulunya masih banyak. Masih ingat’kan, budaya kendaraan umum yang masih ngetrend, yang baru saja aku ceritakan? Tak jarang pula sopir-sopir itu sudah emosi sejak berangkat kerja dari rumah. Jadi, emosi itu terbawa dah ke pekerjaan. Makanya, kalau mereka senggel sedikit saja, bisa saja terjadi perkelahian yang seru. Sistem setoran sendiri memacu mereka untuk mencari setoran yang lebih, begitu juga dengan tangggungan kendaraan yang membuat mereka terpacu pula untuk mencari setoran lebih agar tidak tekor. Trus, soal korupsi? Kalau yang itu sih tak jauh-jauh amat dengan budaya dan temperamen rakyat Indonesia yang rakus (umumnya, lho. Ngga semuanya… Istilah kerennya, generalisasi). Makanya lagi-lagi terjadilah yang namanya persaingan, dan oleh karena itulah persaingan masih eksis sampai sekarang.
Nah, di satu sisi, persaingan itu ternyata telah terminimalisir. Kok bisa? Ya bisa saja. Hal ini terjadi karena sekarang penumpang sudah jauh berkurang dengan merebaknya budaya kendaraan pribadi dan semakin majunya kendaraan-kendaraan pribadi saat ini. Lha kalau penumpangnya minim, yang mau direbutkan apa, coba? Hal ini ternyata tak lepas pula dari kebijakan kredit yang diselenggarakan oleh pihak produsen kendaraan-kendaraan tersebut. Dengan kebijakan itu, orang pun semakin dimudahkan untuk memperoleh kendaraan pribadi. Tekor’kan jadinya, mereka? Maka dari itulah toleransi antar sopir dan kernet pun semakin menebal sekarang. Rasa senasib-sepenanggungan tertanam dalam diri mereka saat ini. Makanya, persaingan itu sudah mulai tidak Nampak sekarang.
Lha njuk piye sing bener?
Bundet ndasku. Sejenak kuberpikir, berfilosofi mengenai hal ini. Kuseruput kopiku di teras depan rumahku, hingga kebundetan yang ada di kepalaku ini kembali terbredeli; persaingan itu masih ada, meskipun sudah terminimalisir! Ya, telah kutemukan sintesis dari tesis dan antitesis yang telah kujumpai dan kupertemukan sebelumnya. Persaingan itu ternyata masih ada, hanya saja hal itu terjadi di luar terminal! Kok bisa?

Law of Terminal
Agus pernah bercerita padaku.
“Di terminal, semuanya telah diatur dan diawasi. Ada mandor yang mengatur semuanya, ada pula Dinas Lalu-Lintas, DLL. Makanya, di terminal sopir-sopir itu tidak bersaing dan rebutan penumpang. Mereka rebutannya di jalanan, street fighter’lah.” Sore itu aku teringat akan ucapan Agus ini. Nah, dari situlah aku melihat adanya sebuah law, law yang membuat sopir-sopir itu bersaing di luar terminal, di jalanan. Law ini tidak berlaku di jalanan, maka dari itulah mereka bersaing di jalanan.
Nah, sekarang sudah jelaslah masalah yang ada. Kuseruput lagi kopiku, kutarik akar-akar masalah dari problem persaingan yang tengah kugeluti. Setelah kutelisiki lebih lanjut, ternyata akarnya itu ada dua: sistem dan budaya-mentalitas. Coba saja bayangkan; dari segi sistem, bukankah tidak akan terjadi persaingan semacam itu apabila sistem setoran tidak seketat yang seharusnya? Juga apabila tanggung jawab atas kendaraan dibagi antara “si bos” dengan si sopir? Sementara itu, perihal mentalitas “ego” yang emosional dan budaya kendaraan pribadi mengambil peran dalam segi budaya-mentalitas. Coba kalau para sopir tidak emosian, tentu perkelahian akan terminimalisir. Makanya, toleransi yang semakin berkembang sebenarnya merupakan progress yang benar-benar baik dalam hal ini. Ya, sebenarnya… Bayangkan juga kalau masyarakat mulai kembali pada budaya kendaraan umum dan melepas secara perlahan budaya kendaraan pribadi, bukankah penumpang akan kembali meningkat seperti sedia kala? Dengan demikian semakin sejahteralah kehidupan mereka, dan semua ini tentu tak lepas dari peran penting dinas perhubungan dan transportasi dalam upaya revitalisasi budaya kendaraan umum itu.
Eh, ternyata aku sudah membayangkan sebuah penyelesaian atas problem yang dengan iseng kupikirkan ini. Akhirnya, jelaslah semua! Yah, seandainya saja semua ini terealisasi. Atau, tak usah jauh-jauh’lah, seandainya saja ada yang bisa kuajak berbagai kebundetanku ini. Mungkin kemudian akan ada seseorang yang tertarik dengan filosofiku ini, dan kemudian menawarkan sebuah tawaran padaku untuk merealisasikan semua pemikiranku ini. Tapi, ya sudahlah. Biarlah harapan itu tetap menjadi sebuah harapan semata. Yang penting rasa penasaranku sekarang sudah terpenuhi, dan seruan-seruan para kernet itu pun tidak lagi terngiang-ngiang dalam benakku sembari menghantuiku sepanjang waktu. Biar bagaimanapun juga, para kernet itu tetap akan berseru-seru mencari penumpang selama mereka masih merangkul pekerjaan mereka itu. Jadi, ya mau bagaimana lagi. Kuhabiskan kopiku, kulangkahkan kakiku ke kamar tidur untuk beristirahat di petang yang telah menjelma menjadi malam. Semoga malam ini aku bermimpi, memimpikan Agus, sopir-sopir, para kernet, juga segenap penghuni terminal lainnya, tertawa bersama-sama dalam suasana yang guyub rukun, aman sentosa.

Makalah - Tuhan Pilih Kasih (?)


Tuhan Pilih Kasih (?)
Sebuah makalah atas perikop “Anak yang Hilang” (Luk. 15:11-32)
 Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto
 ***
PENGANTAR
Ada satu perumpaan yang sangat populer dari Injil Lukas: perumpamaan anak yang hilang. Perikop dari Injil Lukas itu identik dengan makna pertobatan dan nilai kasih sejati antara si bungsu dengan ayahnya, hingga saat ini.
Meski begitu, ada satu bagian di akhir kisah yang kerap kali terlewatkan oleh perhatian umat kristiani. Bagian itu mengisahkan sikap iri hati dari si sulung yang tidak terima atas sikap sang ayah terhadap adik lelakinya itu. Menanggapi sikap si sulung, sang ayah hanya mencoba menghiburnya dengan sejumlah nasihat.[1] Tanggapan itu begitu singkat, berbeda dengan perhatian sang ayah yang sedemikian besar kepada si bungsu. Ada apa di balik semua itu? Sedemikian besarkah kasih sang ayah kepada si bungsu? Apakah sang ayah pilih kasih? Lebih jauh lagi, apakah Tuhan sendiri pilih kasih?
Itulah yang hendak kami jawab melalui makalah ini. Pada makalah ini, kami akan mencoba mengulas serta menafsirkan perikop “Anak yang Hilang” dari Injil Lukas dari sudut pandang yang berbeda; sudut pandang anak sulung yang iri hati terhadap adiknya dan tidak menerima sikap sang ayah yang “pilih kasih”. Berikut adalah pembahasannya.

ISI
A.    Anak Sulung dalam Kitab Suci
B.    Pergulatan si Sulung
Anak sulung di dalam perumpamaan itu memang memiliki tantangan yang tidak biasa. Terlebih lagi ketika dibandingkan dengan anak-anak lainnya.
Menjadi sangat jelas bahwa kepulangan adiknya yang merupakan anak bungsu cukup mengejutkan dirinya. Anak bungsu sudah cukup lancang mengambil harta ayahnya yang menjadi bagian warisannya. Hal ini secara tidak langsung juga melecehkan ayahnya yang masih hidup. Pemberian warisan biasa dilakukan ketika bapa keluarga sudah meninggal. Sementara itu, anak bungsu itu pulang kembali kepada bapanya. Padahal dengan mengambil harta warisannya, anak bungsu dianggap sudah dapat hidup mandiri dan bisa tinggal terpisah dari ayahnya.
Sebagai anak sulung yang ‘disulungkan’, hal ini tentu memicu kemarahannya. Harga dirinya sebagai perpanjangan tangan ayahnya seakan diinjak-injak. Terutama dengan kedatangan anak bungsu yang banyak menyita perhatian ayahnya. Kemarahan itu semakin memuncak di dalam kata-katanya[2]. Bahkan, anak sulung dengan kasar menyebut anak bungsu dengan istilah ‘anakmu’ (berdasarkan terjemahan asli dari Injil Lukas)[3]. Anak sulung tidak lagi mengakui anak bungsu sebagai adiknya. Begitu pula ia tidak mengakui ayahnya lagi.
Kemarahan ini memang merupakan suatu hal yang sangat wajar sebagai seorang manusia. Terutama dengan melihat latar belakang anak sulung ketika dihadapkan kepada sikap Bapa kepada anak bungsu. Bisa dikatakan pula bahwa sikap ini menyatakan sifat kedagingan anak sulung. Manusia sangat lemah dengan godaan. Kedatangan anak bungsu dan perilaku Bapa sangat jelas memunculkan rasa iri di dalam diri anak sulung. Iri hati inilah yang sangat mudah masuk ke dalam kehidupan manusia. Hal ini termasuk di dalam salah satu dari tujuh dosa pokok yang senantiasa mengiringi langkah hidup manusia[4] . Menjadi jelas bahwa di balik perumpamaan anak yang hilang ada pula sosok anak sulung yang iri hati.
Akan tetapi, Yesus mengajak para pengikutnya untuk menjadi manusia yang berbeda. Sikap Bapa kepada anak sulung dengan sangat jelas menggambarkan hal ini. Beberapa tafsir kitab suci menganggap bahwa perumpamaan ini ditujukan kepada para Ahli Taurat dan Farisi. Namun, perumpamaan ini ternyata juga bisa menjadi sangat relevan bagi semua pengikut Yesus. Dengan penuh kasih, Bapa berpesan kepada anak sulung, “Anakku… segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu.”[5] Anak sulung sudah tidak lagi menganggap keberadaan ayahnya. Tetapi Bapa masih menganggap anak sulung sebagai anaknya. Bapa mengajak anak sulung untuk menjadi saleh dan baik hati. Ia ditantang untuk tidak memandang suatu peristiwa dengan melihat ganjarannya.[6] Hal ini juga sejalan dengan ajaran Kristiani yang tidak mempercayai adanya karma[7]. Sikap Bapa menunjukkan sikap Allah Bapa sendiri yang maha pengasih. Ia menerima semua anaknya apa adanya. Ia juga peka terhadap kondisi dan pergulatan anak-anaknya. Akan tetapi, apakah berarti perbedaan perilaku yang ditunjukkan Bapa kepada kedua anaknya ini menunjukkan sikap Allah Bapa yang pilih kasih kepada manusia?

C.      Amanat Lukas
Melihat konteks zaman, banyak hal yang ingin disampaikan Lukas pada jemaat zaman itu. Telah diketahui bahwa secara garis besar, jemaat zaman itu adlaah jemaat yang sedang kehilangan pegangan  iman akan Yesus Kristus. Bisa dikatakan bahwa jemaat jauh dan kurang percaya akan adanya Yesus Kristus. Oleh karena itu, ada saru tugas pokok yang ingin diembang oleh Lukas, yakni meyakinkan dan mengembalikan iman jemaat akan Yesus Kristus.
Perumpamaan tentang anak yang hilang juga menjadi sarana Lukas untuk mengembalikan iman jemaat akan Yesus. Sebenarnya perumpamaan tentang anak yang hilang dapat dilihat dari dua sisi, yakni anak sulung dan anak bungsu. Karakter anak bungsu menggambarakan sebagian besar jemaat zaman itu, yakni yang kehilangan pegangan. Dapat dilihat bahwa anak bungsu meninggalkan bapanya yang menggambarkan Yesus untuk berfoya-foya dan memuja barang duniawi. Pada saat itu, jemaat jauh dari Yesus sendiri. Lukas begitu cerdas karena memberikan gambaran kesengsaraan anak bungsu yang berfoya-foya dan meninggalkan bapa. Gambaran kesengsaraan ini diharapkan mampu menggabarkan bagaimana kondisi jemat kelak seandainya jauh dari Yesus. Lebih tegas lagi bahwa Lukas ingin menunjukkan bahwa jemaat yang jauh dari Yesus berada dalam jalur yang salah.
Perspektif kedua dapat dilihat dari sudut pandang anak sulung yang sudah dekat dengan Bapa. Karakter anak sulung menggambarkan sebagian kecil jemaat yang sudah percaya akan adanya sang juru selamat, yakni Yesus sendiri. Kisah anak sulung mampu menggambarkan sifat bangsa yang iri hati pada bangsa yang bertobat (digambarkan dengan anak bungsu yang kembali kepada Bapa). Lukas ingin menyampaikan bahwa tidak selayaknya  bangsa yang percaya mempunyai rasa benci dan  iri pada jemaat yang bertobat, melainkan menerima sebagai saudara yang percaya pada Allah.
Di lain sisi perumpamaan tentang anak yang hilang ingin menyampaikan sosok Yesus sendiri yang Maha Pengampun. Kisah Bapa yang mau menerima kembali anak bungsu, ingin mengungkapkan kepada jemaat ketidakpercayaan akan Yesus bukan akhir dari segalanya, melainkan ada kesempatan untuk bertobat dan kembali pada Yesus yang pasti akan menerima dengan baik. Bagi anak bungsu, Yesus Maha Pengampun, tapi bagi anak sulung, sungguh kan  Yesus Maha Adil?

D.      Tuhan Pilih Kasih ?
Kisah tentang anak yang hilang ada dalam injil Lukas bab 15. Kisah itu termasuk dalam rangkaian kisah yang hendak menggambarkan sosok Allah sebagai Bapa pada Lukas bab 15, yang dalam arti tertentu dapat disebut pusat injil Lukas.[8] Allah adalah Bapa Yang Mahabaik, yang mencari domba-domba-Nya, yang menunggu dengan setia setiap orang yang kembali ke pangkuan-Nya.[9] Maka dapat disimpulkan pula bahwa Allah digambarkan sebagai Bapa yang Mahapengasih dan Penyayang.
Kembali pada kisah anak yang hilang. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sang ayah dalam kisah itu mengasihi kedua anaknya, namun memberikan perhatian yang berbeda kepada masing-masing dari mereka. Sang ayah seolah lebih mengasihi si bungsu daripada si sulung yang tekun dan setia dalam pekerjaannya. Diadakannya pesta bagi si bungsu yang bertobat dan kembali padanya, sementara si sulung tidak pernah mengalami perlakuan yang serupa dengan segala jerih payah yang ada padanya. Dengan demikian, apakah sang ayah pilih kasih? Lebih dalam lagi, apakah Lukas juga menggambarkan sosok Tuhan yang sedemikian rupa? Bapa yang pilih kasih, itukah sosok Allah yang dimaksud oleh Lukas?
Sebagai anak sulung yang ‘disulungkan’, si sulung dipandang sebagai sosok anak yang tekun, dewasa dan setia dalam tanggung-jawab. Dengan pandangan itu, sang ayah berusaha meyakinkan si sulung bahwa dia pun mengasihinya.[10] Dia melakukannya dengan cara yang tidak bertele-tele; singkat, padat dan jelas, dengan keyakinan bahwa si sulung tidak memerlukan perhatian dan pendampingan yang sedemikian besar layaknya yang diberikan sang ayah kepada si bungsu. Di sanalah tersirat sebuah pesan yang hendak disampaikan oleh sang ayah kepada si sulung, ”Adikmu sedang membutuhkan perhatian yang lebih daripada dirimu.” Tentu perhatian yang dimaksud tidak bisa disamakan dengan kasih sayang yang berbeda ukuran. Kasih memang tertuang dalam wujud perhatian, namun hal itu tidak memutlakkan subyek alias pelaku dari kasih itu sendiri untuk memberikan perhatian yang sama kepada setiap orang di sekitarnya.
Sang ayah tidak menyangkal kesetiaan si sulung. Sesuatu yang lebih penting terjadi di sini: seorang anak dan saudara telah kembali dari kematian.[11] Sang ayah tidak pilih kasih, sebaliknya, dia mengasihi semua anaknya dan dengan demikian mengajak si sulung untuk ikut merayakan kepulangan si bungsu bertolak dari kasihnya itu. Namun bagaimana hal itu menunjukkan kasih yang “sama” kepada kedua anak, baik sulung maupun bungsu?
Si sulung terbutakan oleh harta milik dan rasa benar sendiri.[12] Dia jatuh dalam rasa pamrih yang diperolehnya dari rasa irinya pada si bungsu yang memperoleh perlakuan yang begitu istimewa dari sang ayah, sementara dia tidak memperoleh hal serupa dengan segala kesetiaan dan kerja kerasnya selama itu. Inilah yang hendak diluruskan oleh sang ayah. Dia ingin membuka mata si sulung dari keterbutaannya itu, menyelamatkannya dari roh jahat yang menjeratnya dalam rasa iri hati dan pamrih diri.  Sekali lagi, sang ayah tahu bahwa si sulung sudah cukup dewasa untuk memahami apa yang dia maksud. Maka dia tidak bertele-tele dalam mendampinginya sebagaimana dia mendampingi si bungsu (meski tidak berarti bahwa sang ayah lantas bertele-tele dengan si bungsu. Yang ditekankan di sini adalah intensitas perhatian yang nyata dan memang berbeda kepada diri mereka masing-masing. Meski begitu, perbedaan itu tidak lantas menunjukkan intensitas kasih yang berbeda kepada masing-masing anak). Dengan demikian, sang ayah telah menunjukkan kasih yang tidak kalah besar daripada kasihnya kepada si bungsu. Dia telah menunjukkan kasih seorang ayah yang tidak ingin anaknya jatuh dalam jerat tipu roh jahat apapun bentuknya, baik itu materialisme (si bungsu) maupun egosentrisme yang mewujud dalam rupa iri hati dan pamrih diri (si sulung). Dia ingin semua anaknya bersuka-cita bersamanya, dalam rangka kepulangan si bungsu dari kematian. Maka jelaslah bahwa sang ayah bukanlah bapa yang pilih kasih, demikian juga dengan sosok Allah Bapa yang dimaksud oleh Lukas.
Semua itu menggambarkan pula gambaran kasih Tuhan. Layaknya orangtua yang mengasihi anak-anaknya, tak mungkin orangtua memberikan perhatian kepada anak mereka yang sudah kuliah sebagaimana mereka memberi perhatian kepada anak mereka yang masih bayi. Orangtua tetap mengasihi mereka masing-masing, meski dengan bentuk dan intensitas perhatian yang berbeda satu sama lain. Begitu pula dengan Allah pada diri kita, umat manusia. Bagi kita yang “sudah menjadi sulung”, Allah berkenan agar kita bertekun setia dalam pekerjaan dan tugas-tanggung jawab kita masing-masing bagi Tuhan dan sesama secara rendah hati dan tanpa pamrih, sembari bersadar diri bahwa kita bukanlah lagi bayi yang harus “ditimang dan disusui”.
Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa Gereja tidak identik dengan komunisme; sama rasa, sama rata. Wujud kasih sayang sang ayah dalam kisah anak yang hilang dengan tegas menunjukkan hal itu. Kasih diungkapkan-Nya dengan intensitas yang sama kepada semua orang, namun dalam wujud serta intensitas perhatian yang berbeda satu-sama lain. Sebab jika iya, maka tidak akan ada perbedaan tingkat kesejahteraan hidup di dunia ini. Semua orang akan hidup dalam kemakmuran yang begitu berlimpah. Namun, justru dalam perbedaan itulah Allah hadir bagi umat-Nya. Dia mengasihi semua umat-Nya dengan cara yang unik dan berbeda bagi masing-masing orang.
Bertolak dari hal itulah muncul sebuah pegangan dalam Gereja itu sendiri, khususnya dalam kalangan hirarki: nemo dat quod non habet, sebuah pegangan yang mendorong Gereja untuk bekerja dalam kesetiaan dan ketekunan layaknya si sulung guna memperoleh apa yang mereka butuhkan untuk kemudian diberikan bagi Tuhan dan sesama. Hanya saja dalam ketekunan dan kesetiaan macam itulah lahir godaan seperti kesombongan, iri hati dan pamrih diri (layaknya yang dialami oleh si sulung). Hal ini telah dijumpai oleh banyak orang dewasa ini dalam gempuran arus globalisasi yang begitu erat dengan arus kompetisi dan menuntut ketekunan diri. Dalam situasi itu, kita semestinya sadar diri dan sadar posisi. Apakah kita tergolong sebagai si bungsu, atau si sulung? Apabila kita tergolong sebagai si sulung, maka dalam kekayaan akan keutamaan yang ada pada diri kita sudah semestinyalah kita berbagi pada sesama; bukannya begitu saja menuntut upah yang setimpal atas apa yang telah kita perbuat. Perumpamaan kasar dari kalangan orang jawa sangat mewakili hal ini: wong tumindak becik kuwi kudune kaya wong ngising nang kali, yen wis ceblok, yo keli nang kali. Dengan demikian, kita sadar pula akan kasih Allah yang sejati dan sesungguhnya tidak pilih kasih; sebuah teladan yang semestinya pula kita teladani.


[1]Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersuka-cita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”(Luk. 15:31-32)
[2] Lih. Luk 15, 29-30
[3] Lembaga Biblika Indonesia.Tafsir Perjajian Baru 3 : Injil Lukas.Penerbitan Yayasan Kanisius.Yogyakarta:1981. hlm. 176
[4] Refrensi roh baik dan roh jahat?
[5] Lih. Luk 15, 31
[6] Dister. Dr. Nico Syukur OFM.Kristologi, Sebuah Sketsa.Penerbit Yayasan Kanisius.Yogyakarta:1978.hlm. 77
[7] Refrensi arti karma.
[8] Ig. Soeharyo, Pengantar Injil Sinoptik, …, Hal. 122.
[9] Ig. Soeharyo, Pengantar Injil Sinoptik, …, Hal. 122.
[10]Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu… (Luk. 15:31)
[11] Tafsir Alkitab PB, hal. 143
[12] Bdk. Tafsir Alkitab PB, hal. 143

Tulisan Refleksi - Sebilah Kaki Keparat


Sebilah Kaki Keparat
 (Kisah peregrinasi kami menyusuri jalan Mertoyudan Magelang menuju Novisiat Girisonta)
Ditulis oleh : Paulus Eko Harsanto
***
“Isih kuat ora, Ko?”
Aku terhenyak. Nyeri membelit kaki kananku.
“…ora.”

Peregrinasi. Tak satupun persiapan kulakukan menjelang peziarahan itu, dan dengan congkaknya aku memulai langkah awalku bersama rekan-rekan John De Britto. Ego menyelinap dalam hening perjalananku, mulai dari gerbang seminari.
Ego itu menjelma dalam langkah yang terlampau cepat. Satu hal berkelebat memenuhi benakku, aku harus segera sampai ke Girisonta. Langkahku mewarnai irama langkah teman-temanku, membuat kami berjalan dengan begitu cepatnya, sedemikian cepat, hingga dalam kurun waktu kurang dari tiga jam kami sudah tiba di perbatasan Secang. Kami pun beristirahat.
“Wah, edan! Mlakune kaya setan, cah!”
“Iya, ora dinikmati. Bar iki alon wae, piye?”
Kudengar pembicaraan teman-temanku. Aku berbaring di atas balok beton pendek di pinggir jalan, diam tak berkomentar. Sesekali saja aku turut berbincang dengan mereka. Aku lebih sibuk berkubang dalam benakku. Aku harus segera sampai ke Girisonta.
Kami melanjutkan perjalanan. Sesekali kami berhenti untuk beristirahat dan meminta minum pada warga. Tak ada kendala, dan kami terus berjalan. Namun sayang, ego masih memenuhi benakku, merusak irama langkah kami hampir sepanjang jalan. Aku bahkan sempat berkata pada Oki dan Nando saat kami beristirahat di sebuah angkringan, “Gimana kalau kita terus berjalan sampai Ambarawa, tanpa istirahat?” Saat itu sudah pukul tujuh malam,  dan dengan kesal Nando menjawab, “Edan pa, kowe!” Keegoisanku pun berbuah beberapa jam kemudian.
***
“Nah, kuwi perbatasane!”
Kami terhenyak. Seruan Oki memecah hening langkah kami. Hari sudah malam, sekitar pukul setengah sebelas.
“Perbatasan apa, Ki?”
“Perbatasan Ambarawa.”
Aku diam seribu bahasa. Nyeri berdenyut di telapak kaki kiriku jauh sebelum kami tiba di perbatasan. Aku memaki dalam batin. Sial, aku harus sampai Girisonta.
Kusiasati dengan memusatkan berat badan pada kaki kananku. Kami terus melangkah, melangkah dan melangkah. Tipisnya sandal mengizinkan bebatuan memijit keras kedua telapak kakiku. Lambat laun nyeri hilang dari kaki kiriku, namun sayang, nyeri itu tak mau pergi begitu saja dari kakiku.
Langkahku memincang. Kami sudah tiba di Bedono saat itu. Danang memperhatikan langkahku yang janggal.
“Isih kuat ora, Ko?”
Aku terhenyak. Nyeri membelit tumit kananku. Engkel.
“Masih, nang.”
Kami terus berjalan. Perlahan nyeri itu menguat, meremukkan tumit kananku. Langkahku semakin pincang. Aku memaki dalam batin. Aku harus sampai Girisonta.
Kulihat jamku. Pukul sebelas malam. Biasanya kami beristirahat sekitar sepuluh menit setiap satu jam, dan aku benar-benar kecanduan istirahat. Aku harus istirahat, batinku. Dan benar, kami beristirahat di dekat sebuah swalayan kecil. Damas dan Oki membeli makanan. Kusantap sekeping gula kacang sembari mengurut tumit kananku. Teman-temanku kembali bertanya, “Piye Ko, isih kuat?” Aku pun menjawab, “Isa tak peksa nganti Ambarawa.”
Kami kembali berjalan. Langkahku semakin memincang. Kembali kumaki diriku sendiri. Piye iki?
Tiba-tiba langkahku terhenti.
Uahh… Sial…
Kami berhenti di pinggir jalan. Oki bertanya padaku,
“Ko? Piye?”
Aku terhenyak. Dalam diam kurasakan nyeri yang begitu hebat. Cepatnya langkahku mengacaukan seluruh anggota bawilku, juga diriku sendiri. Egoku merusak segalanya.
Dengan putus asa, kugelengkan kepalaku.
“Ora.”
Kami sempat kembali beristirahat, dan kembali melanjutkan perjalanan. Damas dan Manggala bahkan sempat memapahku, namun aku pun tetap memaksakan diri untuk melangkah seorang diri. Aku tak mau menjadi beban bagi teman-temanku. Bertongkatkan sebatang kayu aku melangkah pincang, hingga akhirnya aku tak sanggup lagi untuk melangkah. Seluruh anggota bawilku kecewa. Haruskah kami gagal?
Hanya ada dua pilihan: tetap meneruskan perjalanan dengan meninggalkanku bersama salah seorang dari kami, atau berhenti dan mencegat bis atau pick up untuk kami naiki menuju Ambarawa. Akhirnya Oki mengambil keputusan yang jauh dari rencana kami sebelumnya:
Menghentikan peregrinasi kami di Ambarawa.
Kami pun beristirahat di teras sebuah rumah di pinggir jalan Bedono. Berselimutkan selembar handuk, kami tidur berdesak-desakan. Esoknya kami tiba di Ambarawa dengan sebuah bis, beristirahat di rumah Oki, dan mengikuti ekaristi di gereja Jago, Ambarawa. Siangnya kami kembali ke Mertoyudan.
***
Hatiku remuk, seremuk kaki kananku. Aku down, benar-benar down. Aku tahu teman-temanku kecewa, dan semua itu terjadi oleh karena egoku. Di seminari aku pun menutup diri. Namun teman-temanku tidak menyalahkanku. Mereka tetap menerimaku, bahkan berkata padaku, “Itu bukan salahmu. Itu hasil diskresi kita bersama.” Aku terharu. Egoku dibalas dengan altruisme yang begitu dalam, sebuah kekeluargaan yang sangat berharga. Di sinilah aku sadar, tak hanya aku yang mengalami pergulatan batin. Mereka pun mengalami hal itu, terlebih saat harus memutuskan untuk menghentikan perjalanan kami saat itu. Mereka rela melepas ego, demi diriku.
Kami memang tidak sampai ke Girisonta. Kami “gagal”, namun dalam kegagalan itu kami justru memperoleh rahmat yang berlimpah, rahmat kekeluargaan dan kerendahan hati. Aku pun belajar untuk lebih menyamakan “langkah”ku dengan “langkah” teman-temanku berpedomankan altruisme dalam hati.
Sebilah kaki keparat telah menjegal langkah kami menuju Girisonta, sebilah kaki keparat dengan ego yang pekat mencekat. Namun, jegalannya justru mengantar kami menuju rahmat yang jauh lebih berlimpah. Mungkin inilah jalan yang Tuhan tunjukkan, untuk mengantar kami pada limpahan rahmat-Nya. Kutemukan rahmat kerendahan hati, melalui sebilah kaki keparat ini.
 ***



Cerpen - Caraka

  CARAKA Oleh : Paulus Eko Harsanto   Hana caraka, data sawala Padha jayanya, maga bathanga *** Engkau percaya dengan berbagai b...